Kamu tahu bagaimana cara merasakan waktu?

Aku beritahu: Menunggulah. Semakin tak sabar kamu menunggu, maka semakin terasa waktu berjalan melambat. Semakin kamu tak sabar, semakin berarti pula hal yang kamu tunggu itu. Semakin berarti hal yang kamu tunggu, semakin kamu tidak begitu penting.

Aku menunggu seseorang.

Maka menunggu bukan lagi hubungan timbal balik. Kamu tak akan peduli apakah hal yang kamu tunggu, menunggumu balik. Kamu tak akan peduli apakah yang kamu inginkan segera datang, menginginkan pertemuanmu. Kamu tak acuh sikapnya padamu. Kamu tak akan takut tatkala dia tak menunggumu balik. Dan kamu tak akan peduli, meskipun dia sedang menunggu orang lain disana.


Maka aku sedang merasai waktu.  
Kalau ketemu kijang lincah, perempuan,

kalau kijang itu bicaranya cerdas

kalau kijang itu berani

kalau kijang itu cinta Tuhannya

bilang pada dia,

aku menyesal jadi manusia

aku ingin jadi kijang jantan

biar bisa pacaran sama dia

Mada, 2014
Kawan saya in action (Baju biru)
Sekitar tiga tahun lalu, pada suatu makan siang, seorang kawan tiba-tiba berseloroh, “Lagi kekancan wae wes pedot”.

Kalimat itu meluncur begitu saja ketika kami tengah melahap soto. Bingung. Tanpa mendung, tanpa geledek tiba-tiba ia kalimat aneh tersebut terlontar. Kalimat macam apa itu. Susah dicerna. Tidak logis. Tidak EYD pula.

Serempak kami menoleh kearahnya. Lalu gelagatnya wagu. Sorot matanya berpaling ke jalan raya. Raut mukanya menjadi seperti anak kos di tanggal tua. Terlempit-lempit.

 “He maksudmu opo?”, salah satu dari kami mencoba membuat terang keadaan.

“Ha koe-koe kui. Senengane macok-macokne.”

Kami masih kebingungan.

“Opo to?”, desak kawan saya lainnya.

Dia menyebut nama seorang perempuan. Kami mulai menangkap maksudnya. Perempuan itu sekelas dengan kami. Si perempuan itu belakangan dekat dengannya. Kami ketahui, mereka sudah saling berbalas sms, balas chating bbman, bahkan sudah sampai pada kirim-kiriman emoticon. Di teori bribik termutakhir, proses bribik yang sudah sampai tahap berbalas emoticon itu sejatinya tinggal menunggu setapak lagi menuju puncak status; daden atau jadian.

Nah, dari situ kami berniat membantunya untuk sampai pada puncak status. Seringkali kalau mereka kepergok sedang ngobrol, kami ciye-ciye kan. Tiap mereka saling saling menyapa, kami ehem-ehemkan. Ketika mereka sedang berpapasan, kami uhuk-uhukkan. Ini semua hanya untuk membantu kawan kami mendapatkan perempuan pujaannya. Semata-mata karena kami ingin menjadi kawan sejati. Kawan yang selalu mendukung kawan lainnya dalam berbagai hal. Ya, walaupun sesekali ada niat nggarapi. Tapi ya hanya sesekali saja, kami rasa tidak apa-apa.

“Lah nek awakdewe pacok-pacokkan, lhak yo dirimu sakjane semakin seneng to”, saya menanggapi.

“Matama…”, tampak nadanya mengelak.

Tetapi, “Jane yo pancen sih nek nggo aku. *pitikih* Tapi masalah e dee malah semakin adoh bar kui!”

Sontak kami kaget. Kami seperti tak percaya atas pernyataan baru saja. Kemarin saja waktu di kelas, kami masih lihat mereka masih seperti biasa je. Masih biasa duduk mendengarkan kuliah sambil sesekali saling curi-curi pandang. Masih saling mencoba memperhatikan. Masih..
Secara teori bribik kontemporer, ini tidak mungkin terjadi. Salah seorang kawan saya menjelaskan, secara teori itu hampir mustahil. Kecuali hal ini terjadi pada saat jaman roro jonggrang dan bandung bondowoso.  Jelasnya, semisal Bandung Bondowoso bribik Roro Jonggrang lalu kawan-kawannya mencie-ciekannya, roro jonggrang tentu akan menjauh. Kenapa? Karena ia pasti mengira teman-temannya gila. Lagipula mana tahu roro jonggrang sama cie-ciean?

Salah satu kawan saya tadi mulai memasang tampang nyebahi akademiknya. Artinya kuliah cinta sebentar lagi terselenggara di tengah warung soto ini. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia mulai menjelaskan dengan detil mengenai ontologi bribik. Tak lupa juga ia mengutip beberapa pendapat ahli. Kemudian pelan-pelan ia menjelaskan fase-fase bribik sekaligus disertai indikator-indikatornya. Pada penjelasan fase bribik tahap kirim-kiriman emotikon, kawan saya yang murung itu memotong.

