Di simpang pematang


Kau sapa aku
dengan kata-kata lembut
sejuk juga hangat
seperti mentari pagi yang menyibak kabut
di atas sawah bapak tani

Lekas kita bercengkrama
berbicara asa diantara rasa
tentang pengorbanan, tentang keberanian
buah-buah keindahan

bak harum tanah sehabis hujan
begitu memanjakan
hingga kini sampai kita pada tepian hari
aku masih tak sadar

Kelak
jika kau dapati simpang pematang
pilihlah jalan yang kau yakini benar
sebab kita pernah belajar keberanian
September 2013



Tak bisa dipungkiri, lebaran dan segala kemeriahannya adalah seperti yang dikatakan profesor Nursamad Kamba, “Festival Tahunan bagi kita”. Luapan emosi berbaur hingar-bingar penyambutannya sudah mendarah-daging di masyarakat Indonesia. Seakan lebaran adalah perhelatan terbesar yang dimiliki setiap keluarga, bahkan dalam wilayah lebih luas lagi, Nusantara.

Silaturahmi juga salah satu unsur penting dalam ritus lebaran ini. Berbondong-bondong satu keluarga mengunjungi keluarga lain. Atau biasa juga dengan saling mengunjungi tetangga. Yang penting, lebaran harus muter, untuk sekedar menyampaikan ucapan “selamat hari raya. Mohon maaf lahir dan batin”. Begitu umumnya. Bagi anak-anak kadang lebaran menjadi berkah tersendiri dengan penantiannya akan kedatangan THR. Harapannya selalu semoga THR tahun ini lebih banyak ketimbang tahun lalu, atau minimal tidak lebih sedikit.

Dari sederet cerita ini lahirlah sebutan, mudik.

Mudik menurut akun @zenrs adalah kembali ke udik. Kembali ke hulu. Yang artinya kembali ke asal. Bisa disimpulkan bahwa pengertian mudik ini ialah pulang ke daerah asal dengan segala romantikanya. Termasuk macet, thr, ujung, reuni dan lain-lain.

Kata pulang memang sudah amat akrab dengan kota Yogyakarta. Kota yang menawarkan seribu satu kecanduan sekaligus kerinduan kepada para pengunjungnya. Tempat segala jenis manusia berasal. Seniman, budayawan, birokrat, pebisnis bahkan orang yang tak jelas apa pekerjaannya/freelancer pun banyak dihasilkan kota ini. Yang jelas keseluruhan dari mereka selalu mempunyai makna tentang Yogyakarta di hati mereka masing-masing.

Sampai-sampai suasana jalanan metropolis ala jakarta dipinjamkan ke ruas-ruas jalan di wilayah ini. Macet. Asal kita melewati jalanan yogyakarta dan sekitarnya sekitar 2-3 hari setelah lebaran kita bakal menemui fenomena beraroma ibukota ini dengan gampang. Di titik-titik wisata, biasanya amat mudah kita menjumpainya. Ambilah contoh di jalan malioboro, jalan parangtritis, jalan wonosari dan lain-lain.

Kemacetan inipun sudah dimaklumi, dipenuhi oleh plat-plat luar kota. Sangat jarang ditemui plat AB yang tersempil diantara kendaraan yang berderet tersebut. Pernah suatu kali saya mengamati di antara jalan piyungan-prambanan, dari satu kilo deret kemacetan, hanya ada sekitar 5 mobil berplat AB. Hal ini menandakan fakta betapa merindukannya kota ini terbukti. Di sisi lain, hal ini juga menimbulkan masalah kenyamanan.

Kenyamanan adalah bagian penting yang membuat suatu keadaan tentram. Orang akan merasakan nyaman dahulu, baru kemudian ia akan merasakan relaks. Dan pada akhirnya ia akan merasakan ketenangan secara mendalam yang disebut tentram.

Mungkin bagi orang ibukota yang sudah terbiasa dengan kemacetan, akan menganggap fenomena macet ini adalah hal yang biasa. Namun, pertanyaannya apakah yang ia rindukan dari yogyakarta? Apa yang membuatnya ingin kembali ke yogyakarta? Setiap orang pasti memiliki pendapat berbeda-beda. Namun apabila ditarik garis besar pasti muaranya, ketentraman dari kota Yogyakarta-lah yang menjadi jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Terbukti dari tingginya kenaikan harga tanah di yogyakarta. Yang berarti menghuni yogyakarta adalah suatu prestis tersendiri. Juga data dari salah satu sumber yang menyebutkan bahwa yogyakarta adalah daerah paling nyaman ke 2 di Indonesia.

Terlepas dari validitas dari data itu, paling tidak jika kita mengamati bondong-bondongnya kedatangan para pelajar yang ingin menimba ilmu di kota ini setiap tahunnya selalu banyak dan cenderung meningkat. Setiap tahun, universitas-universitas menambah jumlah kuota kursinya. Setiap tahun beberapa universitas juga membuka prodi barunya. Dan itu selalu diminati dan ditempati oleh para pendatang tersebut.

Kembali ke konteks kenyaman itu, persoalannya adalah, ketika kemacetan terjadi di daerah ini, akankah kenyamanan untuk ketentraman tadi dapat dirasakan para pendatang tersebut? Lalu ketika kemacetan tersebut tetap dirasakan para pendatang, lalu apa bedanya kota ini dengan kota tempat perantauannya yang saban hari menampilkan kemacetan-kemacetan panjang?

Kita tentu tidak boleh menyalahkan para “plat luar” yang mayoritas menjadi penghuni kemacetan-kemacetan itu. Tentunya sebagai masyarakat Yogya, termasuk yang berhati Yogyakarta, juga yang sama-sama merasakan memiliki kota ini, harus saling menyadari, bahwa kita semua tidak menghendaki ketentraman kota tercinta ini menguap ke langit begitu saja. Seluruh komponen harus berupaya menjaga nilai tersebut. Jangan sampai, anak cucu kita merasakan kemacetan-kemacetan ini di kemudian hari.

Solusi tentu menjadi tanggung jawab pihak berwenang. Dengan catatan, kita bersedia dan mau menjadi part of solution dari kebijakan-kebijakan yang akan mereka buat. Mungkin dengan perbaikan infrastruktur, atau strategi kebijakan perbaikan transportasi yang tentunya harus bersama kita kontrol dan patuhi. Dan dengan bersama-sama pula mengedepankan semangat mencintai kota Yogyakarta ini.

Lebaran memang seharusnya tidak menjadi agenda perayaan/festival tahunan masyarakat saja, akan tetapi juga harus diresapi nilai-nilai spiritualnya. Namun, bila belum mampu mengkhidmati festival itu, paling tidak jangan membuat kegaduhan dalam festival tersebut. Apalagi sampai merusaknya. Selamat berfestival, Kawan! Mada/Keadilan



Tiap orang memiliki kawan. Tiap orang memiliki masalah. Pernahkah suatu kali kau berucap nasehat pada seorang kawanmu?? Dan secara terlambat sadar kau menasehati dirimu sendiri juga?

Tak hanya pernah, betapa sering untukku. Dari beberapa tempat saat aku dan kawanku bertukar ucap. Saat kami memuntahkan persoalan-persoalan yang mengendap di pikiran. Dan waktu giliranku untuk berpendapat walau lebih tampak seperti nasehat. Kemudian muncul kata-kata bijak, yang semestinya bukan hanya teruntuk kawanku juga untuk diriku sendiri, mulutku sendiri.

Apa yang membuat seorang kawan harus didengarkan nasehatnya? Tidak ada yang mengharuskan kukira. Namun ada baiknya untuk dijadikan bahan timbangan. Atas nama penghargaan akan ketulusannya. Ketika nantinya akan berbuah sebuah keputusan untuk menentukan pilihan. Mana yang lebih berbobot, bibit dan bebet. Tentunya kita sendiri yang menimbang. Dengan akal dan nurani kita masing-masing.

Masalah lumrah dimiliki manusia. Ia bagai garam dalam sebuah masakan. Kita dapat merasakan keberadaannya saat ia terlalu banyak juga terlalu sedikit. Saat komposisinya pas dengan masakan, maka ia tak terasa.



