Sesak di dada tidak kunjung reda. Sejak sore tadi, rasanya ada kekuatan besar yang tersembunyi dibalik rongga dadaku ini. Seperti tertekan berpuluh-puluh kilogram beton. Sering ku tarik nafas panjang-panjang.  Kurasakan, sesekali menjadi berat layaknya digantungi tangan-tangan raksasa.
Usaha-usahaku untuk mencari sesuatu itu pun tetap tidak memperlihatkan hasilnya sedikitpun.

Aku baru saja sampai rumah. Sepulang dari perkumpulan dengan sodara-sodara SMA ku dan sebelum itu ada traktiran dari dhani. Kalau tidak salah, kemarin dia baru saja merayakan hari jadi kelahirannya yang ke 20 itu. Pesta kecil-kecilan (yang mahal) diadakannya di Rumah Makan dekat kampus. Aku datang, pertama untuk sedikit ikut merayakannya karena dia juga sudah kuanggap keluarga sendiri dan kedua memang aku lapar.

Mungkin sebuah cerita dapat paling tidak mengurangi beton-beton ada di dadaku ini. Ini serius tentang ketidakseriusan.

Sodara-sodaraku, memang begitu aku menyebutkan teman-teman SMA ku dulu. Entah atas dasar apa yang paling tepat untuk penyebutanku ini. Belum kutemukan sebab dari terbentuknya sebutan itu, jujur hati. Mungkin memang karena tanpa sebab itulah mereka ku anggap sodara.

Kalau dulu, aku sering dibilang oleh Mas-mas ku, “Kalian ini sodara! kita punya solidaritas tinggi, kita low profile, kita punya paseduluran yang kuat!”.  Suara-suara lantang campur paksaan mereka pekikkan di telinga kami. Seakan ada gaung yang mengulang kata itu dilubuk hatiku ini, entah bagaimana dengan teman-temanku. Yang jelas sadar atau tidak, suatu realitas baru yang harus kami terima, dan dalam keterpaksaan pula terus-menerus kami coba mencari makna dari setiap deretan huruf-huruf tersebut.

Dalam keadaan kaget, kami menerima semacam kata-kata aneh dari mereka. Dalam keadaan kaget pula, kami gagu, bingung layaknya seorang pelaut yang kehilangan arah anginnya. Demikianlah sekumpulan anak-anak yang masih dalam proses pertumbuhan psikis dan fisiknya dibenturkan dengan beberapa kalimat yang menurut kami tidak mudah dicerna. Setidaknya, demikian yang dikatakan Sedulur-sedulurku itu.

Entah berapa ratus kali bahkan beberapa ribu –termasuk suara-suara yang menggaung di dalam dadaku ini, aku pikirkan. Ada beberapa hal yang kadang membuat aku menjadi bingung. Apa maksud mereka mengatakannya kepada kami? Kepada telinga-telinga polos kami? Mengapa kami harus mendengarkannya? Bagaimana bila kami tidak menggubris? Dan mengapa kami tetap mendengarkannya, memikirkannya, bahkan sesekali merenung bersama untuknya?

Pernah kucoba sesekali berdialog dengan sedulurku soal hal tersebut. Itu pun hanya orang-orang tertentu yang dekat denganku saja. Terlalu berani membicarakan hal itu didepan anak-anak. Kami masih disibukan dengan beberapa agenda dadakan yang memang benar-benar merepotkan dan menguras pikiran. Hingga kami tak sempat membicarakan hal-hal yang tadi aku bicarakan. Jawaban salah seorang sedulurku tadi aku lupa, tapi kira-kira kalau tidak salah ada yang bilang seperti ini, “Karena kita kalah pengalaman dengan mereka. Kita dididik untuk siap di hari depan. Kita dipersiapkan untuk serangan-serangan hari esok yang sigap setiap saat mencengkram kita-kita yang tidak siaga. Prihatin, kita dibentuk untuk terbiasa dengan hal yang demikian agar kita menjadi manusia yang berkarakter. Berkarakter tangguh.”

Jawabannya sedikit mengurangi kebingungan ku pada saat itu. Ya, walaupun jawaban itu sedikit tidak benar-benar kita pahami paling tidak ada nilai yang ingin mereka sampaikan kepada kami.

Aku –atau mungkin kami, beraktivitas normal setiap hari. Pagi sekolah, sore guyub dan terkadang hingga petang bahkan malam. Khususnya aku, dihinggapi awan-awan kelabu yang mengawang diatas kepalaku ini, sesaat sebelum bel pelajaran terakhir. Detak jantung meningkat, dengan bayang-bayang apa saja hal yang akan kami dapatkan nanti, atau mungkin harus kami terima nanti. Was-was, sering telintas bagaimana cara kami pulang. Bagaimana cara kami selamat paling tidak dari dalam sekolah keluar gerbang dan belum lagi nanti dijalan-jalan yang sudah kami hafali tempat dimana sering terjadi “silaturahmi yang tidak diperkenankan” dari sekolah lain. Ya, memang, keselamatan atau mungkin keamanan, merupakan hal yang 
relatif sulit kami dapatkan. Apalagi soal kenyamanan.

Bagaimana tidak? Setelah bel pulang sekolah, mas-mas sudah berada depan pintu gerbang. Dan tentunya, setiap kita pulang, jalan tersebutlah yang kita lalui. Dan ya, mereka seakan menanti kami. Sebenarnya, ada jalan alternatif yang dapat kita gunakan untuk istilahnya mlipir. Dibagian barat sekolah ada pintu kecil yang langsung berhubungan dengan jalan c. simanjuntak. Sekiranya ingin menyelamatkan diri, pintu itu bisa menjelma sebagai pintu darurat layaknya apabila kebakaran terjadi dalam suatu gedung.Anehnya, tetap saja, kebanyakan dari kami, tetap tak melewati jalan itu. Ada alasan yang tak ku ketahui mengapa kita tetap berada pada jalan yang mengerikan ini –termasuk aku.