“Halah, nyata-nyata dia menjauhiku sekarang. Smsku ra dibales. BBMku mung di read tok.

“Ah daek kui teori!”, sambil memanyunkan mulutnya. Untuk diketahui, Daek, adalah sejenis pisuhan yang diciptakan kawan saya itu. Selain dia gemar membuat kalimat-kalimat asing, ia juga rajin membuat pisuhan-pisuhan baru.

Kawan kami lain mencoba menengkan pikiran kalutnya. “Mungkin dee lagi sibuk, bro”
Ia kemudian tampak berpikir. Lalu pandangannya kembali ia lemparkan jauh ke jalan raya. Ia semakin tenggelam dalam pikirannya. Kami semua menunggu kata yang selanjutnya ia keluarkan. Akhirnya, ia berbicara.

“Ngene lho, Tho. Aku ki lagi nyeraki dee. Aku berusaha membuat dee nyaman karo aku. Nah, lha kok kowe-kowe malah do macok-macokke. Pie to. Dee njuk dadi ra nyaman to. Dee mungkin njuk gilo ro aku, trus males karo aku. Njuk dadi sms karo bbmku ra diwoco. Terus aku rasido nyeraki. Terus cintaku gagal. Iki goro-goro kowe kabeh, cah bajingan..”

Saya merenungi barang sebentar apa yang dikatakannya. Setelah dipikir-pikir masuk juga yang apa dikatakkannya. Teori Bribik itu sudah usang. Nyatanya dalam kasus salah satu kawanku ini tidak terbukti. Begitu pikirku saat itu.

Saya jadi merasa bersalah. Saya malah menjadi perusak fase bribik kawan saya. Baiklah niat kami baik, tapi tetap saja, kawan kami yang murung ini akhirnya dirundung kesedihan. Sebagai kawan sejati kami tak boleh membiarkan salah satu dari kami sedih.

Akhirnya kami meminta maaf kepadanya dan berjanji hendak tidak mengulangi lagi perbuatan kami. Jika perbuatan kami diulangi kami bersedia untuk tidak dianggap kawan. Kami bersedia dipecat sebagai kawan.

Sedotan es jeruk terakhir, menjadi penanda kami selesai dengan topik bribik nan serius siang ini. Kami mesti masuk kelas lagi. Pak Dosen sudah menunggu. Tiba-tiba hape kawan saya berbunyi. Saat itu ia sedang membayar, hapenya ia tinggal di meja warung. Ada sms masuk. Harapan kami sms itu dari perempuan yang kami pacok-pacokkan kepadanya tadi. Isinya semoga terkait permohonan maaf padanya karena tak membalas pesan-pesannya lantaran bla..bla..bla.

Salah satu kawan saya penasaran. Ia membacanya.

Tapi disana bukan nama perempuan itu yang tertulis. Melainkan nama seseorang dengan huruf jawa. Pelan-pelan kami mengeja, akhirnya kami mendapatkan namanya. Roro Djonggrang. Isi pesannya, masih dengan aksara jawa, “Nyuwun ngapunten Kang mas. Ciecie meniko sinten? Mantan panjenengan? Kulo tersinggung menawi dipun anggep mantan kangmas. Kulo nggih Roro Djonggrang. Ampun dianggep mantan kang mas. Lan, inggih sakmeniko walesan kulo mboten males menopo ingkang kang mas bbm lan sms”.

Kami bengong. Lho, Roro jonggrang sms? Roro jonggrang bbm? Saya pun tetap ndak paham sampai saat ini kenapa Roro jonggrang bisa smsan dan bbman. Saya juga bingung merk hape yang digunakan Roro Jonggrang. Dimana letak pabrik pembuatannya? Sudah ada listrik? Saya bertambah bingung meyadari ada hape yang menggunakan aksara jawa. Saya sebenarnya punya kecurigaan, tapi terlalu takut untuk dikatakan eh naïf pada teman-teman. Tapi tak apalah dikatakan, untuk anda pembaca: Jangan-jangan atlantis itu benar di Indonesia.

Tapi selebihnya, yang pasti, sejak saat itu kami mengetahui siapa kawan kami sebenarnya. Ia tak lain adalah Bandung Bondowoso. Ternyata setelah kegagalannya membangun prambanan itu, ia dikutuk oleh para jin pembantu proyeknya. Mereka merasa dipermainkan olehnya, si Jin tidak mau tau alasan-alasan bandung. Jin tidak kenal cinta. Jin-jin itu ndak kenal keindahan hidup. Maka kemudian ia dikutuk oleh majelis Jin Prambanan dan sekitarnya untuk hidup abadi dan menggrantes selamanya. 

Sampai hari ini.


Tapi, sebentar. Apa perempuan itu juga Roro Djonggrang yang turut dikutuk oleh para jin yang merasa dikhianati? Entahlah.. saya ngantuk.
Dua hari yang lalu Nisa resmi mundur dari tim kami. Tim Pengkaderan. Salah satu bidang di Lembaga Pers Mahasiswa. Ibarat kawah candradimuka, bidang kami diharapkan mampu melahirkan gatotkaca-gatotkaca baru. Gatotkaca yang mentas dari candradimuka. Gatot kaca yang saktimandraguna. Gatot kaca seperti pendahulunya.