Ia kayuh sepeda tuanya. Dua keranjang berisi kemungkinan-kemungkinan yang berada di belakangnya tampak gemuk. Kalau kata orang desaku, sepada itu namanya Onthel. Tidak seperti sepeda jaman sekarang yang bisa disesuaikan berat/ringan kayuhnya, sepeda itu masih menggunakan mekanisme sederhana. Tidak bisa ganti gigi.

Pukul 02.00 dini hari. Di jalanan warung boto. Wanita tua itu terlihat tak peduli dengan cucuran keringat di keningnya. Ia menatap kuat aspal cadas di hadapannya. Juga sekeliling yang ia lewati. Di sisi lain, satu-dua motor melintas berlawanan arah. Beberapa kelebat cahaya lampu sepeda bermesin tersebut menyorot bola matanya. Memantul ke segala yang bersedia terpantulkan. Termasuk yang bersamaan melewati jalan warung boto.

Ia dari arah timur, aku dari barat. Ia sedang memulai kesibukannya, aku hendak mengakhiri hariku. Paradoks. Namun tidak dalam semua hal kami berbeda. Kami memiliki dua kesamaan. Pertama kami sedang sama-sama berada di jalan warung boto. Kedua, kami sama-sama menuju ke suatu tempat.

Entah kenapa waktu kami di pertemukan di ruangan itu. Juga mengapa angel yang aku tangkap saat itu menohok amat. Haruskah sepagi ini? Prasangkaku kuat, Sutradara itu sedang memainkan skenarionya dengan aku sebagai salah satu aktornya. Tidak tahu apakah aku sebagai aktor utama atau figuran. Tidak tahu apakah sekarang sedang di awal pertunjukan atau akhir. Yang jelas, gumam firasatku, (sekarang) drama tersebut sedang berjalan.

***

Memang asik bermain duga-duga. Apalagi tentang perilaku manusia. Bahayanya ketika prasangka kita sudah melewati batas kewajaran. Dan sampai-sampai kesadaran kita tak mampu menjamah yang berada di luar batas itu. Maka tidak disarankan bermain duga-duga yang belum mampu bersahabat dengan sadarnya.

Dalam metode ilmiah, kita kenal yang namanya hipotesa. Secara harfiah hal itu berarti dugaan sementara akan suatu kejadian/peristiwa ilmiah. Bagi yang mengenal hipotesa saya yakin ia sudah bisa berkawan dengan sadarnya. Buku-buku, ceramah dalam kelas, juga pengalaman-pengalaman dalam lingkup pendidikannya sudah membentuk prasangkanya tentang hipotesa. Juga termasuk anda yang bisa membaca coretan ini.

Membentuk hipotesa bukan pekerjaan sulit. Tinggal kita seksama mengamati apa yang terjadi dan merangkainya menjadi sebuah bentuk. Tinggal darimana kita berangkat saja. Dari kampus atau dari rumah. Dari rumah atau dari pasar. Bermacam-macam. Yang jelas kita paham dahulu daerah mana yang harus digunakan ketika harus menghipotesakan suatu hal.

Aku bermain prasangka. Bahwa wanita itu sedang menuju ke suatu tempat. Aku bermain dugaan. Wanita itu sedang menuju pasar. Bisa jadi wanita itu sedang terburu-buru ke pasar untuk menjual suatu barang. Bisa jadi barang itu satu-satunya yang ia berharga. Jangan-jangan ia menjual barangnya karena ia tak sanggup membayar uang seragam anaknya. Jangan-jangan. Bisa jadi.

Otoritas prasangka pun tidak terbatas. Ia tak mengenal umur, gender, kaya-miskin dll. Berprasangka merupakan salah satu kenikmatan yang dianugerahkan terhadap kita. Coba saja, hewan mana yang pernah memprasangkaimu?

Wanita itu juga berhak berprasangka kepadaku. Jangan-jangan ia berpikir aku jangan-jangan dari pulang kerja. Jangan-jangan ia menduga aku jangan-jangan sehabis berdiskusi tentang tugas-tugas kuliah yang harus aku kerjakan. Jangan-jangan ia berprasangka aku jangan-jangan setelah berkonsultasi dengan dosen. Paling-paling. Jangan-jangan.

Bisa saja hal demikianlah yang disangkakan terhadap seorang mahasiswa sepertiku yang masih mengenakan kemeja pada pukul 02.00 pagi.

Bebas. Tidak ada yang melarang ia berprasangka apapun terhadapku. Mau itu suudzon atau khusnuzon. Itu kewenangan dia sebagai makhluk-Nya. Tetapi yang perlu harus dicek lagi, apakah prasangka yang aku prasangkakan terhadapnya benar-benar prasangkanya? Jangan-jangan itu prasangkaku sendiri.


Dan jika kali ini diperkenankan berprasangka sekali lagi, mungkin kemungkinan-kemungkinan yang ada di keranjang sepeda wanita tua tadi berisi sederetan prasangka juga.

*Tulisan untuk Hari Menulis Jumat lalu*

Beberapa hari belakangan ini kamar rasanya amat gerah. Tiap mau tidur, saya seperti hendak dipanggang di oven raksasa. Selalu saja gembrobyos. Walhasil, transisi menuju dunia mimpi membutuhkan waktu yang agak lama.

Seharian tadi lumayan melelahkan. Dihajar ujian 2 mata kuliah dan pepanasan ngalor-ngidul, membuat saya harus tumbang di tempat tidur saat ini. Biasanya jam segini sik masih berkeliaran di luar rumah atau malahan baru ke luar rumah.

Siang tadi, ngenthang-ngenthang, saya bersama kawil keliling jogja buat mencari tenda. Maksudnya menyewa. Ceritanya besok Jumat-Minggu anak Keadilan mau main ke Gunung Lawu. Kebetulan saya, Kawil dan Mas Bobi kebagian PJ Perlengkapan. Jadi, tanggung jawab perlengkapan ada di pundak kami bertiga.

Hari Kamis sampai Minggu adalah weekend panjang, artinya siap-siap susah cari sewaan alat. Itu pikiran kami sebelumnya. Benar saja, dua lapak yang kami tanyai serempak berkata: Tenda untuk jumat-minggu kosong. Artinya sudah dipesan orang. Artinya kami harus mikir mau cari sewaan dimana.

Untung masih ada satu lapak persewaan yang masih menyisakan tendanya untuk kita. Walaupun nggak sesuai yang kita harapkan, paling tidak ada sepercik asa untuk tidur nyaman weekend besok.
Tatkala saya mau fixasi pesanan tenda sama mas Baskara (kalo gak salah), sms dari mas bobi masuk.  Bunyinya gini, ”Udah balik dulu aja. Nanti diobrolin lagi.”. Akhirnya dengan muka nggonduk (campuran kecewa dan malu) saya pamitan sama mas Baskara.

Kami menuju Lapangan Sidokabul tempat mas Bobi dan teman-teman nongkrong. Kami memang sering menghabiskan sore di tempat ini. Makan, ngopi atau ngobrol hingga senja tiba. Kadang-kadang kami juga disuguhi pesta rakyat kecil-kecilan: sepakbola warga. Seru sekali menontonnya.
Juga sering diramaikan anak-anak 15-an tahun yang sedang berlatih SSB di Sidokabul ini (Sekolah Sepak Bola).

Kebetulan sore itu anak-anak SSB sedang latihan. Ramai sekali.

Setelah ngobrol sama Mas Bobi dan saya sampaikan hasil ngalor-ngidul  tadi, fokus pandangan saya berpindah ke kerumunan anak SSB yang sedang latihan. Dengan seragam kebanggan hijau-muda, mereka tampat riang gembira. Tak satupun dari mereka yang tampak memperlihatkan rautmuka sedih..

Memang tidak ada yang lebih menyenangkan daripada bercengkrama dengan sebayanya saat seusia mereka.

Ditengah pelamunan ini, saya teringat seorang loper koran seumuran anak-anak SBB yang saya jumpai  beberapa jam sebelumnya. Ia sedang setengah duduk bersandar di tiang trafik sebelah selatan perempatan Pasar Sentul. Koran yang ia bawa masih setebal kamus KBBI.