Belum lagi ketika kita sudah sampai jalanan kota. Tiba-tiba, jalanan menjadi sebuah padang savana yang luas tak terhingga. Memaksa mengkerdilkan kami menjadi binatang buruan para predator. Menjadi santapan lezat bagi serigala, atau macan, atau hyena, atau singa. Tetapi, peran pemangsa-dimangsa dapat berubah tatkala wangsit turun dari langit atau kata-kata sakti dari mas-mas kita. Mungkin seperti chauvinisme taraf kecil, yang sengaja ditanamkan ke dalam jiwa-jiwa rapuh ini. “Kita adalah kaum terpelajar. Kaum terpelajar harus adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”, bukan-bukan, ini omongan Jean Marais seorang pelukis prancis, mantan serdadu belanda kepada Minke seorang pribumi dari golongan bangsawan, dalam tetralogi Pulau Buru-nya Pramudya A.T. buku pertama “Bumi Manusia”

Pada suatu siang dibawah pohon ringin salah satu dari mereka duduk diatas –yang kami anggap, mimbar kehormatan. Kemudian seperti seorang patriotik dengan tatapan mata yang tajam,  dia melakukan hal yang sampai saat ini masih bingung menyebutnya, antara orasi atau dakwah. Ketejamannya sanggup membuat puluhan pasang mata kami tunduk, tak berani melihatnya. ”Kalian semua adalah pemimpin. Kalian ini nomer satu di Yojo ini. Tidak usah takut dengan yang lain, karena kalian adalah nomer satu. Ini soal harga diri juga, jangan sampai kamu diperlakukan dengan tidak layak oleh mereka. Kamu punya harga diri, kita berwibawa! Wibawa!”, demikian dia katakan dengan intonasi tinggi. “Jangan sampai bagian dari hakmu diambil oleh mereka, walau sedikitpun!”, tambahnya. 

Rupanya mereka sedang memberikan semacam kata-kata sakti, mungkin bisa disebut azimat yang menjadi pegangan kita. Khususnya untuk aku saat pulang sekolah, keluar dari gerbang, di padang savana yang luas itu. Mungkin diiringi dengan terkekeh-kekehnya batang pohon ringin itu, andai dia bisa bicara.

*bersambung*

Adzan subuh mengitari langit jogja, menggetarkan selaput gendangku, tanda aku masih dalam keadaan sadar. Intensitas aku menguap jadi semakin tinggi. Kelopak mataku mulai diganduli oleh persoalan-persoalanku yang tak kunjung  ku ajak diskusi, atau paling tidak aku temui. Untuk sekedar membaca masalah, sukur-sukur menemukan penyelesaiannya.

Udara bertambah dingin, tetapi tak sedingin lampu-lampu jalanan tadi yang menatapku berjajaran di kanan kiri ruas jalan. Andai aku boleh menerka, mereka menuntut atas kesinisanku terhadap terang benderang cahaya-Nya.

Sudah sekitar satu bulan ini, kehidupanku terbolak-balik. Aku lupa pastinya kapan hal itu dimulai dan bagaimana hal ini terjadi. Layaknya siang menjadi malam, dan malam menjadi siang. Disaat semua orang terlelap, duniaku malah sedang memulai aktivitasnya. Ya, aku sedang bermasalah dengan waktu.

Tidur pukul 5 pagi, bangun 12 siang, lalu keluar rumah, sekedar berkeliling kota sendirian, singgah kemanapun tempat yang aku sukai, menghampiri kawan sana kawan sini, tertawa sendiri, merenung, duduk, berdiri, tidur lagi, bangun lagi, makan dan seterusnya hingga aku bosan dan kembali bergurau dengan bantal-guling sampai udara kamar menjadi panas karena terik matahari menganggu, dan terbangun.

Aku sadar rutinitas ini tidak wajar, kalau kata bapak “menyalahi sunatulloh”. Siang untuk bekerja, malam untuk beristirahat. Aku pahami ini sebagai sebuah aturan. Aturan siapa? Ya aturan si pembuat aturan yaitu pembuat alam. Berarti, aku menyalahi aturan alam? Mungkin iya.

Sebenarnya, aku ingin mengambalikannya seperti semula. Malam untuk istirahat, bangun pagi, lalu memulai aktivitas dengan normal. Menemukan rejeki-rejeki yang tersirat di pagi hari, lalu leyeh-leyeh,  berteduh di tengah sawah pada pertengah siang yang terik. Mungin boleh ditambahkan dengan kelapa muda dingin, kicauan burung, nyanyian padi-padi sawah, ditambahkan seruling bambu agar lebih damai layaknya si krisna dari bukit govardan itu.

Normalisasi, usaha untuk mengkondisikan semuanya menjadi normal kembali, begitu definisi sempitnya. Sebuah usaha tentu memerlukan pengorbanan. Dan pengorbanan harus benar-benar diperjuangkan. Namun perjuangan memerlukan jurus-jurus jitu agar pada akhirnya nanti kitalah yang merasakan kemenangan. Apalah ini.

Normalisasi tidaklah sejati kebenarannya, namun hal yang demikian adalah baik dan indah secara universal. Untuk ketentuan ini, kita wajib patuh terhadap waktu yang ditentukan oleh kalangan kita sendiri. Pada tataran spiritual, sebenarnya boleh saja kita mengatur waktu dari waktu itu sendiri. Sepanjang kita bijak dalam manajerisasi waktu tersebut.

Namun yang demikian juga tidak dapat terelakan, alam memiliki hukumnya sendiri. Sesuai dengan teori sebab-akibat, suatu perbuatan pasti menimbulkan respon dari perbuatan tersebut yang kita namakan akibat. Suatu reaksi akan terus melakukan aktivitas ke reaktifannya hingga “tekanan” aksi seimbang dengan reaksinya, atau kata lainnya aksi=reaksi=0.

Biar semakin tidak jelas, nanti akan ada beberapa gejala reaksi atas perilaku yang “menyalahi” dari diriku selama ini dan mungkin akan selesai hingga seluruh kegoncangan yang disebabkan akan kembali seimbang. Perlu beberapa ruang dan waktu untuk mengembalikannya. Apalagi jika dilihat dampak yang sudah ditimbulkan dan bila dihitung-hitung pula, secara horizontal, sudah banyak yang menjadi kerugian tatkala aturan main itu ku langgar. 