Rasa-rasanya baru kemarin saya berkenalan dengan anggota baru tim kami. Mereka adalah Irkham, Gandar, Meila, dan Nisa. Masih jelas dalam ingatan saya, raut antusias mereka tatkala rapat pertama. Saya ingat bagaimana kekakuan mereka pada rapat pertama kali. Saya ingat satu persatu menyebutkan alasan masing-masing mengapa mereka memilih bidang ini. Dan saya masih ingat alasan Nisa masuk bidang ini.

Saya juga masih merasakan euphoria rapat pengkaderan di Warung Senja lalu. Agendanya pembahasan evaluasi kader jilid 1. Juga mengenai evaluasi system kaderisasi yang kita jalankan. Yang terakhir pembahasan konsep kaderisasi kader jilid 2. Untuk diketahui pengkaderan saat ini memiliki dua kader. Kader 1 adalah sebutan kami untuk kader yang masuk tahun 2013. Sedangkan kader jilid 2 adalah sebutan kami untuk kader paling segar kami, tahun oprek 2014.

Saya rasanya masih bisa mengingat kata-kata nisa ketika rapat itu. Pendapatnya mengenai persoalan yang kami bahas. Dialek bataknya yang khas ketika disela-sela rapat menerima telpon keluarganya. Dan juga tipikal tertawanya yang lucu. Yang seringkali memancing saya ikut tertawa juga, meski kadang tak tahu betul sebab kelucuannya. Pokoknya saya tiba-tiba terpingkal-pingkal saja melihat dia tertawa.

Saya dan Nisa juga satu bidang di Acara In House Training. Kami di bidang Konsumsi. Nisa sebagai koor saya. Yang saya amati, selama berjalannya IHT nisa termasuk perempuan tahan banting. Dia mau menahan tidurnya ketika dini hari. Sekalipun kantong tebal menggelayuti matanya. Ia setidaknya masih berusaha bertanggungjawab akan tugasnya.

Dan masih banyak lagi kenangan kami. Saya benar-benar tidak menyangka keadaan akan menjadi seperti ini. Seolah saya harus dipaksa menerima semua itu sebagai kenangan saja. Tak ada nisa yang lucu. Tak ada nisa yang sering marah-marah dengan dialek Sipirog. Tak ada lagi yang menanyakan, “mas aku masih keliatan gendut nggak?”. Tak ada lagi muka cemberut setelah kami jawab “masih buanget..”

Tim pengkaderan sampai pada titik ini, sudah saya anggap keluarga saya. Bagaimana tidak, bahkan dalam waktu seminggu, rata-rata separuh waktunya kami gunakan bersama. Djakir, Ranu, Gandar, Irkham, Meila, Nisa dan saya hampir setiap hari bertemu. Entah itu menjalankan agenda, makan bersama, rapat, dan kegiatan lainnya. Sebagian besar agenda kami ada kaitanya dengan tugas kami sebagai pengkaderan.

Inilah yang saya sayangkan. Kami hampir tak pernah bermain bersama. Kalaupun bermain ke tempat tertentu itupun pasti karena agenda. Entah itu agenda pengkaderan maupun agenda organisasi. Tak pernah sekalipun kami melepas atribut kami sebagai anggota organisasi dan bermain bersama satu tim ini. Setidaknya ini yang saya rasakan.

Bidang kami memprasayaraktkan kedekatan emosional untuk tiap kerjanya . Kerja kami dituntut untuk saling bahu membahu antar anggota. Itu karena kami tim. Itu karena bidang pengkaderan bukan bidang individu. Di bidang ini ada beberapa kepala yang nantinya harus bekerja bersama. Maka syarat mutlaknya adalah kedekatan masing-masing individu kepada individu lain. Pengurus terdahulu berkata demikian pada saya ketika masih baru di pengakderan.

Saya bertanya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Seperti petir menyambar di siang bolong. Salah satu anggota keluarga kami melepaskan hubungannya dengan kami. Saya coba menilik sebab.
Dari proses pengunduran dirinya, terpapar beberapa alasan dia keluar. Pertama, Nisa sudah tidak nyaman lagi di bidang ini. Ia merasa keberatan dengan ritme kerja kami yang memang luar biasa ekstra. Keluarbiasaan yang saya maksud sudah saya jelaskan diatas tadi. Ia merasa tidak lagi cocok menjadikan keadilan sebagai tempat belajar.

Dari alasan pertama, saya menyimpulkan bahwa dasar organisasi Nisa dalam berorganisasi belum kuat. Ia masih terombang-ambing di tengah lautan sebab jangkarnya belum ia jatuh ke dasar laut. Seharusnya, seorang anggota organisasi paham secara radikal akan esensi dia berorganisasi. Itu dapat diketahui ketika ia paham esensi dari kenapa organisasi itu masih eksis dan tetap harus eksis. Maka ketika saya pertama kali mendengar isu ini, saya berpikiran: Nisa melakukan pengabaian organisasi!
Akan tetapi setelah ditinjau lebih dalam ternyata pikiran saya tak tepat. Sebab dengan pertimbangan berikut.