Bibirnya yang kering menandakan ia sedang dahaga. Topi yang ia kenakan juga tak mampu mengurangi derasnya keringat didahinya. Malahan semakin deras. Namun ditengah semua itu, ia tampak tenggelam dalam lamunannya.

Kali ini ia tak beranjak sedikit pun dari posisinya hingga saya meninggalkan perempatan itu. Mungkin, lamunannya sedang dipenuhi layang-layang yang berterbangan. Mungkin juga sedang diramaikan senda-gurau teman sebayanya yang sedang bermain bola. Atau mungkin, lamunannya sedang mendongengkan dia tentang sebuah mitos: dongeng sebelum tidur dari seorang Ibu kepada anaknya.


Keadaan selalu tak bisa disalahkan. Karena ada yang selalu lebih berhak dipersalahkan ketimbangnya. Keadaan adalah berbicara waktu. Yang mana akan selalu melaju kecuali ia menghentikannya sendiri. Pernah ia melacur kepada manusia? Tidak. Tidak pernah dan tidak akan mau. Manusialah yang banyak melacur kepadanya dalam bentuk bermacam-macam.

Beberapa waktu ini pikiranku disibukkan dengan urusan timbang-menimbang. Bukan soal akademik. Bukan pula soal ekonomi. Tidak jauh-jauh dari persoalan keadaan tadi:

Aku mengenalnya sudah sekitar 5 tahun lamanya. Awalnya, ia biasa saja. Pelan-pelan seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat samar terdapat magnet dalam dirinya. Perasaan kacau. Antara ingin mendekat atau menjauh. Ya, aku belum tau komposisi magnet tersebut. Apakah kebanyakan unsur penarik atau penolak (dari diriku).

Buruknya, aku sampai sekarang belum mengetahui pasti jenis dari magnetku sendiri. Jadi dapat dibayangkan, kesulitanku menebak-nebak dia sedangkan aku sendiri belum mengenalku intim. Ada atau tidak saja aku belum yakin.

Seandainya benar, pastilah hubungan kedua makhluk ini sudah berbeda sifatnya. Apakah bisa dijamah bahkan dijelajah orang lain, atau eksklusif VVIP yang tak sembarangan orang memperoleh aksesnya. Bisa dibilang kita belum benar-benar saling mengenal secara hati ke hati.

Aku adalah orang yang beruntung di semesta ini. Berdiri diatas kaki sendiri. Makan dengan tangan sendiri. Ngomong dengan mulut sendiri. Walaupun yah, itu semua bermula dari kandungan Ibu. Kalau begitu boleh senang sedikit dengan catatan perbanyak prihatin dan tangguhkan batin.

Mereka mengenalku. Sebagai manusia atau pecundang. Atau mungkin blasteran, yang si manusia pecundang. Semuamua membuatku terus-menerus mencermati cermin. Kemudian bertanya-tanya, rejeki apa yang dikaruniakan-Nya kepadaku. Apakah aku sehina ini?

Jawabanku untuk soal magnet tadi, sudah cukup jelas. Aku tak ingin melihat sosokku sendiri. Aku takmau tiap waktu, tiap kesempatan lenyap sia-sia.

Apa yang benar-benar menaklukan? Soe harto? Bukan. Hitler? Bukan. Atau Van Heutz, gubernur jendral Hindia Belanda? Bukan pula?

                                            Aku menyebutnya: hati yang lapang

**Tulisan beberapa bulan yang lalu dan lupa ngaplodnya. Ditulis setelah bercermin**

Apabila ajang ‘mendoakan’ pensil yang dilakukan siswa-siswi MA Al-Ihsan di Jombang terjadi di era 1970-an, saya kira fenomena tersebut masih dapat dimaklumi. Sebab saat itu kepercayaan akan takhayul masih tinggi. Sulitnya mengakses informasi dan kentalnya kultur tradisional menjadi penyubur cara berpikir masyarakat saat itu.

Mungkin bagi siswa-siswi MA Al-Ihsan, ritual yang telah dilakukan sejak tahun lalu ini mereka anggap wajar. Mereka berdoa selayaknya doa-doa yang digunakan masyarakat secara umum: Surat-surat pendek, wirid dll. Sebelum ‘ritual’ siswa-siswi juga diarahkan untuk sholat dhuha dan istighosah terlebih dahulu. Karena ritual yang terbungkus formalitas agama secara rapi dan juga fakta empiris bahwa tahun lalu ritual tersebut menghasilkan kelulusan 100%, tak ayal pelajar Madrasah Aliyah Al-Ihsan percaya akan tuah pensil terdoakan tersebut.

Kejadian itu masih segar dalam ingatan (13/4). Bersamaan dengan kegagalan Ujian Nasional dan sederet kebobrokan yang disadari atau tidak itu mencuat ke publik, peristiwa ini menebalkan pola keanehan dari fakta pendidikan kita saat ini.
Pada dasarnya hakikat pendidikan menurut Paulo Freire adalah pendidikan yang membebaskan. Artinya peserta didik dibebaskan untuk berdialektika terhadap permasalahan yang ada disekitarnya. Peserta didik harus mampu menempatkan dirinya sebagai subjek pendidikan utama bukan menjadi robot bagi suatu sistem.

Peristiwa di Jombang tadi malah mempersempit pengertian dari pendidikan itu sendiri. Disitu tampak bahwa definisi pendidikan berkutat pada hal nilai. Ia melupakan esensinya yang berdasarkan proses. Terlihat dari tujuan yang digunakan pada peristiwa itu yang berujung pada predikat kelulusan bagi para siswa-siswi. Bisa jadi siswa-siswi tersebut ketakutan akan ketidaklulusannya sehingga mereka perlu sesuatu yang mampu menenangkan dan meyakinkannya. Lantaran kultur pendidikan di lingkungan mereka yang mengharuskan predikat “LULUS” bagi pelajarnya.

Secara tidak langsung Ujian Nasional melahirkan fenomena pemaksaan yang disebabkan persepsi umum mengharuskan anak didik mendapat predikat lulus. Sehingga segala cara akan digunakan para peserta agar lulus dari UN. Dari hal yang dapat di nalar hingga yang membuat dahi mengerenyit karena ketidak logisan cara yang digunakan. Dari menggunakan mafia jawaban hingga menyandarkan soal jawaban kepada dukun.

Tidak menutup kemungkinan, kejadian yang terjadi di Jombang merupakan satu dari kejadian serupa didaerah lain. Fenomena ini semacam gunung es. Yang tampak hanyalah pucuk gunungnya saja, sedang untuk dapur gunung/dapur magma belum tersentuh. Bisa jadi, terdapat ratusan atau bahkan ribuan kasus yang secara substansi sama hanya berbeda bentuk.

Kejadian ini dapat dipandang sebagai cerminan UN saat ini. Bagaimana dari peristiwa di jombang tersebut kita dapat merekam ketakutan akan momok yang bernama Ujian Nasional. Perhelatan akbar dari dinas Kemendikbud tersebut menjadi mimpi buruk bagi lingkaran pelaksananya.

Menilik dari carut marutnya distribusi soal, juga masih terdapat beberapa sekolah yang menghalalkan contek-mencontek bagi siswa-siswinya dan segala polemik yang dialami peserta bolehlah dikatakan bahwa tahun ini Kemendikbud gagal dalam mengemban amanah. Ketidaksiapan para panitia, rumitnya pelaksanaan, atau ketidakseriusan para birokrat dalam menjalankan tugas menjadi variabel-variabel kemungkinan kegagalan Ujian Nasional tahun ini.

Seharusnya pemangku kebijakan benar-benar serius memikirkan tentang masih relevankah penerapan sistem Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan di Indonesia. Evaluasi secara internal wajib digencarkan. Tidak lupa pula mencermati keadaan objektif lingkungan peserta Ujian Nasional. Tenaga pendidik, orangtua dan jajaran pengurus pemerintah lokal (Kelurahan, RW, RT) harus satu frame. Sehingga, terbentuklah kondisi ideal yang kondusif untuk jalannya Ujian Nasional kedepan.
Baik-buruknya sistem ini (UN) juga harus benar-benar diperhitungkan. Jangan sampai kekonyolan-kekonyolan lain yang jauh dari esensi pendidikan seperti yang saya pada awal-awal dipaparkan tadi muncul ke realita pendidikan Indonesia.