Bagi malaikat penjaga matahari terbit yang sangat mendukung dengan normalisasi ini, mohon maaf dan terimakasih. Pasti sampeyan sudah bosan dengan tampangku yang seperti ini, sehingga aku yakin, tidak akan melakukan pembiaran secara terus-terusan atas berkurangnya estetika dari tugas yang dilakukan matahari terbit. Dia tidak ingin tugasnya kehilangan secuil keindahan dari kehadiranku di setiap pagi. Tenang, aku tau standar kerja sampeyan yang amat sangat tinggi itu atau dalam kata lain sempurna. 

Selamat pagi dan salam sejahtera bagimu malaikat penjaga matahari terbit.

aku kadang memaksa menjadi hitam.
aku pun sering menampakan diriku putih.

aku lupa siapa namaku, saat aku terjaga.
aku ingat namaku, padahal aku sedang tertidur.

aku tegak dengan membungkuk.
aku duduk dengan berdiri.

aku memikirkannya dalam setengah sadar.
kemudian sadar, dan kembali tidak sadar.

keanehan beberapa darinya adalah wajar
sedangkan kewajaran-kewajaran terkadang menjadi aneh

diantara alarm alam pagi ini,
dan harmoni cahaya yang berlomba menelusup celah-celah kaca

aku belajar membacanya


kata-kata tanpa nada, kering

nada-nada tanpa kata, hambar


betapapun nanti, mereka takkan ku biarkan menyatu

biarlah selalu berdua, biar teduh dipandang

mesra, dalam menyisir rel tak berunjung

diatas kutubnya

berdua-duaan


13 Agustus 2012




di jalan-jalan kecil itu, dulu terdapat beberapa gundu

bersama bocah-bocah yang mengadu

bukan, bukan mendadu layaknya para elit itu

meyakini, pada hal yang mereka pertahankan


tanah lapang adalah ladang kebahagian

tempat kaki-kaki kecil berlari kegirangan

pun juga menyeringai kesakitan

untuk bekal saat-saat kritis nanti


ini hari sudah kelewat pagi, setengah siang

buru-buru aku berjalan ke pematang,

menuju oase padi-padi yang menghijau kekuningan

yang menghadirkan narasi sesat, kedamaian


hidup ini keras, kalau kata orang dulu

pilihan membentang didepan:

bertahan berarti menerima serangan

atau berjuang berarti menggempur pertahanan



Senin pagi, 

13 Agutus 2012

Akhirnya saya berkesempatan juga untuk menggoreskan tinta elektrik di halaman ini setelah sekian lama berdiam di bingkai ruangan 4 x 4 meter ini (kamar). Sebelumnya akhir-akhir ini saya lebih senang mengurung diri dan tertutup.  Malas sekali untuk berinteraksi dengan sesama. Teman saya ya cuma kasur, laptop dan inti-inti di mimpi. Tidak ada fisik nyata, tidak ada kerjasama. Ya, saya  benar-benar terpagari oleh pagar buatan sendiri dan itu menyenangkan.

Saya sangat bersuka ria apabila menjelang malam, tentunya karena ini bulan Ramadhan dan itu berarti bahwa momentum itu adalah menjelang buka. Tetapi diluar itu ada alasan lain yang membuat saya begitu senang. Merdeka. Saya bisa berpikir bebas kemana-mana, tidak ada ujung  batasan ketika malam. Sedikit polusi suara, sedikit cahaya dan paduan suara jangkrik-jangkrik di luar rumah yang  mungkin menambah bentuk suasana ini. Keeksotisan bunyi-bunyian tembakau rokok yang terbakar, mengagungkan ke-syahdu-an suasana malam, suasana dimana diri ini kembali menjadi gumpalan daging yang tidak berguna dan tidak bernilai. Acuh terhadap sekitar atau apatis.

Adalah gambaran keseharian saya akhir-akhir ini, statis dan mati namun menyenangkan. Tidak ada yang direpotkan. Semua begitu liar dan bebas, bisa berlari kemana saja, atau hanya berputar-putar. Kesinisan hilang, yang muncul beragam bunga-bunga kedamaian. Semuanya ketika petang berjalan.

Mungkin untuk kali ini, sedikit saya akan ceritakan tentang satu dari beberapa hal, terkait “kekosongan” hari kemarin. Sebelumnya, saya tidak pernah menyebutnya “waktu luang” untuk mendeskripsikan saat dimana partikel kebendaan di ruang waktu tidak dinamis. Kata kekosongan lebih tepat bidik untuk menggambarkan situasi itu, setidaknya daripada kata “waktu luang”.

Untuk apa? Waktu luang artinya tidak kosong, waktu itu ada, namun tidak digunakan. Kita dalam keadaan sadar dan tahu apa yang harus dilakukan, namun belum terlaksana. Berbeda ketika sudah ada aksi dan reaksi dari kekosongan itu, menurutku (sangat wajib digaris bawahi untuk kata “menurutku”). Ini dia yang sering disebut-sebut oleh lingkungan saya dengan kata “selo”.  

Untuk perihal kata kekosongan, lebih kepada aktivitas astral dari sebuah ruang waktu. Bermacam-macam kegiatan yang tidak bisa dijamah oleh fisik manusia, atau dalam bahasa lainnya “kegiatan spiritual”. Yang bekerja hanyalah pikiran dan perasaan. Mereka tidak berjalan sendiri-sendiri seperti layaknya,mereka berdampingan dalam berolah kerja. Dan yang lebih asyik lagi, mereka tidak pernah punya batasan. Mereka bisa menjadi apa yang mereka inginkan. Disatu waktu mereka dapat berpikir dengan perasaan, atau diwaktu lain dapat merasakan dengan menggunakan pikiran.

Misalpun saya bercerita tentang apa yang saya lakukan, mungkin tidak akan tersampaikan persis seperti apa yang terjadi karena ini aktivitas spiritual kita, hanya ada bahasa saya dan Aku.  Interaksi kita tidak secara lazimnya, bahkan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tidak pragmatis namun tetap sederhana, mode interaksi kita.   

Tegasnya, saya tidak benar-benar tidak berbuat apa-apa dalam kekosongan itu.

Saya bebas menggarisbawahi tanda-tanda, memiringkan kata-kata, atau menebalkan angka-angka. Saya dapat berkelana hingga keujung timur dan dipangkal timur atau ujung barat.  Saya bisa menjadi hakim yang menyeringai sekaligus jaksa yang menjilat dalam gumulan perkara-perkara saya disitu.

Diruangan itu. Dimalam hari. Di sela-sela gemuruh bakaran tembakau-tembakau kretek kudus. Diantara senandung nyanyian jangkrik. Deru jeritan katak-katak sawah besar. Dan daun-daun bambu yang bergesekan dengan semilir angin malam.

Tentang pencarian dan yang tak terjamah
Minggu Pagi, 12 Agustus 2012

 Ouh Baby baby it’s a wild world..

Sepenggal lirik dari Mr. Big, band legendaris yang pernah berjaya pada dekade 80 - 90-an yang menjadi pilihan shuffling (acak) dari playlist-ku malam ini. Sekilas terkesan cengeng dan “melayu” untuk mereka-mereka yang tidak bijak dalam memandang. Volume memang sengaja tidak ku setel keras-keras. Sayup-sayup tapi tidak sendu. Sebagai bentuk perhatian sistem pengendali tubuh (otak) kepada indra pendengaran – lewat otak – yang mulai lelah setelah seharian menangkap beribu kilobytes suara dari ritmis-ritmis alam. Mungkin saja.

Rasanya ada yang berbeda ketika getaran nada dari lagu Baby,it’s a wild world ini sampai di telinga. Otot-otot jidat yang sedari siang tadi berkontraksi, mulai mengendur, luwes. Hingga rasa kaku lenyap dan seakan tidak ada guratan garis yang membentuk kesan serius di nonong ini. Selesei lagu ini, aku belum puas mendengarkannya. Sekali lagi.

Untuk kesekian kalinya, pemutar lagu atau dalam bahasaku winamp, tiba pada bagian reff. Aku lepaskan kehendak mulut ini, biarkan ia merasuki roh lagu. Mengikuti nada-nada bimbang eropa, katanya.

Implisit, ada kekuatan yang lebih besar dibalik rentetan nada lagu ini. Kekuatan yang terlambat aku sadari. Yang menggetarkan dada dan meluweskan sensor telinga. Yang kemudian daripada itu, yang bersembunyi-sembunyi adalah lirik. Susunan kata-kata yang membawa pesan penulis lagu kepada para pendengar.

Jika nanti sedikit lebih jauh, ini berarti akan membaku, membawa aku ke persoalan -ku dan cerita-ku. Aku hentikan disini karena tidak ingin berlama-lama dikubangan itu. Galau atau kalut atau bimbang atau apalah itu namanya hanyalah sebutanmu. Untukku, hanya sedang berada diruang dan waktu tertentu. Bukannya menghindar, semua ini dinamis. Ini bukan apa-apa dan tidak berarti untuk siapa-siapa, mirip konsep kefanaan. Masih banyak hal-hal baru yang layak dan harus aku perjuangkan diatas kemungkinan dan ketidakmungkinan. Ketidakpastian.

Ini masih pagi. Seisi rumah masih terjaga dengan selimut-selimut hangatnya. Aku seperti biasa, masih setengah duduk dan mencari.  

Jarum pendek di jam dinding ruang tamu menunjuk hampir pada angka 12. Merasa tercubit setelah selesei membaca sebuah tulisan reportase opini dari seorang jurnalis kawakan Kafil Yamin.

Mendapat tulisan itu, dari link yang di-tweet-kan seorang teman di jejaring sosial yang terlihat menarik untuk dibaca. Kebetulan saya masih dijalan - tepatnya makan balungan rasa lada di sogul, daerah Terban . Sedikit, teman saya memperlihatkan tulisan yang dipampang diblog milik wartawan veteran itu dan semakin menarik minat saya untuk menilik lebih jauh tentang isi halaman di blog tersebut.

Sudah saya niatkan untuk membaca lanjut tulisan yang sedari tadi membuat penasaran. Mencari tempat yang cocok untuk membaca, kuputuskan untuk mampir ke keadilan - semacam gudang ilmu bagi saya – karena wifi di ruang keadilan memang lancar sehingga memudahkan niat awal. Keadilan terletak di dalam kampus FH UII, sebelah selatan hall FH, tepatnya nomer dua dari kiri jika anda memasuki kampus. Keadilan sendiri adalah nama akrab yang saya gunakan untuk organisasi yang saya ikuti saat ini, LPM Keadilan. Adalah elemen perjuangan kampus yang bergerak dibidang Pers.

Sampai di ruang keadilan, tidak seperti biasanya yang ramai penuh suara, kali ini sepi. Saklar lampu saya tekan, dan byar, tidak mengejutkan namun sempat membuat dahi saya mengerenyit sedikit. Terlihat sepeda hitam-putih bersandar dibalik badan almari tengah dan tas-tas jinjing ukuran sedang tergeletak samping tembok timur. Pikir saya kemudian, orang-orang rantau baru pada pulang. Abaikan barang-barang itu, kemudian saya masuk ke ruang redaksi - disinilah tempat yang menurut saya paling cozy ­– dan langsung membuka laptop.

Hal pertama yang saya lakukan adalah, log in twitter.

***
Bukan untuk sekedar iseng atau ngeksis tapi bentuk interpretasi kebodohan saya, memantau dia. Siapa dia? Bukan lain dia yang hingga kini enggan keluar dari pagar kebun perasaan saya. Bagaimana mungkin dia masih disitu sedangkan saya telah bukakan lebar-lebar gerbang kebun itu? Sayakah yang dulu terlalu rajin merawatnya? Diakah yang terlalu nyaman di kebun saya? atau memang tipikal dia yang senang bermalas-malasan untuk menempatkan dia ditempat yang seharusnya? Apapun jawabanya, ini benar-benar tidak membuat nyaman. Tidak ada logika yang bisa dipakai disini. Saya yang ingin selesei tetapi saya yang menyesal. Saya hanya ingin ini lepas tapi saya yang tidak bisa mengurai talinya. Ini begitu complicated dan semakin bertambah runyam semakin hari.

Pertanyaan yang sebenarnya saya tidak perkenankan hadir di pikiran ini, terus membayangi seisi otakku. Yang saya sadari, beberapa minggu terakhir isi pikiran saya terbuang sia-sia tentang kehadirannya.  Saya tau yang telah terjadi ini adalah hal yang salah, tetapi mengapa seakan saya acuh saja membiarkan kebodohan ini berulang?