Menurut saya, alasan pertama terjadi karena posisi nisa yang masih sebagai pengurus tahun pertama. Untuk pemahaman terkait keorganisasian belum sepenuhnya ia dapat. Nisa belum mengikuti Musyawarah Anggota organisasi kami. Musyawarah anggota ini merupakan forum tertinggi di organisasi yang tujuannya menentukan arah organisasi kedepan sekaligus pemahaman mengenai dasar-dasar organisasi kepada seluruh pengurus. Disini pengurus biasanya akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang umumnya muncul di kepala anggota baru: Mengapa saya harus disini? Mengapa saya harus bekerja seperti ini? Apakah tujuan organisasi ini? Dan pertanyaan sejenisnya.

Maka saya berpendapat bahwa alasan pertama masih pada taraf kewajaran. Lalu untuk mengantisipasi kemungkinan buruk seperti apa? Ini yang saya sebutkan tadi saya sayangkan. Seharusnya, dalam masa pembelajaran pengurus tahun pertama seperti ini untuk sektor informal lebih digenjot. Pendekatan emosinal lebih ditekankan. Pendekatan emosional harus bisa tercapai dalam waktu satu periode terhitung sejak diangkat. Khusus nisa sebenarnya sudah mulai dicicil sejak kader.

Pendekatan emosional, selama pengamatan saya, tidak bisa semua anggota baru disamakan. Metode ini harus memperhatikan media perekat masing-masing individu. Media perekat yang saya maksud adalah kesenangan atau hobi. Hobi tiap orang berbeda-beda. Kita dapat merangkul individu melalui hobi mereka.

Sebagaimana mahasiswi kekinian, nisa memiliki hobi jalan-jalan dan jajan-jajan. Terus terang saya pun suka. Dan mungkin hampir keseluruhan dari kami juga suka. Namun seperti mencari jarum di tumpukan jerami, kami sangat kesulitan menemukan waktu untuk bermain. Jam terbang pengkaderan yang padat membuat kami hampir tak mungkin memiliki waktu untuk libur. Memang harus diakui, kami ini manusia kurang piknik.

Belum lagi ketika berbenturan dengan sikap organisasi. Saya pernah suatu kali mengusulkan jalan-jalan bersama anak pengkaderan. Kami, pengkaderan, saat itu dalam kondisi jenuh. Saya merasakan sendiri. Agenda kami seperti gerbong kereta semen di teteg sepur, tak habis-habisnya. Akhirnya saya usulkan saja jalan-jalan ke nglanggeran. Tujuannya untuk meredam kepenatan kami agar tak meledak nantinya.

Kami mencari waktu yang paling aman. Maksudnya tidak mengganggu agenda kami, kaderisasi. Rencana naik kamis dini hari. Kami hendak menikmati sunrise bersama di puncak nglanggeran. Sekali lagi dengan harapan, meredam kepenatan yang ada di kepala masing-masing.

Namun ketika hal tersebut kami komunikasikan dengan organisasi, terpaksa kami harus mengurungkan niat kami. Pertimbangan yang sudah kami sampaikan mentah begitu saja dengan satu alasan: etika organisasi. Kami lalu mengalah. Kami tak mau menambah beban kepenatan kami saat itu.

Dan kini hal yang kami khawatirkan sejak saat itu mencuat kepermukaan. Nisa keluar. Nisa merasa tidak nyaman dengan keadilan. Nisa merasa tidak nyaman dengan pengkaderan.
Alasan pertama mestinya masih bisa disikapi dengan pendekatan seperti yang saya paparkan diatas. Dengan catatan, untuk tahun pertama di keadilan. Baru ketika sudah menginjak tahun kedua, alasan seperti itu sudah tidak bisa lagi ditolerir. Jika hal demikian terjadi, berarti seseorang itu melakukan pengabaian organisasi. Bahasa yang biasa digunakan, menyepelekan organisasi.

Alasan kedua Nisa mundur dari keadilan adalah alasan klise. Keluarganya tidak senang nisa ikut beroganisasi. Menurut saya alasan kedua ini ada kaitannya dengan alasan pertama. Ada hubungan kausalitas antara kedua alasan ini.

Keluarga siapapun pasti menghendaki yang terbaik bagi putra-putrinya. Pasti menghendaki anaknya sehat walafiat. Berharapa anaknya maju dan berkembang. Dengan kenyataan seperti ini, melihat keadilan sebagai tempat menjadi anggota (anak) itu maju dan berkembang, orang tua pastinya akan mendukung. Kecuali orang tua yang otoriter. Yang memaksakan kehendak anaknya sesuka dia. Yang tak jauh bedanya dengan para despot bengis nan kejam.