Hari Pendidikan Nasional tahun ini tidak relevan lagi untuk dirayakan. Pemerintah harus sejenak melupakan atribut formalnya sebagai pemangku kebijakan dan memposisikan dirinya sebagai makhluk kepercayaan Tuhan yang ditunjuk untuk mengurus hal pendidikan di Indonesia. Segala agenda yang bersifat seremonial ditiadakan saja -termasuk upacara bendera-. Lebih baik diganti dengan acara doa dan perenungan bersama, seperti  halnya yang biasa dilakukan siswa-siswi sebelum Ujian Nasional diadakan. 

Lagi-lagi pekik adzan subuh mencumbui gendang telingaku. Untuk kali ini suara muadzin terdengar agak serak. Mungkin karena ia baru bangun tidur dan belum sempat minum. 

Saya baru saja pulang dari menonton pertandingan Barcelona melawan Bayern Munchen. Di sebuah warung cafe daerah Rejowinangun, bersama dengan beberapa teman, saya turut meramaikan semarak bola yang sedang mewabah di beberapa belahan dunia.

Tujuan utama saya datang kesana sebenarnya bukan untuk nonton bareng, melainkan bertemu teman-teman. Toh juga, tempat tersebut memang tidak disediakan khusus untuk nonton bareng. Namun karena pemilik warung orangnya asik, paham tentang hobi anak muda, dia sediakan ohp dan wide screen. Jadilah semacam nonbar kecil-kecilan.

Tidak lebih dari 15 orang berada di depan wide screen. Namun euphoria bola tetap terasa. Selain karena serunya pertandingan, juga teriakan sana-sini dari mulut penonton.

Pertandingan dimenangkan Bayern Munchen. Tim kaya raya asal jerman. Setahun lalu, tim ini sempat masuk ke final liga champion. Namun tumbang oleh Chelsea, utusan inggris. Saya sebagai fans chelsea  tentu masih fasih untuk bercerita tentang memori setahun lalu tersebut. Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan.

Pukul 03.54 saya menginjakkan kaki di lantai rumah. Simbah dan tante masih tertidur. Saya masuk dengan sebisa mungkin meminimalisir suara lantaran takut menganggu tidur lelap mereka. Lalu menghadap laptop.

Seharian tadi saya cukup gagal untuk menjadi manusia. Apalagi mahasiswa. Kenapa? Bangun tidur pukul 15.00 membuat saya meninggalkan tanggung jawab serta kewajiban. Belajar.

Kalau kata bang badjuri, orang tidur itu yang paling sedikit hidupnya. Demikian kalimat yang selanjutnya menjadi bahan pikiran saya. Tidur terlalu lama tanpa meninggalkan kewajiban pun tidak baik dan mungkin tidak benar. Apalagi yang juga meninggalkan kewajiban.

Berulang kali saya mengevaluasi diri, tetap saja terulang. Itulah kenapa saya merasakan menjadi manusia gagal. Alih-alih mahasiswa yang berposisi sebagai manusia ideal.

Barangkali saya takluk terhadap ego diri sendiri. Barangkali saya termasuk orang-orang yang tak mampu tegas terhadap diri sendiri. Atau jangan-jangan saya termasuk individu pemalas, yang suka menggantungkan apapun dan kapanpun.

Soal kewajiban kerap kali saya pikirkan. Namun apa daya pikiran non-action untuk merubah suatu keadaan. Ujung-ujungnya tetap sama, tidak ada progres. Inikah yang dinamakan manusia jahiliyah? atau malah manusia modern yang dicekoki simbol-simbol kapitalisme?

Yang jelas sejauh ini saya merasa gagal sebagai manusia. Untuk sekedar mengenal diri saja malas. Bagaiamana untuk paham tugas dan peran saya? Adakah yang merasakan sama seperti saya? Atau hanya saya saja?

Menilik muadzin tadi, Saya jadi kepikiran. Untuk menggerakan tubuh demi memenuhi kewajiban duniawi saja saya tak mampu. Apalagi untuk kewajiban pada dimensi akherat. Hampir mustahil secara logika.

Sedangkan ia (muadzin), yang ia lakukan tentu tak memberinya keuntungan secara material. Malahan, mungkin mendapat cemoohan dari orang-orang yang merasa terganggu  atas lengkingan pengeras suara . Akan tetapi, ia tetap menjalankan kewajibannya.



MALAM ITU, BERAWAL DARI OBROLAN Kami (toyo, kanji dan saya) tentang Fenomena film 5 cm yang sedang booming pada pertengahan Desember 2012. Cerita soal pendakian menjadi topik yang hangat untuk kemudian kami perbincangkan.

Serba-serbi tentang mendaki gunung menjadi bahasan seru. Hingga salah satu dari kami mengajak untuk nanjak kembali. Karena sudah lama kami tak melakukannya dan kebetulan musim liburan semester didepan mata, idenya mendapat respon positif dari teman-teman. Oke. Serempak kami sepakat nanjak di awal liburan nanti.

Soal tujuan, tak lama kami untuk menentukan. Pilihan jatuh ke Gunung Sindoro. Sudah lama kami berkeinginan untuk mengunjungi gunung ini. Kata orang, gunung ini memiliki daya tarik tersendiri yaitu pada panorama yang disajikan.

Segera kami menentukan waktu untuk merealisasikannya. Diputuskan tanggal 1-3 Februari 2013 sebagai waktu pelaksaannya.

Tersepakati, Sindoro 1-3 Februari 2013.

Sisa beberapa hari sebelum pelaksanaan kami gunakan untuk pengumpulan massa dan persiapan. Siapa saja yang bisa dan bersedia ikut kami hubungi. Satu persatu teman-teman menyatakan keinginannya untuk mengikuti pendakian kali ini. Sikat, Cecak, Devi, Nina menyatakan bersedia. Menyusul Jenglot, Luqita, Molen, Kriwek dan Mehong.

Kemudian kami agendakan semacam rembugan untuk persiapan. Tanggal 29 Januari 2013 termufakati untuk berkumpul bersama membicarakan apa saja yang perlu dan harus dipersiapkan untuk menunjang acara pendakian.  Beberapa orang hadir pada saat itu. Topik pembicaraan terkait dengan segala hal yang akan dibawa dan konsumsi saat hari H.

Untuk pemantapan persiapan, kami mengadakan semacam TM (Technical Meeting) pada tanggal 31 Januari 2013. Semua hadir tepat waktu pukul 19.00 WIB kecuali saya yang harus terlambat karena sedang ada keperluan di kampus.

Rencana kami, tiga hari dua malam di Gunung Sindoro. Berangkat dari Jogja Jumat 1/2/2013 siang pukul 14.00 WIB, sampai Jogja kembali hari Minggu 3/2/2013 sore. Dengan pertimbangan, melihat jumlah yang ikut mendaki kali ini tidak sedikit dan juga cuaca yang sedang tidak menentu. Kami putuskan, untuk tidak menggunakan mahzab pendakian “tik-tok” atau sehari semalam. Tik-tok akan benar-benar sulit dengan kondisi dan cuaca seperti ini.

Beberapa dari kami kesulitan perihal perizinan pada orang tua masing-masing. Alasannya hampir seragam, beliau-beliau tidak ingin anaknya terkena suatu hal yang tidak diinginkan. Curah hujan tinggi dan tidak menentu membuat beliau berpikir berulangkali untuk melepas anaknya menjelajah rimba. Dengan meyakinkan kepada orangtua masing-masing, kami mendapat izin bahkan restu dari beliau-beliau.

Segala persiapan sudah dibicarakan. Dari perlengkapan dan keperluan kelompok-pribadi hingga waktu dan biaya yang akan digunakan. Kami semua sepakat dan pulang ke rumah dengan tugas serta tanggungjawab masing-masing.

