Masih Perlukah Merayakan Hardiknas?

, , No Comments

Apabila ajang ‘mendoakan’ pensil yang dilakukan siswa-siswi MA Al-Ihsan di Jombang terjadi di era 1970-an, saya kira fenomena tersebut masih dapat dimaklumi. Sebab saat itu kepercayaan akan takhayul masih tinggi. Sulitnya mengakses informasi dan kentalnya kultur tradisional menjadi penyubur cara berpikir masyarakat saat itu.

Mungkin bagi siswa-siswi MA Al-Ihsan, ritual yang telah dilakukan sejak tahun lalu ini mereka anggap wajar. Mereka berdoa selayaknya doa-doa yang digunakan masyarakat secara umum: Surat-surat pendek, wirid dll. Sebelum ‘ritual’ siswa-siswi juga diarahkan untuk sholat dhuha dan istighosah terlebih dahulu. Karena ritual yang terbungkus formalitas agama secara rapi dan juga fakta empiris bahwa tahun lalu ritual tersebut menghasilkan kelulusan 100%, tak ayal pelajar Madrasah Aliyah Al-Ihsan percaya akan tuah pensil terdoakan tersebut.

Kejadian itu masih segar dalam ingatan (13/4). Bersamaan dengan kegagalan Ujian Nasional dan sederet kebobrokan yang disadari atau tidak itu mencuat ke publik, peristiwa ini menebalkan pola keanehan dari fakta pendidikan kita saat ini.
Pada dasarnya hakikat pendidikan menurut Paulo Freire adalah pendidikan yang membebaskan. Artinya peserta didik dibebaskan untuk berdialektika terhadap permasalahan yang ada disekitarnya. Peserta didik harus mampu menempatkan dirinya sebagai subjek pendidikan utama bukan menjadi robot bagi suatu sistem.

Peristiwa di Jombang tadi malah mempersempit pengertian dari pendidikan itu sendiri. Disitu tampak bahwa definisi pendidikan berkutat pada hal nilai. Ia melupakan esensinya yang berdasarkan proses. Terlihat dari tujuan yang digunakan pada peristiwa itu yang berujung pada predikat kelulusan bagi para siswa-siswi. Bisa jadi siswa-siswi tersebut ketakutan akan ketidaklulusannya sehingga mereka perlu sesuatu yang mampu menenangkan dan meyakinkannya. Lantaran kultur pendidikan di lingkungan mereka yang mengharuskan predikat “LULUS” bagi pelajarnya.

Secara tidak langsung Ujian Nasional melahirkan fenomena pemaksaan yang disebabkan persepsi umum mengharuskan anak didik mendapat predikat lulus. Sehingga segala cara akan digunakan para peserta agar lulus dari UN. Dari hal yang dapat di nalar hingga yang membuat dahi mengerenyit karena ketidak logisan cara yang digunakan. Dari menggunakan mafia jawaban hingga menyandarkan soal jawaban kepada dukun.

Tidak menutup kemungkinan, kejadian yang terjadi di Jombang merupakan satu dari kejadian serupa didaerah lain. Fenomena ini semacam gunung es. Yang tampak hanyalah pucuk gunungnya saja, sedang untuk dapur gunung/dapur magma belum tersentuh. Bisa jadi, terdapat ratusan atau bahkan ribuan kasus yang secara substansi sama hanya berbeda bentuk.

Kejadian ini dapat dipandang sebagai cerminan UN saat ini. Bagaimana dari peristiwa di jombang tersebut kita dapat merekam ketakutan akan momok yang bernama Ujian Nasional. Perhelatan akbar dari dinas Kemendikbud tersebut menjadi mimpi buruk bagi lingkaran pelaksananya.

Menilik dari carut marutnya distribusi soal, juga masih terdapat beberapa sekolah yang menghalalkan contek-mencontek bagi siswa-siswinya dan segala polemik yang dialami peserta bolehlah dikatakan bahwa tahun ini Kemendikbud gagal dalam mengemban amanah. Ketidaksiapan para panitia, rumitnya pelaksanaan, atau ketidakseriusan para birokrat dalam menjalankan tugas menjadi variabel-variabel kemungkinan kegagalan Ujian Nasional tahun ini.

Seharusnya pemangku kebijakan benar-benar serius memikirkan tentang masih relevankah penerapan sistem Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan di Indonesia. Evaluasi secara internal wajib digencarkan. Tidak lupa pula mencermati keadaan objektif lingkungan peserta Ujian Nasional. Tenaga pendidik, orangtua dan jajaran pengurus pemerintah lokal (Kelurahan, RW, RT) harus satu frame. Sehingga, terbentuklah kondisi ideal yang kondusif untuk jalannya Ujian Nasional kedepan.
Baik-buruknya sistem ini (UN) juga harus benar-benar diperhitungkan. Jangan sampai kekonyolan-kekonyolan lain yang jauh dari esensi pendidikan seperti yang saya pada awal-awal dipaparkan tadi muncul ke realita pendidikan Indonesia.

Hari Pendidikan Nasional tahun ini tidak relevan lagi untuk dirayakan. Pemerintah harus sejenak melupakan atribut formalnya sebagai pemangku kebijakan dan memposisikan dirinya sebagai makhluk kepercayaan Tuhan yang ditunjuk untuk mengurus hal pendidikan di Indonesia. Segala agenda yang bersifat seremonial ditiadakan saja -termasuk upacara bendera-. Lebih baik diganti dengan acara doa dan perenungan bersama, seperti  halnya yang biasa dilakukan siswa-siswi sebelum Ujian Nasional diadakan. 

0 komentar:

Posting Komentar