Begitu juga dengan nisa, apabila nisa memahami dan meyakini keadilan ini menjadi tempat paling yang nyaman untuk dia maju, berkembang serta bermanfaat untuk sekitar, saya yakin orang tuanya juga pasti setuju. Ini masalah meyakinkan dan menjaga amanah. Akan tetapi, sebab nisa tidak merasa nyaman, tidak merasa tempat ini tepat untuk dia berkembang dan bermanfaat maka bisa dipastikan orang tua nisa tidak yakin akan segala yang anaknya lakukan di organisasi ini.

Saya kira ini menjadi catatan bagi kami. Sebagai keluarga maupun sebagai organisasi. Sebagai keluarga hubungan emosional kepada sesame anggota terutama pengurus baru, untuk lebih ditingkatkan intensitasnya. Yang kedua sebagai organisasi, ada penyakit yang menggeregoti organisasi bahkan dari rahimnya sendiri. Harapannya hal demikian menjadi perhatian untuk segera dibenahi.

Akhirnya saya hanya bisa menyesal. Sebab saya tidak sempat bermain dengan Nisa. Saya kecewa. Sebab  kami tidak sempat mencoba merangkul dia lebih dalam. Saya marah terhadap diri saya sendiri karena kegagalan saya atas ketidakmampuan saya mengetuk hatinya. Kami menyesal tak sempat naik gunung bersama nisa dan anak-anak yang kebetulan mendapat tugas di pengakderan. Kami menyesal tak sempat mengenal nisa di luar kami sebagai pengkaderan. 

Semoga tak ada Nisa-nisa lain.


Rejowinangun, 13 November 2014

*Tulisan ini untuk Nisa yang sempat menjadi bagian dari keluarga kami.

*Doc. Google
Semuanya seperti badai desember. Datang beruntun tak henti-hentinya. Tanpa member jeda untuk menyadari keberadaanku. Tanpa sempat aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang datang setelahnya. Mengenai kerepotan dan protes dari apa yang mengikatku saat ini.

Mereka begitu saja datang. Menghujam, memberondong tanpa ampun. Aku sedang tidak siap. Aku yang sedang tak membawa sandal. Atau bahkan mantel yang biasa ku simpan dibawah jok motor tak sempat ku bawa. Atau payung yang biasa menyempil di sisi tasku. Tak ada pertanda, tak ada mendung. Apalagi sambaran petir.

Aku kepalang basah. Sekonyong-konyong baru menyadari bahwa baju yang aku kenakan basah. Celana kesukaanku yang baru ku cuci kemarin, harus masuk mesin cuci lagi nanti sore. Sepatuku satu-satunya, yang adalah pemberian adiku, tak bisa kukenakan lagi besok. Semua terlanjur. Selalu saja seperti ini. Sesal seperti dendam, ia selalu datang terlambat.

Tapi keterlambatan itu tak melulu buruk. Pikirku saat ini. Merengek tiga hari tiga malam ku kira tak ada guna. Sekalipun aku bisa. Mengumpat pada foto presiden baru juga hanya menegaskan kebodohanku. Ia tak mengubah apa-apa selain menambah sesak gudang penyesalan.

Keterlambatan itu, memaksaku mencari alasan. Seperti manusia pada umumnya, ketika terdesak mereka akan berkompromi. Dimulai dari dirinya sendiri. Mereka berkompromi dengan batasan-batasan yang ditetapkan sebelumnya. Bahkan oleh dirinya sendiri. Lalu keluar dunianya. Masuk ke lingkaran sekitarnya. Teman-teman, orang-orang yang ditemuinya, bahkan keluarganya. Sampai gugatan pembuat batasan paling dasar, Tuhannya.

Aku seperti itu. Aku seperti manusia-manusia biasanya. Ketika jalan keluar sudah tak dapat lagi kutemukan, aku menyerah. Aku biasanya akan bilang, “persetan harga diri, persetan martabat. Toh aku ini juga bukan milikku sendiri.” Sambil tersenyum sedih.

Lalu dengan mudah setelah masa itu kulalui. Segalanya jadi mudah. Aku melakukan sesukaku. Tak lagi terbatas batasan yang tadinya kuikat sekencang mungkin. Dengan simpul paling rumit. Yang hanya aku saja mengetahui bagaimana melepas simpul itu.

Pada akhirnya aku merasa seperti raja yang penuh kuasa. Seorang despotic. Atau seorang otoritarian. Aku membuat aturan aku melanggarnya. Lalu semua terlalu tak terkendali. Lalu aku merasa perlu membuat aturan lagi. Lalu aku melanggarnya lagi. Lalu tak terkendali lagi.

Bukankah hidup memang seperti ini? Kita seringkali menetapkan batasan-batasan yang kita sendiri melanggarnya? Maksudku, tak mungkin batasan itu berlaku selamanya. Sebab batasan itu berangkat dari kebutuhan dibatasi. Berangkat dari ketidakteraturan. Berangkat dari ketidakkuasaan kita untuk mengatur diri kita. Yang nantinya juga akan tidak teratur lagi. Sebab pada hakikatnya kita, manusia, memang tak bisa diatur bukan?

