Lagi-lagi pekik adzan subuh mencumbui gendang telingaku.
Untuk kali ini suara muadzin terdengar agak serak. Mungkin karena ia baru
bangun tidur dan belum sempat minum.
Saya baru saja pulang dari menonton pertandingan Barcelona
melawan Bayern Munchen. Di sebuah warung cafe daerah Rejowinangun, bersama
dengan beberapa teman, saya turut meramaikan semarak bola yang sedang mewabah
di beberapa belahan dunia.
Tujuan utama saya datang kesana sebenarnya bukan untuk
nonton bareng, melainkan bertemu teman-teman. Toh juga, tempat tersebut memang
tidak disediakan khusus untuk nonton bareng. Namun karena pemilik warung
orangnya asik, paham tentang hobi anak muda, dia sediakan ohp dan wide screen.
Jadilah semacam nonbar kecil-kecilan.
Tidak lebih dari 15 orang berada di depan wide screen.
Namun euphoria bola tetap terasa. Selain karena serunya pertandingan, juga
teriakan sana-sini dari mulut penonton.
Pertandingan dimenangkan Bayern Munchen. Tim kaya raya asal
jerman. Setahun lalu, tim ini sempat masuk ke final liga champion. Namun
tumbang oleh Chelsea, utusan inggris. Saya sebagai fans chelsea tentu masih fasih untuk bercerita tentang
memori setahun lalu tersebut. Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan.
Pukul 03.54 saya menginjakkan kaki di lantai rumah. Simbah
dan tante masih tertidur. Saya masuk dengan sebisa mungkin meminimalisir suara
lantaran takut menganggu tidur lelap mereka. Lalu menghadap laptop.
Seharian tadi saya cukup gagal untuk menjadi manusia.
Apalagi mahasiswa. Kenapa? Bangun tidur pukul 15.00 membuat saya meninggalkan
tanggung jawab serta kewajiban. Belajar.
Kalau kata bang badjuri, orang tidur itu yang paling
sedikit hidupnya. Demikian kalimat yang selanjutnya menjadi bahan pikiran saya.
Tidur terlalu lama tanpa meninggalkan kewajiban pun tidak baik dan mungkin
tidak benar. Apalagi yang juga meninggalkan kewajiban.
Berulang kali saya mengevaluasi diri, tetap saja terulang.
Itulah kenapa saya merasakan menjadi manusia gagal. Alih-alih mahasiswa yang
berposisi sebagai manusia ideal.
Barangkali saya takluk terhadap ego diri sendiri.
Barangkali saya termasuk orang-orang yang tak mampu tegas terhadap diri
sendiri. Atau jangan-jangan saya termasuk individu pemalas, yang suka
menggantungkan apapun dan kapanpun.
Soal kewajiban kerap kali saya pikirkan. Namun apa daya
pikiran non-action untuk merubah
suatu keadaan. Ujung-ujungnya tetap sama, tidak ada progres. Inikah yang
dinamakan manusia jahiliyah? atau malah manusia modern yang dicekoki
simbol-simbol kapitalisme?
Yang jelas sejauh ini saya merasa gagal sebagai manusia.
Untuk sekedar mengenal diri saja malas. Bagaiamana untuk paham tugas dan peran
saya? Adakah yang merasakan sama seperti saya? Atau hanya saya saja?
Menilik muadzin tadi, Saya jadi kepikiran. Untuk
menggerakan tubuh demi memenuhi kewajiban duniawi saja saya tak mampu. Apalagi
untuk kewajiban pada dimensi akherat. Hampir mustahil secara logika.
Sedangkan ia (muadzin), yang ia lakukan tentu tak
memberinya keuntungan secara material. Malahan, mungkin mendapat cemoohan dari
orang-orang yang merasa terganggu atas
lengkingan pengeras suara . Akan tetapi, ia tetap menjalankan kewajibannya.
0 komentar:
Posting Komentar