Tanah
Semeru bagi Soe Hok Gie,
Tanah
Tambora untuk Widjajono Partowidagdo
Satu lagi orang baik di Negeri Bencana ini, pergi kembali ke pelukan alam-Nya.
Guratan garis-garis yang begitu tebal dan
berjumlah-jumlah terlihat jelas di kulit keningnya. Senyum yang bersahaja,
seorang non politik dan selalu menjadi orang terdepan yang meneriakkan “Tumpas
Mafia Minyak!” bentuk dari perpaduan antara intelegensi, nurani dan seorang
nasionalis sejati. Bapak Widjajono Partowidagdo yang pada tanggal 21 April 2012
dan diperkirakan pukul 09.00 menghembuskan nafas terakhir kali kembali kepelukan
Yang Maha Pencipta Alam. Pengajar ITB yang sekaligus menduduki jabatan
strategis di Republik, Wakil Menteri ESDM ini berpulang setelah petualangan
gunung terakhirnya, di Tambora.
Entah kebetulan atau memang sudah diatur oleh Sang
Skenario, Hari Bumi se-dunia terjadi sekitar 15 jam setelah kepergiannya. Apabila
di otak-atik-gathuk, Alm. Pak Wid
sendiri adalah seorang pecinta alam dan resmi menjadi anggota Pecinta Alam ITB
sejak dia menimba ilmu disana. Namun hobi mendaki gunung menurut sumber
Kompas.com sudah ia lakukan sejak kecil dan ia lakukan hingga sekarang.
Perawakan yang enerjik ini telah mendaki semua gunung di Sumatera dan Jawa dan
juga termasuk daftar gunung yang sudah dijumpainya Gunung Himalaya, Gunung
Kilimanjaro, Gunung Kinabalu, Gunung Fuji, Gunung Aconcagua. Dan tidak lupa
yang mengantar kepulangan beliau, Tambora. Hampir di setiap tulisan ilmiah
beliau, beliau menganalogikan segala sesuatu dengan hal-hal yang berhubungan
dengan mounteneering. Apabila
menengok fisik beliau, rambut gondrongnya lah yang mungkin dengan sengaja ia
tunjukkan ”kerimbaan” rekan-rekannya di Kantor Kementrian ESDM tempat beliau
bekerja.
Pemikirannya yang kritis dan nothing to lose mengingatkan saya pada sosok aktivis era 60-an, Soe
Hok Gie. Dijamannya, Soe dikenal sebagai pribadi yang selalu melawan tirani,
enggan dikaitkan ke dunia politik dan juga selalu berpikiran bebas. Dari
pribadi keduanya, dapat kita temukan banyak kesamaan. Salah satunya adalah
keduanya merupakan seorang intelek yang mencintai gunung untuk didaki.
“Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan
slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia
mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan
mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat
dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami
naik gunung “
Salah satu kutipan dari Catatan Seorang Demonstran
milik Soe Hok Gie menjadi perenungan para pendaki untuk saat ini dan mungkin
tidak terkecuali untuk Bapak Almarhum Widjajono. Beliau sangat memahami betul
arti dari kata-kata Gie tersebut. Jiwa patriotisme Almarhum muncul dari mendaki
gunung dan mengenal masyarakat sekitar. Seperti petikan kata-kata yang
diucapkan Beliau kepada istrinya sewaktu berpamitan, “Saya ingin menengok
Tambora dan masyarakat sekitar”-(tribunnews.com). Patriotisme dalam diri seorang Widjajono
ingin ia curahkan dengan berjuang untuk negara Indonesia ini dengan jalan
menjadi Wakil menteri Energi dan Sumber Daya Mineral namun, oleh Yang Maha
Kuasa dipanggil ditengah perjuangannya. Ia bersih dari politik semasa bekerja
menjadi Wamen ESDM, berbeda dengan Soe yang memilih menjadi penulis ketimbang
Legislator di DPR tetap ada kesamaanya yaitu sama bersihnya.
Kebiasaan menulis Pak Wid mengantarnya menjadi Anggota
Dewan Redaksi Jurnal Ekonomi Lingkungan (1991-1997) dan Pemred Jurnal Studi
Pembangunan ITB (1998-2000). Aktif di mailing list ikatan alumni ITB juga
dilakukannya hingga saat beliau sebelum berpulang menuliskan surat elektronik
ke mailing list yang terakhir kalinya. Yang pada intinya di surat itu,
Widjajono mengajak semua orang untuk selalu bersyukur dan satu petikan dari
surat beliau “Oh ya, Tuhan tidak pernah kehabisan akal. Percayalah..”. Seakan
beliau menitipkan pesan optimisme kepada seluruh masyarakat Indonesia yang
sedang dilanda keterpurukan di berbagai aspek kehidupan.
Misal kita lihat dari sudut pandang lain, fenomena
ini mengingatkan kepada kita semua bahwa orang yang baik akan dikenang dengan
kebaikan pula. Seorang Wamen yang
setiap pagi menyapa seluruh masyarakat di tempat tinggalnya yang dikenal maupun
tidak dikenal dan kesederhanaannya tercermin di rutinitasnya nge-bis di setiap beliau berangkat kerja membuatnya
semakin menjadi manusia yang pantas untuk kita kenang. Pria lugu dan dibalik
keluguan tersebut terdapat hamparan padang ilmu yang sangat luas, seperti
analogi “Padi makin merunduk makin menjadi” rasa-rasanya pantas disandang oleh
Almarhum Widjajono. Dia kenal pula tulus menjalankan sesuatu, tidak mengejar
material duniawi namun apa yang seharusnya ia lakukan sebagai manusia dan kalifah. Kontradiktif sekali dengan para
penguasa-hipokrit hari ini. Setiap tindakannya, kepentingan pribadi maupun
kelompoknya selalu ikut serta. Otak busuk dan dibutakan oleh nafsu serakah,
menjadi skill yang wajib dimiliki orang-orang ini. Seharusnya, dengan
kehilangan Alm. Widjajono ini mereka dapat menangkap pesan eksplisit dari Sang
Pencipta Alam. Mereka semestinya sadar, masih ada manusia yang mengerti dirinya
hanyalah makhluk kecil ciptaan-Nya yang dititipkan di alam-Nya.
Seperti
filosofi mendaki gunung, saat tubuh lemas
terkuras habis energi kita akan tau siapa kita sebenarnya. Tidak lain tidak
bukan hanyalah makhluk yang sangat kecil dan lemah di luas angkasa raya-Nya.
Selamat tinggal bapak Widjajono, kembalilah kepelukan alam hal yang selama
ini terus engkau elu-elukan. Selamat jalan manusia baik, semoga Allah SWT
melebarkan jalanmu seperti kau saat di dunia melebarkan bagi yang kekurangan.
0 komentar:
Posting Komentar