Apa ukuran batasan itu berhasil? Kepatuhan? Sapi-sapi yang tak keluar dari pagar? Atau elang-elang yang bercongkol bertahun-tahun dikandangnya? 

Orang bilang, kehilangan adalah sumber dari ketakutan. 
Sayangnya kita tidak bisa menolak kehilangan itu. Ia akan selalu ada. Sebagaimana pertanyaan mengapa ada keberadaan. Ia hanya akan menambah setumpuk persoalan. Dari persoalan-persoalan itu timbulah turunan. Begitu seterusnya. Sampai pertanyaan ini muncul kembali dan persoalan-persoalan itu menurun kembali.

Sayangnya lagi, kita ada tidak untuk menjawab persoalan. Tidak untuk menghapus tanda tanya yang entah mengapa bentuknya serupa arit. Yang entah mengapa aku berkeyakinan dengan arit sebagai jawaban atas pertanyaan itu sebagaimana aku yakin ketidak pastian jawaban itu sendiri. Lalu membayangkan ujung runcingnya, tajamnya igirnya menebas rumput-rumput yang bahkan tak sempat menyadari keberadaanya.

Seringkali ketakutan terlalu cepat menyergap pagiku. Bahkan sebelum aku menyadari ruanganku sangat panas. Sebelum aku menyesali hari-hariku belakangan. Ia mendahului sesal itu! Sehingga ketakutan-ketakutan setelahnya yang kucurigai bukan datang sendiri melainkan ia diundang. Oleh apapun yang kukira sangat pantas untuk dicurigai sebagai sesuatu yang malas, malang, dan sedikit terkutuk. Sebab ia pasti tertawa didepan orang yang tak punya mulut.

Kadang ia juga tak terduga. Seperti disaat kopiku belum mengendap. Ia masuk bersamaan dengan adukan terakhirku. Sambil mengangkang, ia menelusuri dinding-dinding gelas yang kesat. Lalu melayang berbaur dengan tumbukan biji kopi dan beberapa partikel kimia. Kemudian berdesakan mencari tempat seperti permainan tetris. Ia menyesuaikan dengan celah-celah yang ada. Atau jika tidak ia segera mendapati penolakan besar-besaran terhadap dirinya. Diikuti protes membakar ban dan tentu membuat macet kerumunan yang kemudian tak lama setelah itu memaki tanpa gairah. Meludah dengan sekuatnya. Berteriak sekenanya. Padahal api berkobar itu tau bahwa mereka hanya meludahi mereka sendiri. Mereka hanya memaki dirinya sendiri. Bahwa mereka terlena, tak sadar, ada yang cengengesan menyaksikan kenaifan akal mereka sembari terus menerus mencumbui pundi-pundi emas dari makian itu.

Tanpa sadar ia masuk ke tubuhku. Lewat kerongkongan, lewat mata, hidung, telinga bahkan terkadang pori-pori! Tak sampai sekedipan, ia mendarat di lambung.

Dalam kondisi seperti ini aku akan melihat jam. Berharap ia akan segera keluar. Berharap detak detik jam segera mengusirnya dari lambungku. Berharap pedih ini segera berlalu. Sehingga hariku akan datang seperti biasa. Namun diluar dugaan, bukan kepalang, kenyataan mengentakku. Ia kini berdiri dikoalisi ketakutan!

Semenjak aku tahu angka-angka itu ikut berjajar di barisannya, aku menyesal. Penyesalanku memakan waktu cukup lama. Bahkan sampai aku tak mau diam. Sampai aku terus menerus tersenyum menyapa kerumunan orang-orang yang tiap kali jumpa denganku. Hingga mulutku berbusa-busa menyerocos. Apa saja kepada siapa saja.

Dan semuanya berhenti ketika aku memahfumi pengkhianatan sebagai hal yang manusiawi.
Awal kenal dengannya, aku begitu mempercayainya. Aku begitu yakin. Sebab kakekku lah yang mengenalkanku dengannya. Disebuah pesta bulan purnama, ia datang dengan percaya diri. Rapi, wangi, dan luwes. Siapapun yang berjumpa dengannya, selalu memberikan salam. Sebagian sembari menepukan pundak. Khusus untuk pejabat-pejabat desa, perbincangan akan selalu mengarah ke perjodohan anak mereka atau mungkin sanak mereka.

Lalu kami bertegur sapa. Memperkenalkan diri satu sama lain diselipkan diantaranya puji-memuji. Kami bertukar pengalaman. Hingga akhirnya kami tahu memiliki hobi yang sama, Naik gunung. Dan dari situlah muncul petualangan-petualangan kami. Jalur silih berganti, namun kami tetap menginjakan kaki beriringan.

Bagaimana aku tidak mempercayainya?

Moment-moment indah yang dulu selalu kurawat kini jadi hantu. Meneror tiap lubang ingatan. Meninggalkan sebentuk luka dan terus menerus memperbaharui kengiluan seperti pertama kali. Semacam kisah-kisah hukuman epidemi. Kengerian yang hanya bisa dibiarkan. Bentuk ketakutan paling ekstrim pada sejarah peradaban manusia. Ia datang tanpa mempersilahkan manusia berkuda-kuda terlebih dahulu.

