Sesak di dada tidak kunjung reda. Sejak sore tadi, rasanya
ada kekuatan besar yang tersembunyi dibalik rongga dadaku ini. Seperti tertekan
berpuluh-puluh kilogram beton. Sering ku tarik nafas panjang-panjang. Kurasakan, sesekali menjadi berat layaknya digantungi
tangan-tangan raksasa.
Usaha-usahaku untuk mencari sesuatu itu pun tetap tidak
memperlihatkan hasilnya sedikitpun.
Aku baru saja sampai rumah. Sepulang dari perkumpulan dengan
sodara-sodara SMA ku dan sebelum itu ada traktiran dari dhani. Kalau tidak
salah, kemarin dia baru saja merayakan hari jadi kelahirannya yang ke 20 itu.
Pesta kecil-kecilan (yang mahal) diadakannya di Rumah Makan dekat kampus. Aku
datang, pertama untuk sedikit ikut merayakannya karena dia juga sudah kuanggap
keluarga sendiri dan kedua
memang aku lapar.
Mungkin sebuah cerita dapat paling tidak mengurangi beton-beton ada di dadaku ini. Ini serius tentang ketidakseriusan.
Sodara-sodaraku, memang begitu aku menyebutkan teman-teman
SMA ku dulu. Entah atas dasar apa yang paling tepat untuk penyebutanku ini.
Belum kutemukan sebab dari terbentuknya sebutan itu, jujur hati. Mungkin memang
karena tanpa sebab itulah mereka ku anggap sodara.
Kalau dulu, aku sering dibilang oleh Mas-mas ku, “Kalian ini sodara! kita punya solidaritas tinggi, kita
low profile, kita punya paseduluran yang kuat!”. Suara-suara lantang campur
paksaan mereka pekikkan di telinga kami. Seakan ada gaung yang mengulang kata
itu dilubuk hatiku ini, entah bagaimana dengan teman-temanku. Yang jelas sadar
atau tidak, suatu realitas baru yang harus kami terima, dan dalam keterpaksaan
pula terus-menerus kami coba mencari makna dari setiap deretan huruf-huruf
tersebut.
Dalam keadaan kaget, kami menerima semacam kata-kata aneh
dari mereka. Dalam keadaan kaget pula, kami gagu, bingung layaknya seorang
pelaut yang kehilangan arah anginnya. Demikianlah sekumpulan anak-anak yang
masih dalam proses pertumbuhan psikis dan fisiknya dibenturkan dengan beberapa
kalimat yang menurut kami tidak mudah dicerna. Setidaknya, demikian yang
dikatakan Sedulur-sedulurku itu.
Entah berapa ratus kali bahkan beberapa ribu –termasuk suara-suara
yang menggaung di dalam dadaku ini, aku pikirkan. Ada beberapa hal yang kadang
membuat aku menjadi bingung. Apa maksud mereka mengatakannya kepada kami? Kepada
telinga-telinga polos kami? Mengapa kami harus mendengarkannya? Bagaimana bila
kami tidak menggubris? Dan mengapa kami tetap mendengarkannya, memikirkannya,
bahkan sesekali merenung bersama untuknya?
Pernah kucoba sesekali berdialog dengan sedulurku soal hal tersebut. Itu pun hanya orang-orang tertentu
yang dekat denganku saja. Terlalu berani membicarakan hal itu didepan anak-anak.
Kami masih disibukan dengan beberapa agenda dadakan yang memang benar-benar
merepotkan dan menguras pikiran. Hingga kami tak sempat membicarakan hal-hal
yang tadi aku bicarakan. Jawaban salah seorang sedulurku tadi aku lupa, tapi kira-kira kalau tidak salah ada yang
bilang seperti ini, “Karena kita kalah pengalaman dengan mereka. Kita dididik
untuk siap di hari depan. Kita dipersiapkan untuk serangan-serangan hari esok
yang sigap setiap saat mencengkram kita-kita yang tidak siaga. Prihatin, kita
dibentuk untuk terbiasa dengan hal yang demikian agar kita menjadi manusia yang
berkarakter. Berkarakter tangguh.”
Jawabannya sedikit mengurangi kebingungan ku pada saat itu.
Ya, walaupun jawaban itu sedikit tidak benar-benar kita pahami paling tidak ada
nilai yang ingin mereka sampaikan kepada kami.
Aku –atau mungkin kami, beraktivitas normal setiap hari.
Pagi sekolah, sore guyub dan
terkadang hingga petang bahkan malam. Khususnya aku, dihinggapi awan-awan
kelabu yang mengawang diatas kepalaku ini, sesaat sebelum bel pelajaran
terakhir. Detak jantung meningkat, dengan bayang-bayang apa saja hal yang akan
kami dapatkan nanti, atau mungkin harus kami terima nanti. Was-was, sering telintas
bagaimana cara kami pulang. Bagaimana cara kami selamat paling tidak dari dalam
sekolah keluar gerbang dan belum lagi nanti dijalan-jalan yang sudah kami
hafali tempat dimana sering terjadi “silaturahmi yang tidak diperkenankan” dari
sekolah lain. Ya, memang, keselamatan atau mungkin keamanan, merupakan hal yang
relatif sulit kami dapatkan. Apalagi soal kenyamanan.
Bagaimana tidak? Setelah bel pulang sekolah, mas-mas sudah berada depan pintu gerbang.
Dan tentunya, setiap kita pulang, jalan tersebutlah yang kita lalui. Dan ya,
mereka seakan menanti kami. Sebenarnya, ada jalan alternatif yang dapat kita
gunakan untuk istilahnya mlipir. Dibagian
barat sekolah ada pintu kecil yang langsung berhubungan dengan jalan c. simanjuntak.
Sekiranya ingin menyelamatkan diri, pintu itu bisa menjelma sebagai pintu
darurat layaknya apabila kebakaran terjadi dalam suatu gedung.Anehnya, tetap
saja, kebanyakan dari kami, tetap tak melewati jalan itu. Ada alasan yang tak
ku ketahui mengapa kita tetap berada pada jalan yang mengerikan ini –termasuk aku.
Belum lagi ketika kita sudah sampai jalanan kota. Tiba-tiba,
jalanan menjadi sebuah padang savana yang luas tak terhingga. Memaksa
mengkerdilkan kami menjadi binatang buruan para predator. Menjadi santapan
lezat bagi serigala, atau macan, atau hyena, atau singa. Tetapi, peran
pemangsa-dimangsa dapat berubah tatkala wangsit turun dari langit atau
kata-kata sakti dari mas-mas kita. Mungkin
seperti chauvinisme taraf kecil, yang sengaja ditanamkan ke dalam jiwa-jiwa
rapuh ini. “Kita adalah kaum terpelajar. Kaum terpelajar harus adil sejak dalam
pikiran, apalagi perbuatan”, bukan-bukan, ini omongan Jean Marais seorang
pelukis prancis, mantan serdadu belanda kepada Minke seorang pribumi dari
golongan bangsawan, dalam tetralogi Pulau Buru-nya Pramudya A.T. buku pertama “Bumi
Manusia”
Pada suatu siang dibawah pohon ringin salah satu dari mereka
duduk diatas –yang kami anggap, mimbar kehormatan. Kemudian seperti seorang
patriotik dengan tatapan mata yang tajam,
dia melakukan hal yang sampai saat ini masih bingung menyebutnya, antara
orasi atau dakwah. Ketejamannya sanggup membuat puluhan pasang mata kami
tunduk, tak berani melihatnya. ”Kalian semua adalah pemimpin. Kalian ini nomer
satu di Yojo ini. Tidak usah takut
dengan yang lain, karena kalian adalah nomer satu. Ini soal harga diri juga,
jangan sampai kamu diperlakukan dengan tidak layak oleh mereka. Kamu punya
harga diri, kita berwibawa! Wibawa!”, demikian dia katakan dengan intonasi
tinggi. “Jangan sampai bagian dari hakmu diambil oleh mereka, walau sedikitpun!”,
tambahnya.
Rupanya mereka sedang memberikan semacam kata-kata sakti, mungkin
bisa disebut azimat yang menjadi pegangan kita. Khususnya untuk aku saat pulang
sekolah, keluar dari gerbang, di padang savana yang luas itu. Mungkin diiringi
dengan terkekeh-kekehnya batang pohon ringin itu, andai dia bisa bicara.
*bersambung*
Adzan subuh mengitari langit jogja, menggetarkan selaput gendangku, tanda aku masih
dalam keadaan sadar. Intensitas aku menguap jadi semakin tinggi. Kelopak mataku
mulai diganduli oleh persoalan-persoalanku yang tak kunjung ku ajak diskusi, atau paling tidak aku temui.
Untuk sekedar membaca masalah, sukur-sukur menemukan penyelesaiannya.
Udara bertambah dingin, tetapi tak sedingin lampu-lampu
jalanan tadi yang menatapku berjajaran di kanan kiri ruas jalan. Andai aku
boleh menerka, mereka menuntut atas kesinisanku terhadap terang benderang
cahaya-Nya.