---

PAGI-PAGI MENGANTAR  simbah ke pasar. Sekalian beli keperluan untuk nanti; ayam, aqua, snack dan lain-lain.

Pukul 13.30 WIB. Saya memacu sepeda motor menuju titik kumpul, sambil dipayungi awan hitam yang mengepul dilangit barat. Setibanya disana, ternyata sudah ditunggu oleh Kanji, Toyo, Mehong, Devi, Luqita dan Cecak.

03.00 WIB. Jenglot sms Kanji. Dia minta untuk dijemput. Oke, berhubung saya masih harus meminjam Sleeping Bag di tempat Ibenk, sekalian saja saya jemput. Kami bertemu di masjid kampus UGM.

Sampai KangTri, sudah ditunggu anak-anak. Berhubung waktu Ashar sudah lewat, kami sepakat sholat terlebih dahulu.

Selesei sholat, kami bersiap-siap. Setelah segala keperluan dirasa siap, lekas kami berdoa untuk perjalanan 3 hari kedepan agar senantiasa diberi keselamatan dan kelancaran.

Kami berangkat dengan sepeda motor. Baru 5 menit saja kami sudah hujan sudah menyambut perjalanan kami. Daripada sakit atau terkena suatu hal yang tak diinginkan, kami gunakan mantel.

Ada yang menarik disini. Salah satu dari kami, yaitu sikat dan devi mengendarai motor thunder yang bertangki depan. Saat itu, sikat meletakan kerrirnya ditengah diantara devi dan dia. Devi menggendong kerrirnya dibelakang. Kemudian, mereka menutupi tasnya masing-masing dengan jas hujan. Tinggi karrier mereka sekitar 1 meter. Sekilas nampak seperti empat orang dewasa dalam satu motor. Coba ada polisi, bisa-bisa ia dikira cengpat dan ditilang.

Kami lanjutkan perjalanan. Selama dijalan, rombongan sebisa mungkin tidak jauh-jauh satu sama lain. Agar setiap kali ada keperluan untuk berhenti tidak rombongan bisa berhenti bersama. Untuk kordinasi pun jadi lebih mudah.

Hujan cukup deras. Cukup membuat kami beberapa kali mengusap kaca helm untuk membersihkan air hujan.

Adzan maghrib terdengar. Kami berhenti di sebuah masjid kampung pinggir jalan. Motor kami letakkan di depan rumah seorang warga. Kebetulan, si empunya rumah yang sudah sepuh itu keluar menengok. Sekalian saja izin untuk istirahat dan parkir motor. Alhamdulillah kami diberi izin. Hujan juga tak hadir lagi. Usai sholat Maghrib, rombongan meneruskan perjalanan.

Kota Temanggung menyambut kami dengan lagi-lagi hujan-Nya. Kali ini tidak sederas tadi dan juga tak lama. Sehingga perjalanan dapat kami teruskan dengan aman.

Sampai Parakan, Kanji-Cecak sudah melesat jauh di depan. Perhitungan kami soal keberadaan warung di depan nanti dan ketersediaan sarana-prasarana soal perut membuat kami sepakat untuk berhenti dahulu. Makan.

“Mumpung masih dikota. Warung-warung masih pada buka. Kita berhenti disini saja. Nanti kanji sama cecak di hubungi, kalo belum makan kita bawakan”, kataku.

Seraya kami memesan menu, kanji dan cecak kami hubungi. Cecak yang merespon. Katanya, dia sudah sampai dibasecamp. Tapi hal yang mengejutkan kami adalah kalimatnya selanjutnya.

“Aku wes ning basecamp. Tapi dudu ning basecamp Sindoro, Sumbing. Basecamp e sindoro tutup. Yowes aku mrene wae.”

Sontak kami kaget. Bayangan kami, rencana yang ter-planning kan kemarin akan berantakan. Kami tanyakan sebab-musababnya. Cecak menjawab:

”Paling mergo wingi kae ono sing meninggal ning puncak sindoro. Sing keno gas beracun kae.”

“Yowes-yowes rapopo ning sumbing yo podo wae. Tur kowe wes madang durung?”, tanya Toyo.

“Uwes kok. Iki lagi pesen Mie Rebus.”

Oke kami berembug soal kabar tadi. Bagi kami sebenarnya bukan masalah yang pokok. Asalkan gunung sumbing dapat ditapaki oleh kaki-kaki kami, hal ini oke-oke saja. Wani Teros pokoknya.

Kami menginjakan kaki dibasecamp Sumbing sekitar pukul 22.00 WIB. Segera kami masuk basecamp. Lepas segala barang bawaan dan memarkir motor di belakang basecamp.

Sambutan hujan temanggung hingga basecamp tadi cukup melelahkan fisik dan psikis kami. Bergegas kami mengeringkan badan. Apasaja yang mampu membuat hangat badan kami gunakan. Sleeping Bag, Jaket, Sarung, Buf, kami gunakan semestinya. Tak lupa kompor, gas, nesting kami tata sesuai tempatnya masing-masing. Kopi, susu, dan minuman seduh lainnya kami buat.

Sembari menyeduh kopi dan berbagai minuman hangat, kami berbincang soal pelaksanaan pendakian. Rencana awal yang kami buat, kami akan nanjak malam itu langsung. Namun, dengan pertimbangan kondisi jalan, fisik-moral dan cuaca kami pastikan untuk nanjak besok pagi. Semua sepakat.
Setelah acara ”Kupi-kupi dan Ngroki-ngroki”, kami tidur pulas.

---

MATARI PAGI MERANGKAK DARI BALIK gunung. Posisi basecamp yang berada di antara dua gunung ini menyajikan panorama alam yang tak bisa kami dapat di perkotaan. Cakrawala jingga keemasan terbentang di sisi utara dan selatan. Sedang di timur dan barat, kedua gunung yang  mengapit kami berdiri gagah dan kokoh.

Pagi 2 Februari 2013 itu, suhu udara kira-kira 10 hingga 15 derajat celcius. Cukup untuk menyamai dingin maksimum Air Conditioner di hotel mewah. Air wudhu pun terasa es batu. Usai sholat kami sempatkan Ngopi dan Ngroki kembali sambil bersiap-siap nanjak.

Pukul 06.30 WIB kami sudah siap. Kerrier sudah terpampang di punggung masing-masing. Atribut pendaki selow juga sudah lengkap: kacamata, topi, slayer, syal, sarungtangan, jam, dan tak lupa speaker portable. Semuamua yang mungkin dibawa kami bawa, yang mungkin dipasang-dipasang, yang mungkin dipakai-dipakai.

“Yang penting Style-nya”, kata salah seorang dari kami.

Konsep pendakian kami memang tak ambisius muncak. Kami memilih selow atau santai. Yang penting nyaman, aman dan “keren”.

Jalan dari basecamp memang beraspal halus selama 10 menit-an. Kemudian dilanjutkan dengan batu-batu yang tertata rapi.

Hiruk-pikuk warga pedesaan di Sabtu pagi ini menjadi sambutan istimewa bagi kami. Sopan santun benar-benar kami jaga. Seperti yang terpampang di tata-tertib pendakian basecamp tadi.

Sekitar 30 menit dari basecamp kami mulai memasuki ladang perkebunan warga. Ladang rata-rata ditanami tembakau oleh warga. Ada juga yang menanam daun bawang, namun jumlahnya tidak banyak.
Satu jam berjalan kami berhenti untuk istirahat. Duduk-duduk dipinggir jalan desa. Sekitar kami hamparan ladang tembakau yang berpetak-petak. Dengan guyuran hangat sinar mentari, hamparan ladang ini tampak menawan.

Sejuknya udara pagi membuat kami semakin menikmati perjalanan. Musik belum kami perkenankan berkumandang. Maklum, suara alam yang lebih elok masih bergema di sekitar. Kicauan burung terdengan merdu juga syahdu.

Perjalanan kami juga disuguhi oleh fenomena “Motorcross Lokal”. Sebenarnya itu sebutan kami untuk warga yang naik-turun ladang dengan mengendarai sepeda motor. Dengan membawa beban dibelakangnya, Jockey tersebut mengendarai motornya bak seorang Profesional Motorcrosser. Bedanya tanpa helm dan jaket pelindung. Tapi tetap saja, liuk sana liuk sini, lompat dan gaspol.