Wabah hitam di eropa zaman pertengahan? Ia satu dari sekian banyak penggambaran ketakutan komunal. Ia tak lagi menjadi ketakutan perindividu yang barangkali ia mampu sembunyi dalam wajah sosialita. Namun ia telah diamini. Sebagai fenomena yang setiap orang akan mendapatkan gilirannya. Yang sudah tak mampu lagi bersembunyi darinya. Yang tak bisa apa lagi, berharap sekalipun. Yang barangkali tinggal menunggu kematian menjemput.

Epidemi dapat menjadi guru yang baik. Guru yang baik tak harus bersikap baik terhadap muridnya, kadang ia mesti berlaku tak pandang bulu untuk menghukum kesalahan. Sedikit kejam, memang. Tapi itulah yang terjadi. Barang tentu para Machievelis menganggap apa yang diucapkan gurunya memang kejam. Tapi bahwa wabah, epidemic itu adalah mekanisme alam untuk menyembuhkan sakitnya sendiri itu bisa jadi hal yang benar. Sebab alam, sebagai entitas jamak, memiliki hokum-hukum yang tak mampu ditentang, hal-hal yang kodrati.

Bahwa ada beberapa hal dari wabah dan ketakutan yang kuanggap sama. Yakni, ketakutan itu sendiri dan persebarannya. Ketakutan yang mendapat tempat akan memberhangus akal sehat. Kealpaan akan hadirnya akal sehat, rasionalitas itulah yang kemudian berbahaya. Terlebih dipadukan dengan kecenderungan ketakutan itu sendiri, bahwa ia senantiasa menggaet pasukan. Kealpaan akan akal sehat dan kekuatan, senyawa yang kemudian disebut keberingasan.

Pelaku-pelaku keberingasan itulah yang kemudian secara praksis menyebarkan ketakutan. Dan ketakutan itu hanya akan menyuburkan pola regenerasi penyebaran ketakutan. Bahkan ketakutan itu kini menjadi hal yang mahfum dan dianggap sebagai kebalikannya, yakni keberanian.

Pandangan umum bahwa banyak orang yang takut kemudian menyuburkan pemahaman bahwa ketakutan adalah suatu hal yang diikuti dan diakui kelazimannya. Bahkan pada suatu titik, ia akan menjadi kebenaran. Pada saat ini lah, kemudian akan muncul akibatnya yakni anggapan bahwa apabila seseorang tak mengikuti tren ketakutan ia akan dianggap penakut. Dengan anggapan ini, ketakutan dan keberanian mulai saat itu bertukar tempat.


Lalu kita tak akan berguna lagi menjadi penakut atau pemberani. Sebab kewarasan sudah musnah.


Rejowinangun, 5 Oktober 2014
Senja selalu memiliki arti. Pada jiwa yang sepi sekalipun. Ia begitu megah. Tanpa kesan pongah. Sebab apa yang terlukis ialah cerminan tangan ulet dibelakang canvas itu.

Bagi penyingkap kesan, merangkai titik-titik menjadi suatu pola adalah kerja luhur. Ia harus senantiasa dilalui. Hingga lukisan tersebut dapat dipahami, tidak saja dari apa yang terlukis namun juga bagaimana ia terlukis. Bagaimana gemulainya kuas-kuas itu menari. Beserta warna-warna yang bercumbu mesra.

Aku tanyakan padamu, apa warna senja? Aku akan menebakmu.

Aku tanyakan padamu, apa warna senja? Aku masih mencoba menebakmu.

Aku tanyakan padamu, apa warna senja? Aku tetap akan mencoba menebakmu.

Aku tanyakan padamu, apa warna senja? Menebakmu, menebakmu, menebakmu. Selama aku masih sanggup menebak. Selama anak panah belum bertemu bidik. Sebab senja, sekali lagi, memiliki arti pada huma tiap-tiap nurani.

Aku berkata senja itu sebuah warna. Kau bilang senja itu jamak. Aku berkata senja itu tentang warna. Kau bilang senja itu soal rasa. Aku berkata senja itu bahagia. Kau bilang senja itu rapalan cinta. Aku berkata senja itu namamu. Dan kau bilang, “aku harus pulang”.
                                                                                                            

Rejowinangun, 7 Maret 2014






Pernahkah saudara bermain prasangka? Penulis yakin pernah. Bahkan sering bukan? Bermain prasangka memang mengasyikkan sekaligus berbahaya. Ia tidak saja membuat kita serasa menjadi hakim yang berwenang memutus perkara. Memutuskan tiap peristiwa yang terekam indera. Akan tetapi juga membuat diri kita sebagai seorang tak terpelajar. Sesuka hati bersikap tanpa kira. Tak jauh beda dengan bramocorah.

