Ia kayuh sepeda
tuanya. Dua keranjang berisi kemungkinan-kemungkinan yang berada di belakangnya
tampak gemuk. Kalau kata orang desaku, sepada itu namanya Onthel. Tidak seperti
sepeda jaman sekarang yang bisa disesuaikan berat/ringan kayuhnya, sepeda itu
masih menggunakan mekanisme sederhana. Tidak bisa ganti gigi.
Pukul 02.00 dini
hari. Di jalanan warung boto. Wanita tua itu terlihat tak peduli dengan cucuran
keringat di keningnya. Ia menatap kuat aspal cadas di hadapannya. Juga
sekeliling yang ia lewati. Di sisi lain, satu-dua motor melintas berlawanan
arah. Beberapa kelebat cahaya lampu sepeda bermesin tersebut menyorot bola
matanya. Memantul ke segala yang bersedia terpantulkan. Termasuk yang bersamaan
melewati jalan warung boto.
Ia dari arah timur,
aku dari barat. Ia sedang memulai kesibukannya, aku hendak mengakhiri hariku.
Paradoks. Namun tidak dalam semua hal kami berbeda. Kami memiliki dua kesamaan.
Pertama kami sedang sama-sama berada di jalan warung boto. Kedua, kami
sama-sama menuju ke suatu tempat.
Entah kenapa waktu
kami di pertemukan di ruangan itu. Juga mengapa angel yang aku tangkap saat itu menohok amat. Haruskah sepagi ini?
Prasangkaku kuat, Sutradara itu sedang memainkan skenarionya dengan aku sebagai
salah satu aktornya. Tidak tahu apakah aku sebagai aktor utama atau figuran. Tidak tahu apakah sekarang sedang di awal pertunjukan atau akhir. Yang jelas,
gumam firasatku, (sekarang) drama tersebut sedang berjalan.
***
Memang asik bermain
duga-duga. Apalagi tentang perilaku manusia. Bahayanya ketika prasangka kita
sudah melewati batas kewajaran. Dan sampai-sampai kesadaran kita tak mampu
menjamah yang berada di luar batas itu. Maka tidak disarankan bermain duga-duga
yang belum mampu bersahabat dengan sadarnya.
Dalam metode ilmiah,
kita kenal yang namanya hipotesa. Secara harfiah hal itu berarti dugaan
sementara akan suatu kejadian/peristiwa ilmiah. Bagi yang mengenal hipotesa
saya yakin ia sudah bisa berkawan dengan sadarnya. Buku-buku, ceramah dalam
kelas, juga pengalaman-pengalaman dalam lingkup pendidikannya sudah membentuk
prasangkanya tentang hipotesa. Juga termasuk anda yang bisa membaca coretan ini.
Membentuk hipotesa bukan
pekerjaan sulit. Tinggal kita seksama mengamati apa yang terjadi dan
merangkainya menjadi sebuah bentuk. Tinggal darimana kita berangkat saja. Dari
kampus atau dari rumah. Dari rumah atau dari pasar. Bermacam-macam. Yang jelas
kita paham dahulu daerah mana yang harus digunakan ketika harus menghipotesakan
suatu hal.
Aku bermain
prasangka. Bahwa wanita itu sedang menuju ke suatu tempat. Aku bermain dugaan.
Wanita itu sedang menuju pasar. Bisa jadi wanita itu sedang terburu-buru ke
pasar untuk menjual suatu barang. Bisa jadi barang itu satu-satunya yang ia
berharga. Jangan-jangan ia menjual barangnya karena ia tak sanggup membayar
uang seragam anaknya. Jangan-jangan. Bisa jadi.
Otoritas prasangka
pun tidak terbatas. Ia tak mengenal umur, gender, kaya-miskin dll. Berprasangka
merupakan salah satu kenikmatan yang dianugerahkan terhadap kita. Coba saja,
hewan mana yang pernah memprasangkaimu?
Wanita itu juga
berhak berprasangka kepadaku. Jangan-jangan ia berpikir aku jangan-jangan dari
pulang kerja. Jangan-jangan ia menduga aku jangan-jangan sehabis berdiskusi
tentang tugas-tugas kuliah yang harus aku kerjakan. Jangan-jangan ia
berprasangka aku jangan-jangan setelah berkonsultasi dengan dosen.
Paling-paling. Jangan-jangan.
Bisa saja hal demikianlah
yang disangkakan terhadap seorang mahasiswa sepertiku yang masih mengenakan
kemeja pada pukul 02.00 pagi.
Bebas. Tidak ada
yang melarang ia berprasangka apapun terhadapku. Mau itu suudzon atau
khusnuzon. Itu kewenangan dia sebagai makhluk-Nya. Tetapi yang perlu harus
dicek lagi, apakah prasangka yang aku prasangkakan terhadapnya benar-benar
prasangkanya? Jangan-jangan itu prasangkaku sendiri.
Dan jika kali ini
diperkenankan berprasangka sekali lagi, mungkin kemungkinan-kemungkinan yang
ada di keranjang sepeda wanita tua tadi berisi sederetan prasangka juga.
*Tulisan untuk Hari Menulis Jumat lalu*
0 komentar:
Posting Komentar