Sekitar 2,5 jam dari basecamp kami tiba di perbatasan antara ladang penduduk dan kawasan perhutani. Istilah warga disebut Bosweisen.

Saya jadi bertanya-tanya. Kalau tidak salah, ada yang pernah bilang, Negara Indonesia tidak maju karena orangnya malas-malas. Dua setengah jam berjalan bukan hal yang mudah menurut saya untuk sekedar berangkat kerja. Belum lagi untuk penggarapan ladangnya. Juga medan yang menanjak. Setidaknya, untuk kaum petani kaki gunung sumbing ini, pernyataan tersebut tidak terbukti.

Sekitar 10 menit dari Beswiesen kami jumpai semacam sungai kecil. Airnya bening, hingga dasar sungai tersebut terlihat. Kata teman saya yang meminum airnya, rasanya sangat segar. Pertamakali saya coba minum sedikit: Memang sungguh menyegarkan. Akhirnya saya minum saja banyak-banyak, sekalian 
menghemat.

Kami cukup lama bermain di tempat ini. Sekitar satu jam. Gemericik air berlatar pemandangan kaki gunung sumbing hampir membuat kami terbuai. Anggap saja ini sebagai sambutan dari gunung sumbing pada kita. “Sumbing, here we come”, kataku dalam hati.

Perut saya mulai berkicau tak karuan. Ia tak mau kalah dengan burung-burung di ranting pohon. Kami memang belum sarapan. Karena itu, kami sepakati sarapan di Pos I yang menurut peta tidak jauh dari sungai ini. Sekitar 10 menit dari sungai kami tiba di Pos I Kedung.

Acara makan kali ini sepertinya sudah tidak lagi patut disebut sarapan. Lebih tepatnya Sarapan siang. Karena waktunya memang sudah tidak pagi dan belum siang. Ah urusan penamaan saja, tidak penting. Yang penting perut terisi.

Perlengkapan memasak kami keluarkan dari wadahnya. Juga bahan-bahan makanan. Sarapan-siang pagi itu cukup sederhana. Oseng-oseng tempe lauk tempe.

Yang kebagian sebagai Penanggung Jawab makan kali ini adalah Toyo. Memang kami sebelumnya sepakat dengan adanya PJ-PJ ini. Sebab, urusan perut tidak bisa ditolerir (Sebenarnya hanya iseng-iseng saja)

“Chef” Toyo dibantu “Chef” kriwik terlihat cekatan menyiapkan masakan. Chef kriwik menangani divisi ke-nasian. Sedangkan Chef toyo mengolah (tepatnya mengolak-alik) tempe yang akan menjadi santapan kami nanti.

Ada catatan bagi kami, kami tidak membawa minyak goreng. Walhasil, chef toyo memasak  tempe-tempe tersebut tentu dengan hemat mentega karena persediaan terbatas.
Sisa tempe yang masih banyak, kami gunakan untuk membuat oseng-oseng. Chef toyo dan kriwek dengan bumbu khusus al-waton memasak tempe-tempe malang tersebut. Jadilah oseng-oseng tempe “kahanan” yang kami sebutkan tadi.

Beberapa menit kemudian, nasi sudah matang. Tempe sudah garing dan Oseng-oseng tempe sudah di mangkok. Segera kami makan bersama-sama.

Entah apapun makanannya, rasanya tetap sama saja. Yaitu cuma enak. Sukur-sukur kalau pas beruntung ya wuenak. Dengan oseng-oseng yang pedas dan ditambah sinar hangat mentari sarapan siang ini membuat momen kebersamaan ini terasa spesial.

Selesei makan, bersih-bersih. Saya, kriwek dan mehong turun ke sungai sebentar sekedar untuk mencuci perkakas. Yang lain bersih-bersih tempat sambil packing. Selesei bersih-bersih dan packing kembali, kami lanjutkan perjalanan.

Jalur Pos 1 menuju pos 2 cukup menanjak. Tanah kering dan pohon-pohon tinggi di kanan kiri menjadi santapan perjalanan kami. Saya selalu berebut dengan kloter belakang untuk berada di paling belakang. Tetapi masih ada kanji yang jiwanya memang ditakdirkan untuk jadi penjaring/sweeper. Jadi saya selalu kalah oleh kanji untuk urusan paling belakang. Sebetulnya bukan kalah tapi mengalah untuk menghormati takdirnya.

Sebelum sampai pos 2, jalur agak landai.Pohon-pohon tinggi mulai tak nampak. Kanan-kiri semak tebal. Sampailah kami di Pos 2 yang cukup luas.

Di pos 2 terdapat semacam tempat beristirahat berbentuk gubug. Beratap seng dengan berdinding tanah di sebelah kanan dan belakang, tempat ini terasa sejuk. Kami sempatkan beristirahat sebentar saja karena awan sudah tampak kelabu.

Jarum jam menunjukan pukul 12.30 WIB. Kami teruskan pendakian. Semak-semak setelah pos 2 semakin lebat. Trek semakin menanjak pula. Beberapa kali kami berhenti. Terhitung sejak pos 2 tadi, Devi kram dua kali kakinnya. Mungkin karena kami terlalu banyak istirahat di tempat yang miring. Beban kaki untuk menyangga di tempat miring menjadi tambah berat.

Yang tak ditunggu-tunggu datang juga. Hujan. Segera kami berhentikan perjalanan dan mengenakan Jas Hujan kami masing-masing. Setelah terpakai, pelan-pelan kami lanjutkan perjalanan. Hujan semakin deras saat kami sampai di jalur yang lebih terbuka. Kanan-kiri hanya semak-semak rendah. Pepohonan jarang di kanan-kiri. Kondisi hujan yang disertai angin, cukup membuat kami kerepotan harus memegangi jas hujan agar tak kesana kemari.

Kemiringan jalur semakin lama semakin ekstrim. Sampai seringkali saya tersrimpet jas hujan saya sendiri. Karena dengan kontur tanah yang begitu miring, otomatis saya harus menyesuaikan dengan kondisi. Posisi jalan yang saya condongkan ke depan, membuat jas hujan berulangkali terinjak. Hal ini begitu merepotkan.

Dengan sabar dan tabah, kami menyusuri pijakan demi pijakan. Satu, dua, satu, dua, berhenti. Satu, dua, satu, dua berhenti. Begitu ritme jalan kami. Banyak berhenti memang, tapi tidak duduk agar tak cepat lelah. Karena jalur semakin licin dan ekstrim, kami terpaksa harus pelan-pelan dan harus terus  bergerak agar tidak kedinginan dan buruk-buruknya, hipotermia.

Tanah liat basah yang jarang ada batunya adalah medan yang harus kami lalui sebelum pestan. Pestan adalah tempat bertemunya jalur baru dan jalur lama. Yang kami gunakan sejak awal tadi adalah jalur baru, sesuai rekomendasi penjaga basecamp. Diawal tadi, penjaga Basecamp yang bernama mas Petruk mengatakan bahwa jalur baru secara kemiringan lebih landai dari jalur lama. Memang, ia menambahi, jalur lama menyisiri igir gunung yang cukup curam kemiringannya. Sekitar 40 derajat.

Perlahan pelan-pelan, kami menyisir jalur ini. Hujan yang sedari pos 2 tadi masih saja mengguyur sekitaran dan kami. Kami semakin down. Fisik juga menjadi makin terkuras setelah dihajar track yang menurut dahsyat ini. Beberapa kali, saya dan teman-teman, tergelincir di beberapa titik. Susah sekali untuk mencari pijakan di jalur seperti ini. Apabila seseorang dari kami ingin berhenti atau beristirahat, haruslah berpegangan diranting pohon atau dimanapun yang dapat dijadikan pegangan. Karena, benar-benar licin dan miring.

Saat berhenti, saya sempat terperanga melihat suatu fenomena. Tiga orang bapak-bapak berumur 40 tahun-an berpapasan dengan kami. Mereka membawa 4 karung seukuran karung goni besar yang berisikan penuh. Dengan sebilah tongkat yang terletak dipundaknya, 4 karung itu mereka bawa. Dua dikanan, dua dikiri.