Tak ada guna mendebat di alam ide untuk hal semacam ini. Jawaban dua alinea diatas akan tegas, tatkala sirine kehidupan telah berteriak.
***

Kemudian, setelah memuaskan nafsu otak – twitter –  link pemberian teman saya buka. Saat itu waktu sudah sekitar pukul 10, dan artinya saya harus bergegas pulang atau pagi nanti baru bisa sampai rumah. Saya copy tulisan di link – sebenarnya bentuk link itu adalah blog – kemudian segera memberesi perkakas dan pulang . Mematikan lampu dan tidak lupa menyapa bapak satpam yang setia menjaga pintu masuk kampus.

Sepanjang perjalanan pulang monoton, hanya warna-warna lampu kota di kanan-kiri lebih ceria dimalam itu.

Sekitar pukul setengah 11, saya sudah menginjakkan kaki dirumah. Seperti biasa, memasukkan motor kegudang dan mengucap salam kepada simbah, tetapi seperti biasanya juga untuk jam itu simbah sudah tidur. Masuk ke kamar, cuci kaki dan tangan, dan ambil laptop seraya di atas kasur.

Cekatan membuka copy-an tadi. Kesan pertama membaca judul artikel itu, tidak biasa. Menarik dan perlu dibaca adalah pesan implisit yang disampaikan dari substansi lead artikel. Profil singkat Kafil Yamin adalah seorang wartawan kawakan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET (United Nations Missions in East Timor), 30 Agustus 1999. Dan seorang blogger men-share salah satu artikel wartawan itu di blognya, tentunya artikel yang ini.

Malam itu dingin jogja lumrah dan wajar, sekitaran 15 celcius. Tapi suasana romantis di kamar saya saat itu terasa berbeda dari hari sebelumnya. Mungkin karena seting black-out ruangan saat membaca.

Tidak kecewa saya membaca tulisan itu. Dia – kafil yamin – bercerita tentang hasil-hasil reportase berbentuk observasi maupun wawancara saat berada di Timor Timur saat perang politik berlangsung di situ. 
Diceritakannya mulai dari peran apik – licik UNAMET yang tidak lain hanyalah sandiwara belaka, IMF dan PBB yang berhasil menjalankan skenario busuk mereka, Kaum-kaum pro-integral dan anti-integral, kesehariannya reportase yang mendalam, bumi Timor yang luar biasa indahnya, hingga tabiat mengopi dan merokoknya yang membuat dirinya bertemu seorang aktivis pro-integral, Laffae. Sangat menarik mengikuti rentetan alur ceritanya. Dari gaya penulisannya pun tidak membosankan, gemar menghadirkan kutipan tetapi tidak overquoting. Deskribsi yang apik dan berbagai anekdot turut mengkilaukan tulisannya.

Kemudian yang saya dapatkan dari sosok Kafil Yamin ditulisannya dan tulisannya sendiri adalah soal independensi dan profesionalisme seorang pewarta. Sudah jarang dan mungkin hanya ada beberapa pewarta yang saya ketahui dan masih memegang teguh prinsip kejurnalistikan diatas, termasuk Kafil Yamin. 

Kegigihan, idealisme dan nasionalisme tanpa meninggalkan asas-asas jurnalistik dasar adalah nilai-nilai yang wajib-patut dimiliki bagi seorang wartawan, yang kemudian tampil sembunyi-sembunyi dalam sela-sela alineanya. Seperti saat dia dihubungi oleh rekan wartawannya, Prabandari, Tempo yang menelponnya untuk memberitahukan bahwa dia adalah wartawan satu-satunya dan terakhir yang ditunggu rekan-rekannya dibandara untuk dievakuasi ke Indonesia menggunakan Hercules. Sesaat setelah kemenangan jajak pendapat didapat oleh kaum pro-kemerdekaan. Kafil kekeuh untuk bertahan, melanjutkan reportasenya. Juga saat Kafil Yamin berdebat dengan editor kantor beritanya yang ada dibangkok, lantaran editor enggan – atau mungkin tidak berani – menuliskan bahwa UNAMET telah berlaku curang dan ingin menggantinya. Namun Kafil tetap dijalannya, tegak berdiri diatas prinsipnya. 

Lanjutnya, untuk (si)apa dia melakukan reportase kalau saja editornya ogah menerima tulisannya? Hingga dia mau-maunya tidur berlatar berondongan peluru? Mungkin dengan kutipan dari Pramoedya A.T. bisa melukiskan jawaban ini, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

Reportase Investigasinya juga disajikan sangat menarik dalam frasa-frasanya.

Tulisan bergaya features diary ini menyesak dada. Demo besar-besaran terjadi di dalam diri ini. Betapa butanya pikiranku terhadap hal-hal semacam ini!
“Apa yang sudah saya lakukan hingga umur 20 tahun ini? Paling tidak sudahkah saya berguna bagi orang lain? Apakah saya sudah pantas berumur 20 tahun?........” menyoal terhadap diri sendiri.


BAM!!!



Untuk ulang tahun jagoan saya yang ke 4, Kamasena Pudyasada. 



1. Shaun Sena the God Father 


2. Mafioso Italiano Numero Uno - Perfecto Ekspresioso 



Nb: Yth. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, gambar ini tidak bermaksud apapun kecuali just for fun! 
setelah kau terbangkan tinggi, ke venus..
jauh, nyaman, tenang..
BAM! kau lepas peganganmu, aku jatuh bebas.
lalu aku lihat kearahmu, terhentak, kaget,
wujud aslimu adalah mariel, bersayap, lebar-lebar. matamu hitam.

hei, sepertiga iblis- sepertiga malaikat- sepertiga hewan..
dengarkanlah langkahku, tergopoh, hendak berjalan jauh, tapi..
aku tak ingat dimana utara-selatan. kompas pemberian ibu, tak ku kantongi.

banal, begitu kamu memperlakukanku.

aku yakin, aku selalu berhasil menjauhi hari kemarin.
dan ketika kemarin adalah tanda tanya. kemudian ada penyesalan, aku belum sempat tanyakan itu kepadamu dan kepada-Mu, apa makna dibalik skenario ini.

bantat, kamu terlampau cepat, lebih daripada kilat.
hebat, tapi sadarkah ada yg terlewat? dadaku yang tersayat.
selamat - laknat -

12.12 26/06/12

    Halo, apakabar? Semoga sehat dan selalu penuh bahagia. Pasti sedang bersenang-senang ya? Alhamdulillah jika benar, aku akan senang sekali mendengarnya.

