Akhirnya saya berkesempatan juga untuk menggoreskan tinta elektrik di halaman ini setelah sekian lama berdiam di bingkai ruangan 4 x 4 meter ini (kamar). Sebelumnya akhir-akhir ini saya lebih senang mengurung diri dan tertutup. Malas sekali untuk berinteraksi dengan sesama. Teman saya ya cuma kasur, laptop dan inti-inti di mimpi. Tidak ada fisik nyata, tidak ada kerjasama. Ya, saya benar-benar terpagari oleh pagar buatan sendiri dan itu menyenangkan.
Saya sangat bersuka ria apabila menjelang malam, tentunya
karena ini bulan Ramadhan dan itu berarti bahwa momentum itu adalah menjelang
buka. Tetapi diluar itu ada alasan lain yang membuat saya begitu senang.
Merdeka. Saya bisa berpikir bebas kemana-mana, tidak ada
ujung batasan ketika malam. Sedikit
polusi suara, sedikit cahaya dan paduan suara jangkrik-jangkrik di luar rumah yang mungkin menambah bentuk suasana ini. Keeksotisan bunyi-bunyian tembakau rokok yang terbakar, mengagungkan ke-syahdu-an suasana
malam, suasana dimana diri ini kembali menjadi gumpalan daging yang tidak berguna
dan tidak bernilai. Acuh terhadap sekitar atau apatis.
Adalah gambaran keseharian saya akhir-akhir ini, statis dan mati namun menyenangkan. Tidak ada yang direpotkan. Semua begitu
liar dan bebas, bisa berlari kemana saja, atau hanya berputar-putar. Kesinisan
hilang, yang muncul beragam bunga-bunga kedamaian. Semuanya ketika petang
berjalan.
Mungkin untuk kali ini, sedikit saya akan ceritakan tentang satu dari beberapa hal, terkait “kekosongan” hari kemarin. Sebelumnya, saya tidak pernah menyebutnya “waktu luang” untuk mendeskripsikan saat dimana partikel kebendaan di ruang waktu tidak dinamis. Kata kekosongan lebih tepat bidik untuk menggambarkan situasi itu, setidaknya daripada kata “waktu luang”.
Untuk apa? Waktu luang artinya tidak kosong, waktu itu ada,
namun tidak digunakan. Kita dalam keadaan sadar dan tahu apa yang harus
dilakukan, namun belum terlaksana. Berbeda ketika sudah ada aksi dan reaksi
dari kekosongan itu, menurutku (sangat wajib digaris bawahi untuk kata “menurutku”).
Ini dia yang sering disebut-sebut oleh lingkungan saya dengan kata “selo”.
Untuk perihal kata kekosongan, lebih kepada aktivitas astral
dari sebuah ruang waktu. Bermacam-macam kegiatan yang tidak bisa dijamah oleh
fisik manusia, atau dalam bahasa lainnya “kegiatan spiritual”. Yang bekerja
hanyalah pikiran dan perasaan. Mereka tidak berjalan sendiri-sendiri seperti
layaknya,mereka berdampingan dalam berolah kerja. Dan yang lebih asyik lagi,
mereka tidak pernah punya batasan. Mereka bisa menjadi apa yang mereka
inginkan. Disatu waktu mereka dapat berpikir dengan perasaan, atau diwaktu lain
dapat merasakan dengan menggunakan pikiran.
Misalpun saya
bercerita tentang apa yang saya lakukan, mungkin tidak akan tersampaikan persis
seperti apa yang terjadi karena ini aktivitas spiritual kita, hanya ada bahasa
saya dan Aku. Interaksi kita tidak
secara lazimnya, bahkan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tidak pragmatis
namun tetap sederhana, mode interaksi kita.
Tegasnya, saya tidak
benar-benar tidak berbuat apa-apa dalam kekosongan itu.
Saya bebas menggarisbawahi tanda-tanda, memiringkan kata-kata,
atau menebalkan angka-angka. Saya dapat berkelana hingga keujung timur dan dipangkal
timur atau ujung barat. Saya bisa
menjadi hakim yang menyeringai sekaligus jaksa yang menjilat dalam gumulan
perkara-perkara saya disitu.
Diruangan itu. Dimalam hari. Di sela-sela gemuruh
bakaran tembakau-tembakau kretek kudus. Diantara senandung nyanyian jangkrik. Deru jeritan katak-katak sawah besar. Dan daun-daun bambu yang bergesekan dengan semilir
angin malam.
Tentang pencarian dan yang tak terjamah
Minggu Pagi, 12 Agustus 2012
Tentang pencarian dan yang tak terjamah
Minggu Pagi, 12 Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar