Berangkat dari Cermin

, , No Comments

Keadaan selalu tak bisa disalahkan. Karena ada yang selalu lebih berhak dipersalahkan ketimbangnya. Keadaan adalah berbicara waktu. Yang mana akan selalu melaju kecuali ia menghentikannya sendiri. Pernah ia melacur kepada manusia? Tidak. Tidak pernah dan tidak akan mau. Manusialah yang banyak melacur kepadanya dalam bentuk bermacam-macam.

Beberapa waktu ini pikiranku disibukkan dengan urusan timbang-menimbang. Bukan soal akademik. Bukan pula soal ekonomi. Tidak jauh-jauh dari persoalan keadaan tadi:

Aku mengenalnya sudah sekitar 5 tahun lamanya. Awalnya, ia biasa saja. Pelan-pelan seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat samar terdapat magnet dalam dirinya. Perasaan kacau. Antara ingin mendekat atau menjauh. Ya, aku belum tau komposisi magnet tersebut. Apakah kebanyakan unsur penarik atau penolak (dari diriku).

Buruknya, aku sampai sekarang belum mengetahui pasti jenis dari magnetku sendiri. Jadi dapat dibayangkan, kesulitanku menebak-nebak dia sedangkan aku sendiri belum mengenalku intim. Ada atau tidak saja aku belum yakin.

Seandainya benar, pastilah hubungan kedua makhluk ini sudah berbeda sifatnya. Apakah bisa dijamah bahkan dijelajah orang lain, atau eksklusif VVIP yang tak sembarangan orang memperoleh aksesnya. Bisa dibilang kita belum benar-benar saling mengenal secara hati ke hati.

Aku adalah orang yang beruntung di semesta ini. Berdiri diatas kaki sendiri. Makan dengan tangan sendiri. Ngomong dengan mulut sendiri. Walaupun yah, itu semua bermula dari kandungan Ibu. Kalau begitu boleh senang sedikit dengan catatan perbanyak prihatin dan tangguhkan batin.

Mereka mengenalku. Sebagai manusia atau pecundang. Atau mungkin blasteran, yang si manusia pecundang. Semuamua membuatku terus-menerus mencermati cermin. Kemudian bertanya-tanya, rejeki apa yang dikaruniakan-Nya kepadaku. Apakah aku sehina ini?

Jawabanku untuk soal magnet tadi, sudah cukup jelas. Aku tak ingin melihat sosokku sendiri. Aku takmau tiap waktu, tiap kesempatan lenyap sia-sia.

Apa yang benar-benar menaklukan? Soe harto? Bukan. Hitler? Bukan. Atau Van Heutz, gubernur jendral Hindia Belanda? Bukan pula?

                                            Aku menyebutnya: hati yang lapang

**Tulisan beberapa bulan yang lalu dan lupa ngaplodnya. Ditulis setelah bercermin**

0 komentar:

Posting Komentar