    Aku pengen cerita sama kamu, seperti dulu. Dimana? Disini, iya disini. Yang mungkin ya cuma disini. Cukup kamu diamkan saja, itu sudah membuatku lega kok. dan tolong juga jangan dibaca ya! oke.

    Jadi bagini, pertama kamu cukup hebat. Kenapa? Kamu berhasil memegang kendali hampir separuh dari hidupku dan ketika kamu pergi begitu saja, kamu lupa menyerahkan kendalimu kembali padaku kan? Lalu ya begini, semua menjadi berantakan.

    Kedua, terimakasih sudah memberikanku pengalaman pahit, asam, manis dan lainnya, juga semuanya yang sudah kamu berikan -termasuk pelajaran-pelajaran penting yang gak mungkin aku lupa.

    Ketiga, diawalnya aku mengambil keputusan itu aku ragu, dan benar kata orang "janganlah memilih sesuatu dengan gegabah". Aku sekarang paham mengapa seseorang mencipta jargon itu -tentunya dari sepenglihatanku. Aku dibutakan oleh duniawi, mereka bilang surga: sekarang aku tau nyatanya, surga untuk dajjal. Lalu untuk sekarang? Aku perlahan melepaskanmu, tanpa beban. Hebat kan aku? Tapi aku masih kalah hebat -cepat- dari kamu, suara saja masih kalah sama kecepatan kamu.

    Selamat.
   
    Keempat, kamu barang susah dicari. Aku meninggalkan bekas lecet dikamu, dan tentu harga jualmu berkurang. Tapi, jangan khawatir kamu bakalan laku keras selama kamu pertahanin caramu itu. Pontang-panting sesenang-senangnya kepada korbanmu pasti. Emm, saranku hati-hati, untuk kali ini aku kurang tau nasibmu, semoga kamu bukan menjadi korban -senang-senangmu-

Sekali lagi selamat!


21.42 03/06/2012

               Jarang sekali aku mendapati mimpi yang menjadi kenyataan dikemudian hari. Selama ini mimpiku cukup aku artikan sebagai dinamika alam ideku. Hanya nyata diawang-awang. Tidak pernah aku tanggapi secara berlebihan. Apalagi bersangka-sangka bahwa itu semua akan terjadi


                Namun semua itu berbalik ketika yang ada dimimpi itu adalah sosokmu dan sosokku. Entah kenapa saat bermimpi tentang kamu dan aku, terasa ada sesuatu yang berbeda. Rasa-rasanya begitu nyata terjadi. Hingga aku terhentak kaget, mereka –partikel mimpi-  pentas didepan mataku, dialam nyata! “ini pernah terjadi di episode mimpiku” kata otak kiriku.  Jelasnya, soal kamu tentu.


                Aku dejavu.


                Sekarang, kejadian macam itu kembali tampil di panggung pentas mimpiku. Mencabik perasaan, seolah mengajak flashback ke akhir tahun 2011 saat semuanya lebih baik dari ini, ya Desember itu.


                Menyesal? Tidak. Kutegaskan lagi, tidak. Aku menyadari, ini hanyalah pergolakan hati yang wajar terjadi pada manusia bodoh macam aku. “Lalu, Apa guna kamu menulis seperti ini?  layaknya seorang rubah yang hilang taringnya saja kau ini”, dia –otakku- mendebat batin. Dia protes, atasnama ketidaknyamanan yang dirasakanya, tentu saja kepada batin ini. Lalu aku sampaikan jawaban dari batinku, “itu dia pertanyaan yang sulit aku jawab”.                


                Kukira, bila hari ini ketentuan-Nya perihal hukum hubungan hidupmu dan hidupku masih belum diamandemen --selalu terjadi proyeksi mimpi di dunia nyata kita: aku was-was.x

2011

satu-persatu dari kita pernah mempunyai peran penting dalam cerita kita. aku kamu dia mereka semua berhulu dan berhilir pada kita.

tembok-tembok tua sekolah yang menjadi saksi bisu perjalanan kita, hingga pohon beringin yang kala itu menjadi kawah candradimuka utk membentuk karakter teguh dan seorang petarung.

aku rindu saat itu, saat kita duduk sejajar dengan hempasan hujan yang deras meluncur di lantai keras halaman sekolah. saat kita begitu romantis. menikmati candaan di tengah suasana hangat sembari menunggu hujan pergi di sore hari.

apakah mereka --adik kita sekarang-- masih merasakan hal yang kita rasakan bersama kala itu? duduk di bawah beringin berbalut sejuknya angin sore?

22.22 belum juga menemukan kata yang tepat untuk memulai tulisan ini karena memang belum bertemu apa yang mengguncangi batin. Seluruh kerisauan ini masih terus bergumul di fikiran dan hati sedari sore tadi. Berbagai hal sempat menyangkut disini, namun langsung lenyap dan selalu menyisakan tanda tanya. Entah apa yang aku rasakan, yang jelas tidak ada yang aku pikirkan untuk saat ini.

Inikah manusia bebas? Terlalu cepat dan gegabah untuk mempertanyakan itu sekarang. Tubuhku masih terselubungi keangkuhan, kebohongan dan kebusukan manusia muda abad ini. Fikiranku terbungkus ke fanaan materi dan pandangan-pandangan palsu akan surga dunia. Batinku masih tertatih untuk merasakan rasa sebagai manusia pada hakikatnya. Sungguh malu aku atas kenistaanku ini. Jangan kau lihat jangan kau bicarakan. Aku pun tak sudi melihat dan membicarakan.

Lalu sebenarnya apa aku ini? Sadar, otak ini dituntut untuk berfikir. Namun jalan pikiranku sekarang mengambang. Entah bagaimana ceritanya, hingga aku bingung mengungkapkannya. Dan aku pun belum merasakan kedekatan-Nya. Inikah yang dinamakan penolakan alam?