Karena menurut peta pestan tidak jauh lagi, saya mencoba verifikasi dengan bertanya kepada salah satu dari bapaknya.

“Nuwun sewu pak badhe tanglet, pestan tesih tebih menopo?”

“Woo mboten mas, niku sekedap malih. Namung inggil menika”

“Oh ngaten pak, kinten-kinten pinten menit malih pak?”

“Walah, paling 15 menit malih mas. Lha mas e saking pundi?”, sambil tersenyum kepada kami.

“Niki kanca-kanca saking Jogja pak, badhe dolan dhateng sumbing. Menawi angsal tanglet, sakmenika ingkang dijinjing menopo pak nggih?”, tanyaku penasaran.

“Niki areng mas, saking inggil meniko”, ujar bapak tersebut sambil berpamitan akan meneruskan perjalanan turunnya.

Saya tak sempat menanyakan darimana asal arang tersebut. Juga kenapa bapak-bapak tadi memilih pekerjaan ini dan tidak berkebun saja seperti yang lain. Andaikata info bisa saya dapat, barangtentu akan menjadi tulisan yang menarik. Namun karena melihat situasi dari kami dan bapak-bapak tadi yang mempunyai keperluan masing-masing, yasudah mungkin lain kali.

Yang jelas, jawaban bapak tadi soal jarak yang sebentar lagi membuat saya dan teman-teman dikloter belakang menjadi tambah bersemangat. Pelan-pelan namun ajeg kami semakin mendekati pestan. Memang sih semangat, tapi stamina sudah dihajar habis-habisan. Jadinya, saya sempat beberapa kali hampir keceplosan sambat. Untung masih tersadar dan kontrol. Kalau tidak, hancur sudah mental saya dan teman-teman yang sudah diangkat bapak tadi.

Lambat laun, kami mulai sampai di pestan. Kontur tanah tidak datar. Sedikit miring. Juga merupakan pintu angin. Tapi tak apalah yang penting ada tempat untuk beristirahat.

Disana sudah ada teman-teman yang sedari tadi ada didepan; Kriwek, Toyo, Molen, Sikat dan yang lainnya. Saya kali ini berada di paling belakang. Sebelum para srikandi-srikandi.
Satu tenda sudah berdiri. Disusul tenda yang lain. Sementara yang lain sibuk mendirikan tenda, di tenda pertama, kriwek sibuk dengan peralatan masaknya. Ia cekatan membuatkan kami beberapa cangkir minuman hangat.

Empat tenda sudah berdiri dengan komposisi: 3 tenda untuk istirahat, 1 tenda untuk masak (dapur). Saya satu tenda dengan kanji, cecak, kriwek. Tenda depan saya, dihuni Nina, Devi dan Lukita. Yang paling atas Sikat, Mehong, Toyo, Molen, Jenglot. Memang tenda paling atas yang paling besar diantara tenda lain. Maka dari itu, disana mampu menampung banyak orang.

Sekitar pukul 17.00 WIB semua sudah masuk tenda. Juga dengan kompor dan gas, yang tak lain tak bukan, untuk ngopi. Tenda saya diisi dengan kopi hangat sembari ditemani obrolan ringan hingga yang alot sekalipun. Tidak ada salahnya kalau tujuannya untuk menghangatkan pikiran.

Kami tenggelam dalam perbincangan yang tak ada ujung. Di tenda lain juga terdengar riuh bincang-bincang. Tak lama, senja tenggelam dibalik kabut dibarengi dengan sayup-sayup adzan dari bawah.
Yang beribadah segera menjalankan kewajibannya. Kami bergantian menggunakan alas. Dua-dua. Satu imam satu makmum. Suasananya begitu syahdu, sekalipun dingin menusuk tulang. Setelah selesei beribadah masuk tenda lagi. Makan snack, ngrokok-an, minum kopi lagi.

Lama kelamaan, dari kedua tenda lain, kami tak mendengar lagi cas-cis-cus dari tenda lain. Mungkin sudah terlelap. Dugaan saya benar seiring dengkuran dari tenda sebelah saut menyaut.
Pukul 21.00 WIB, saya baru teringat bahwa kami belum makan sejak dari pos 1 tadi. Saya coba tanya pada Toyo apakah Ia lapar. Ia menjawab, ya. Segera saya dan toyo menuju tenda dapur dan menanak dua panci (nesting) beras penuh-penuh.

Sudah lama saya tak menanak nasi. Sehingga ilmunya agak saya lupa. Saya tanyakan saja pada kriwek terkait caranya, ia memberitahu dari tenda. Dengan bengak-bengok. “Dua ros jari telunjuk untuk airnya”, katanya. Saya tuangkan air sesuai dengan takaran petunjuk kriwek.

Sembari menunggu matang, saya dan toyo memasak ayam goreng. Kalau hal demikian tentu mudah, karena tinggal goreng saja. Masalahnya terletak pada minyak goreng. Padahal yang tersedia tinggal satu sachet margarin. Terpaksa kami menggunakannya dengan hemat. Sreeeng.. Satu persatu, sebentar-sebentar ayam kami goreng.

Nasi tak segera matang. Saya panik, padahal air sudah asat. Harus bagaimana lagi saya? Saya bertanya pada toyo, dia bilang tambahkan airnya saja. Kriwek mengamini ucapan toyo. Malah kemudian kriwek sendiri yang turun tangan.

Memang benar kata orang,segala sesuatu harus diserahkan pada ahlinya. Untuk membuat patung serahkan pada tukang pahat patung. Untuk membuat nasi, serahkan pada tukang nanak nasi. Demikian dengan saya, bukan ahli, ya tidak mampu.

Walhasil, nasi sudah matang tapi sebagian ada yang tidak. Yasudahlah tak apa. Yang penting malam ini perut terisi karena besok pagi mau muncak. Lagian, lauknya juga ayam goreng. Plus sambal lagi. Niscaya, akan tetap enak kok, kata toyo.

Semua yang tidur, terpaksa kami bangunkan. Makan kami antar ke tenda masing-masing. Kami makan bersama ditenda masing-masing. Setelah semua selesei, semua kembali ke kantong-kantong tidurnya. Sebagian kembali memejamkan mata, sebagian masih santai-santai.

Pukul 01.00 WIB 03 Februari 2013, dengan balutan Sleeping Bag masing-masing, kami terlelap.
Dingin menggerogoti ujung jari hingga ujung rambut. Mlungker sana, mlungker sini.
Saya terbangun ketika teman-teman sudah berada diluar tenda. Saya kira sudah pagi. Dan memang benar ternyat sudah pagi. Saya sempatkan menengok keluar, oh iya sudah terang langitnya. Lalu saya kembali lagi ketenda dan masuk lagi kedalam SB.

Teman-teman sudah bersiap untuk berangkat muncak pukul 06.30 WIB. Saya tidak ikut muncak.
Anak-anak sempat memaksa. Tapi karena masih berat untuk membuka mata, saya tetap kokoh pada pendirian saya. Akhirnya mereka menyerah dan berpamitan. Saya bilang hati-hati salam buat puncak dengan setengah sadar. Lanjut tidur.

Saya terbangun oleh suara jejak langkah di samping tenda. Saya tengok keluar, ternyata ada serombongan pendaki.Salah seorang dari mereka menghampiri saya. Ia minta air minum. Persediaan air mereka habis. Saya beri satu botol, ia ambil sendiri. Ia tuangkan setengah botol air itu ke botolnya.

Saya sering bingung kalau berbicara dengannya. Logatnya banyumasan. Sangat kenal. Karena saya belum terbiasa ngobrol dengan orang ngapak, sehingga obrolan kami tidak lama. Rombongan yang berasal dari Bojonegoro tersebut kemudian turun.

Pukul 09.30 WIB, cuaca cerah. Masih bersih dari kabut. Karena letak pestan dipunggung igir, kanan kiri kaki gunung sumbing nampak jelas.