Alam, aku sadar salahku. Aku sadar segala dustaku. Aku sadar sedihku. Namun aku sedang mencoba membalikan semua. Meramal apa yang akan terjadi nanti. Dan mencoba memilih jalan yang aku anggap nyaman. Namun, aku sendiri dan galau. Aku takut membuka mata untuk hari esok, aku menutup rapat ingatan dihari kemarin, aku menipu hari-hariku kini. Aku benar-benar buntu akal dan nurani.

"I need someone who hears", satu kutipan lirik dari lagu till kingdom come milik coldplay yang sedari tadi mencabuli fikiranku. Seseorang itu siapa? Aku fikir kamulah hei alam. Aku ingin kembali berjumpa denganmu. Tidur bersamamu. Aku ingin kau menuntunku hingga aku tau bagaimana cara untuk mengungkapan kegundah an ku saat ini. Aku ingin pulang, ingin menengok rumah, ingin merasakan ketentraman, ketenangan, dan kenyamanan.

Mungkin sudah saatnya..

Tanah Semeru bagi Soe Hok Gie,
Tanah Tambora untuk Widjajono Partowidagdo


Satu lagi orang baik di Negeri Bencana ini, pergi kembali ke pelukan alam-Nya.


Guratan garis-garis yang begitu tebal dan berjumlah-jumlah terlihat jelas di kulit keningnya. Senyum yang bersahaja, seorang non politik dan selalu menjadi orang terdepan yang meneriakkan “Tumpas Mafia Minyak!” bentuk dari perpaduan antara intelegensi, nurani dan seorang nasionalis sejati. Bapak Widjajono Partowidagdo yang pada tanggal 21 April 2012 dan diperkirakan pukul 09.00 menghembuskan nafas terakhir kali kembali kepelukan Yang Maha Pencipta Alam. Pengajar ITB yang sekaligus menduduki jabatan strategis di Republik, Wakil Menteri ESDM ini berpulang setelah petualangan gunung terakhirnya, di Tambora.

Entah kebetulan atau memang sudah diatur oleh Sang Skenario, Hari Bumi se-dunia terjadi sekitar 15 jam setelah kepergiannya. Apabila di otak-atik-gathuk, Alm. Pak Wid sendiri adalah seorang pecinta alam dan resmi menjadi anggota Pecinta Alam ITB sejak dia menimba ilmu disana. Namun hobi mendaki gunung menurut sumber Kompas.com sudah ia lakukan sejak kecil dan ia lakukan hingga sekarang. Perawakan yang enerjik ini telah mendaki semua gunung di Sumatera dan Jawa dan juga termasuk daftar gunung yang sudah dijumpainya Gunung Himalaya, Gunung Kilimanjaro, Gunung Kinabalu, Gunung Fuji, Gunung Aconcagua. Dan tidak lupa yang mengantar kepulangan beliau, Tambora. Hampir di setiap tulisan ilmiah beliau, beliau menganalogikan segala sesuatu dengan hal-hal yang berhubungan dengan mounteneering. Apabila menengok fisik beliau, rambut gondrongnya lah yang mungkin dengan sengaja ia tunjukkan ”kerimbaan” rekan-rekannya di Kantor Kementrian ESDM tempat beliau bekerja.

Pemikirannya yang kritis dan nothing to lose mengingatkan saya pada sosok aktivis era 60-an, Soe Hok Gie. Dijamannya, Soe dikenal sebagai pribadi yang selalu melawan tirani, enggan dikaitkan ke dunia politik dan juga selalu berpikiran bebas. Dari pribadi keduanya, dapat kita temukan banyak kesamaan. Salah satunya adalah keduanya merupakan seorang intelek yang mencintai gunung untuk didaki.

Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung
      
      Salah satu kutipan dari Catatan Seorang Demonstran milik Soe Hok Gie menjadi perenungan para pendaki untuk saat ini dan mungkin tidak terkecuali untuk Bapak Almarhum Widjajono. Beliau sangat memahami betul arti dari kata-kata Gie tersebut. Jiwa patriotisme Almarhum muncul dari mendaki gunung dan mengenal masyarakat sekitar. Seperti petikan kata-kata yang diucapkan Beliau kepada istrinya sewaktu berpamitan, “Saya ingin menengok Tambora dan masyarakat sekitar”-(tribunnews.com).  Patriotisme dalam diri seorang Widjajono ingin ia curahkan dengan berjuang untuk negara Indonesia ini dengan jalan menjadi Wakil menteri Energi dan Sumber Daya Mineral namun, oleh Yang Maha Kuasa dipanggil ditengah perjuangannya. Ia bersih dari politik semasa bekerja menjadi Wamen ESDM, berbeda dengan Soe yang memilih menjadi penulis ketimbang Legislator di DPR tetap ada kesamaanya yaitu sama bersihnya.
Kebiasaan menulis Pak Wid mengantarnya menjadi Anggota Dewan Redaksi Jurnal Ekonomi Lingkungan (1991-1997) dan Pemred Jurnal Studi Pembangunan ITB (1998-2000). Aktif di mailing list ikatan alumni ITB juga dilakukannya hingga saat beliau sebelum berpulang menuliskan surat elektronik ke mailing list yang terakhir kalinya. Yang pada intinya di surat itu, Widjajono mengajak semua orang untuk selalu bersyukur dan satu petikan dari surat beliau “Oh ya, Tuhan tidak pernah kehabisan akal. Percayalah..”. Seakan beliau menitipkan pesan optimisme kepada seluruh masyarakat Indonesia yang sedang dilanda keterpurukan di berbagai aspek kehidupan.
Misal kita lihat dari sudut pandang lain, fenomena ini mengingatkan kepada kita semua bahwa orang yang baik akan dikenang dengan kebaikan pula. Seorang Wamen yang setiap pagi menyapa seluruh masyarakat di tempat tinggalnya yang dikenal maupun tidak dikenal dan kesederhanaannya tercermin di rutinitasnya nge-bis di setiap beliau berangkat kerja membuatnya semakin menjadi manusia yang pantas untuk kita kenang. Pria lugu dan dibalik keluguan tersebut terdapat hamparan padang ilmu yang sangat luas, seperti analogi “Padi makin merunduk makin menjadi” rasa-rasanya pantas disandang oleh Almarhum Widjajono. Dia kenal pula tulus menjalankan sesuatu, tidak mengejar material duniawi namun apa yang seharusnya ia lakukan sebagai manusia dan kalifah. Kontradiktif sekali dengan para penguasa-hipokrit hari ini. Setiap tindakannya, kepentingan pribadi maupun kelompoknya selalu ikut serta. Otak busuk dan dibutakan oleh nafsu serakah, menjadi skill yang wajib dimiliki orang-orang ini. Seharusnya, dengan kehilangan Alm. Widjajono ini mereka dapat menangkap pesan eksplisit dari Sang Pencipta Alam. Mereka semestinya sadar, masih ada manusia yang mengerti dirinya hanyalah makhluk kecil ciptaan-Nya yang dititipkan di alam-Nya.
               
        Seperti filosofi mendaki gunung, saat tubuh lemas terkuras habis energi kita akan tau siapa kita sebenarnya. Tidak lain tidak bukan hanyalah makhluk yang sangat kecil dan lemah di luas angkasa raya-Nya.

Selamat tinggal bapak Widjajono, kembalilah kepelukan alam hal yang selama ini terus engkau elu-elukan. Selamat jalan manusia baik, semoga Allah SWT melebarkan jalanmu seperti kau saat di dunia melebarkan bagi yang kekurangan. 

Dibalik Geliat Pertumbuhan Ekonomi Kaliurang pasca Erupsi
(salinan IHT Kader LPM Keadilan)
Oleh: Mada Pudyatama

“Alhamdulillah sudah lumayan cukup mas..”

Sosok lelaki bertubuh tegap dan berkulit jawa,  terlihat mengarahkan mobil-mobil yang akan diparkirkan oleh pemiliknya di kawasan kaliurang, tepatnya di depan persis objek wisata kaliurang, sleman. Hawa dingin yang menusuk kulit bukan menjadi halangan dia untuk terus menggerakkan tubuhnya agar mobil yang ingin diparkirkan oleh pemiliknya tertata rapi. sehingga memudahkan pengguna jalan untuk tetap memakai jalan semestinya dan juga tidak merusak kenikmatan atas pemandangan kaliurang malam.
Kumis tebalnya memperlihatkan betapa kerasnya hidup pada zona dingin kaliurang saat ini. Tetapi akan sangat berbeda setelah tim terbit fajar memulai perbincangan dengannya. Kesan tegas seketika kabur sembari munculnya senyum dan sapa ala orang ini. Orang sekitarpun sudah pasti mengenal dia, karena 5 tahun sudah dia menggeluti profesinya dan juga alamatnya yang memang tidak jauh dari tempat tim bertemu dengan dia.
Senyum sapa yang ramah, itulah kesan pertama setelah mengenalnya. Maridjan, lelaki  setengah abad kelahiran 04 September 2011 ini memperlihatkan mimik wajah yang sangat supel  dan ceria saat di wawancarai tim terbitfajar. Kepada tim Ia menuturkan dengan semangat tempat tinggalnya. “Maridjan, RT 04, Kaliurang barat, masjid luruus mas..” kata Maridjan menggebu-gebu. “Saya sudah 5 tahun baru disini mas, jadi tukang parkir” sahutnya. Mungkin maksut tahun baru itu adalah dia sudah melewati 5 kali tahun baru bersama pekerjaan ini. Dia menjelaskan pendapatannya sudah mencukupi hidupnya. Dia juga menjelaskan kepada tim, “saya masih bujang mas”, sambil tertawa terkekeh-kekeh ala pak maridjan. “khekhekhe” begitulah kira-kira.
Latihan Sendiri
“Saya berlatih parkit sendiri mas”, tuturnya. Sebelum digali jawabannya tadi tim berpikiran bahwa dia berlatih memakirkan kendaraan sendiri. Tetapi tim sadar setelah menelisik arti yang dimaksudkan tidak demikian, dia ingin menyampaikan bahwa dia bangga bisa memulai pekerjaan tanpa merepotkan orang lain. Dia kemudian bercerita tentang keluarganya, kehidupanya yang bersama kakaknya sekarang, keseharian memarkirnya hingga kesehariannya selain memarkir.
Dia memaparkan, orangtua nya sudah tiada, sekarang dia tinggal di daerah kaliurang ini bersama kakak kandungnya. keseharian memarkirnya rata-rata mendapat 100 perhari dengan kerja dari jam 4 sore sampai jam 5 pagi. Setelah dia bekerja jam 5 pagi lelaki ini merbahkan tubuh letihnya.Tidak lama-lama dia merebahkan tubuhnya hanya sekedar untuk istirahat saja. Menurutnya, apabila beristirahat terlalu lama, malah menjadikan tubuhnya lemas. Memang watak maridjan ini seorang pekerja keras, tekun dan tidak menyukai bermalas-malasan. Nilai-nilai manusia yang seperti inilah pada era moderen ini sangat sulit dikembangkan. Ditemukan saja sulit apalagi hingga dikembangkan. Para generasi-generasi muda indonesia harus banyak belajar dari pak Maridjan ini.


Nyambi mas..
Selain bekerja sebagai tukang parkir luar kawasan objek wisata kaliurang, dalam memanfaatkan waktunya dia tidak malu untuk melakoni pekerjaan-pekerjaan yang seringkali dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Dia mengumpulkan gresek-gresek botol air mineral untuk kemudian dijual kepada pengadah-pengadah. Dibeberkannya tempat dan waktu pekerjaan ini. “Senin-Selasa saya ke tlogo putri unuk mengumpulkan botol aqua, kemudian saya jual kepada pengadah mas”, bebernya. Dia juga sedikit cerita tentang konstanya harga satuan kilo botol bekas yang tetap di sekitaran 250 rupiah perkilo. “Jangan malu mas yang penting hehe”, selalu diiringi dengan tawanya yang gurih dalam setiap celetukanya. Ya, segala sesuatu yang bersifat halal hukumnya satu yaitu jangan malu.

Nb: maaf foto belum sempat saya pasang, karena problem teknis dari kami