Dari arah bawah, tampak serombongan pendaki. Ada 7 orang. Katanya dari jember. Lima laki-laki dan 2 perempuan. Mereka istirahat sebentar. Kebetulan kopi yang baru saja saya buat masih hangat. Jadilah kami ngopi bersama.

Selang beberapa menit serombongan lagi menyusul. Kira-kira 15 an orang. Seumuran 17 tahunan. Ketika saya tanya, mereka berasal dari magelang. Tak satupun dari mereka yang membawa tas. Hebatnya lagi, mereka hanya membawa satu botol untuk sampai pestan.

Rombongan dari jember pamit lanjut naik, bersamaan dengan kloter magelang tadi yang akhirnya memutuskan malah turun kembali.

Sekitar satu jam setelahnya, hujan mengguyur pestan. Saya masuk tenda dapur, sambil menyiapkan makan siang teman-teman nanti. Seperti biasa, nanak nasi. Kali ini nasi yang saya bikin agak banyak. Mereka belum sarapan berat sedari pagi. Dan juga, saya kira mereka tidak akan lama lagi sampai pestan.

Tak salah perkiraan. Tigapuluh menit kemudian teman-teman tiba. Untung saja, nasi sebentar lagi matang. Tinggal masak lauk-pauknya saja. Kali ini, kami pakai lauk sarden dan telor oseng.

Nasi masih hangat. Sarden baru matang. Telor oseng yang sedikit gosong masih berasap. Kami bagi sesuai porsi kelompok makan masing-masing. Cuaca yang tidak mendukung serta keterbatasan alat makan, membuat kami harus menggunakan sistem makan seperti semalam.

Selesai makan, hujan semakin deras. Ditambah angin kencang bertiup tak beraturan. Tenda-tenda kami riot kesana-kemari. Khususnya untuk tenda yang saya tempati, kebetulan tak ber-flysheet. Air hujan langsung meresap tenda begitu saja tanpa ada penghalang. Air ditenda semakin menggenang saja. Lama-lama semacam parit kecil terbentuk di sisi barat tenda.

Untuk mengantisipasi banjir lokal di tenda, bergegas tenda kami selimuti jas hujan. Sekalian saja, tenda yang lain. Terlanjur basah, sekalian saja.

Sekitar satu jam lebih hujan menghajar tenda-tenda kami. Usai reda, barang-barang dalam tenda dikeluarkan. Sekalian persiapan turun. Packing.

Onderdil tenda sudah tercerai berai di berbagai tas. Artinya, sudah terpacking sesuai pembagian masing-masing.

Kami cek-ricek apa yang ketinggalan. Sudah mantab dirasa tidak ada yang tertinggal, lanjut berdoa. Tidak lama, namun cukup khidmat. Tak lupa, sampah-sampah yang sudah kami kumpulkan tadi kami bawa. Sampah yang terkumpul sebesar kardus tivi. Kami masukan ke plastik besar. Dan bejo tak tau diuntung, saya yang kebagian bawa. Baiklah kisanak...

Setengah empat lebih-kurang, kami meninggalkan pestan satu persatu. Trek masih relatif sama seperti kemarin sore. Licin dan miring. Hanya tidak hujan. Kami dalam posisi turun, harus ekstra waspada dan hati-hati agar tak njlungup.

Saya yang kebagian membawa sampah. Awalnya agak kesulitan. Karena, cukup mengganggu perjalanan. Digendong dibelakang,  menggoyahkan keseimbangan. Didepan, mengganggu pemandangan. Disamping, semakin memperbesar resiko jatuh. Mau tak mau, tangan kanan/kiri salah satu harus memegangi plastik tersebut. Saya pilih taruh samping. Agaknya, resikonya paling kecil.

Kriwek menawarkan ingin membantu saya. Sistemnya gantian. Kalau sudah capek,sampah ia kasihkan saya. Begitu juga saya, kalau capek saya kasihkan ia.

Sampai pos 2 sekitar pukul 16.30 WIB. Langsung lanjut menuju pos 1.

Semburat jingga langit barat berkirim cahaya pada timur. Bak menghujam kami, mereka berlomba-lomba melewati celah-celah pepohonan yang basah. Gesit dan lincah. Kata orang, senja adalah waktu yang tepat untuk merenung dan berpikir. Merenung, tentang  yang sudah dikerjakan dan telah dilewatkan. Berpikir, soal esok selalu tak pasti terjadi. *heleh

Sampai pos 1 saat adzan maghrib berkumandang. Lagi-lagi hujan turun. Jas hujan dan senter kami keluarkan. Kami gunakan semestinya.
Istirahat tak lama. Lanjut turun lagi.

Karena hari mulai gelap, kami berjalan pelan-pelan. Yang depan menunggu belakang, yang belakang jangan sampai jauh-jauh dari yang depan. Begitu kiranya saat itu.

Salah satu dari teman kami, lukito, engkelnya terkilir. Walhasil, kloter belakang sedikit tertinggal dari depan. "Tak apalah yang penting selamat", begitu ujar salah satu teman saya. Perjalanan hingga pemukiman warga tidak membosankan amat. Meski lambat, musik yang sedari Bosweisen kami hidupkan, membuat ramai suasana. Apalagi ditambah kegelian saat melihat cara berjalan si lukito (yang kayak opa lompa) menjadikan bertambah hangat saja suasana malam itu.

Ada yang berkesan kala itu. Playlist yang jatuh pada lagu Cahaya Bulannya – Erros, sangat pas dengan keadaan saat itu. Bulan terlihat di atas langit. Walaupun tak bulat amat, namun cukup jelas. Juga dingin dan jalan setapak yang kami lalui, wih jadi semakin haru sewaktu nyanyi lagu ini.

Pukul 20.30 WIB kami tiba di Basecamp. Teman-teman yang didepan sudah sibuk dengan kompor dan kopinya. Setelah berbersih diri, kami bergabung dengan mereka.

Sebelumnya, kami sempatkan berkabar-kabar kepada orang rumah. Kami kira mereka pasti khawatir akan keadaan kami. Benar saja, mereka pada khawatir akan keadaaan kami. Bapak, Ibu, Teman-teman bertanya-tanya keadaan kami. Setelah kami jelaskan, mereka mengerti.  

Karena sesore tadi belum makan, kemudian kami memesan nasi goreng. Sambil menunggu masak pesenan, kami ngobrol-ngobrol sambil ngopi. Cerita kesan-pesan tadi sekalian berembug akan kembali ke jogja kapan.

Atas rembugan diperoleh kesepakatan bahwa akan kembali besok pagi.  Alasannya, pertama, kondisi fisik tidak mendukung untuk pulang sekarang. Kedua, besok Senin masih hari libur untuk kami. Kecuali Molen, yang harus pulang malam ini. Karena, besok pagi terdapat urusan akademik yang harus diurusnya. Kebetulan Nina yang memboncengnya sedari Jogja kemarin, sanggup dan bersedia untuk pulang malam ini juga. Mereka berangkat meninggalkan basecamp pukul 22.30 WIB.

Pukul 01.30 WIB, kami semua tidur.

--- 

PAGI-PAGI BANGUN. Kami sempatkan foto-foto terlebih dahulu dengan latar Gunung Sindoro yang tak kalah elok dengan Sumbing. Sekitar pukul 09.00 kami berangkat pulang.

Perpisahan kami rayakan dengan makan soto di daerah secang. Dengan lahap, kami santap soto dengan bumbu rindu. Rindu akan kopi, obrolan, nasi setengah matang, ayam goreng dan sungai jernih atas besweisen. Juga segala hal yang membuat perjalanan kami terasa lengkap.

Segala cerita 4 hari kemarin akan menjadi memori. Tersimpan dalam benak masing-masing dan akan terus menerus menyala-nyala. Sehingga nanti bila waktunya tiba, akan menjadi pertanda, bahwa kami pernah suka-duka bersama. *heleh lagi

Untuk seluruh dulur-dulurku, saya pribadi mengucapkan terimakasih atas perjalanan kali ini. Mohon maaf juga untuk segala yang tak berkenan dihati. Tiada maksud benar-benar untuk menyakiti.
Juga untuk banyak kekurangan di tulisan ini, saya mohon maaf kepada pembaca. .

Sekian.