Prasangka. Pra dan sangka. Pra ialah sebelum. Sangka ialah duga. Bahasa hukum mengenal sangkaan sebagai suatu proses wajib dalam acara persidangan. Sangkaan, dalam arti sempit, mengarah pada pengertian suatu kondisi dimana seseorang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku pidana.  Sehingga sampai pada penyebutan subjek dari sangkaan adalah tersangka. Barang tentu kata ini sudah lazim didengar saudara.

Sangkaan merupakan tindakan wajar manusia sebagai respon atas apa yang inderanya rekam. Ia membentuk asumsi dasar, bagi manusia, bagaimana seharusnya bereaksi atas suatu kondisi. Sususunan asumsi itu di dunia ide, akan membentuk hipotesa. Hipotesa itu ditindak lanjuti oleh syaraf-syaraf motorik kita yang nantinya berbentuk gerak.

Sophie, gadis 17 tahun, suatu hari mendapati buku tergeletak di kamarnya. Ia begitu gembira setelah mengetahui buku tersebut merupakan kiriman dari ayahnya. Sebagai kado atas ulang tahunnya yang ke-17 tentu itu merupakan suatu hal yang spesial. Bagaimana tidak? Ayahnya seorang militer yang dikirim ke lebanon dengan maksud menjalankan misi PBB. Situasi lebanon saat itu menghendaki PBB harus mengambil sikap untuk menjaga perdamaian di wilayah tersebut.

Sophie mulai asik membaca. Sementara dia belum mengetahui siapa penulis buku tersebut. Isi dari buku tersebut seperti dongeng namun begitu nyata. Sampai sophie harus hanyut ditelan cerita. Dongeng semi filsafat ia selami dalam-dalam. Seringkali ia tak sadar tertidur larut dalam palung cerita buku. 

Sampai pada suatu hari ia merasa “dipermainkan” isi buku tersebut, dan akhirnya mengetahui siapa gerangan pengarang buku. Bukan lain ialah ayahnya sendiri.

Hadiah ulang tahun dari ayahnyalah yang membuat Sophie begitu bertekad memahami betul isi buku itu. Dari ayahnya. Begitu kuat pengaruh “dari ayahnya” kepada sophie 17 tahun, sehingga ia seperti membaca buku favorit kesukaannya. Siang-malam.

Kiranya secuplik kisah dari buku Jostein Gardner “Dunia Sophie” tadi menjadi contoh bagaimana pengaruh sangkaan terhadap perilaku suatu manusia. Lalu bagaimana dengan kita? Untuk penulis, harus terus terang, seringkali menggunakan kaidah “siapa berkata apa”. Buku, film, tempat makan, relasi atau hal lainya penulis pilih atas pengaruh besar dari “siapa”: tokoh masyarakat, tokoh idola, penulis terkemuka dan jenis-jenis manusia dengan sandangan nama besar. Ibarat lihat siapa yang bicara baru cari tahu apa yang dikatakan.

Lalu saudara? Hal-hal kecil nan sama bentuk cukup banyak untuk kita ambil contoh. Salah satunya, dalam persahabatan sering kali kita berbagi tentang tetek-bengek. Mulai dari pacaran hingga polemik finansial. Tak jarang kemudian kita bertanya bagaiamana pendapatnya tentang suatu hal. Jawaban dari sahabat kita akan lebih kita dengar daripada jawaban kawan baru yang baru kita kenal tadi pagi.

Banyak keadaan di sekitar yang membuat kita harus berlaku serupa. Sulit untuk mengelak dari perilaku demikian. Namun, kita disini belum bicara perihal apakah dugaan itu boleh atau tidak. Kita masih berbicara soal apa saja bentuk dugaan-sangkaan seperti yang kita gelontorkan diatas. Setelah kita identifikasi bentuknya, secara nalar seharusnya dapat kita pindai bentuk-bentuk modifikasi dari hal-hal itu.

Kita sepakati dahulu. Soal bentuk-bentuk dugaan-sangkaan terpapar diatas apakah dapat kita setujui atau tidak. Baru setelah persetujuan didapat kita menuju pertanyaan berikut: Apakah duga-sangka itu hal yang salah?

Hal yang tak mungkin dihindari manusia adalah bernafas. Ia sudah kodrati sebagai konsekuensi manusia membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidup organ-organ vitalnya. Begitu juga dengan berpikir. Chip dalam otak adalah pinjaman paling patut kita syukuri dari ke Agungan-Nya. Secara normal ia akan bekerja sebagaimana mestinya. Memilah, memilih, mengidentifikasi, menyimpulkan, termasuk juga menyangka dan menduga.

Sangkaan dan dugaan sudah sepaket dengan chip otak tersebut. Kita tak bisa berlaku apa selain menggunakannya dengan bijak. Sehingga daya gunanya nanti jadi lebih tinggi. Tak sia-sia benda itu dititipkan di dalam lingkar kepala masing-masing manusia.

Berpikir sudah menjadi kodrat manusia. Dugaan dan sangkaan pun begitu. Untuk menggunakan software itu juga harus dengan benar dan tepat. Agar virus-virus liar tak merasuki sistem kerja software tersebut.

Dugaan dan sangkaan seperti penjelasan diatas tadi ialah respon atas apa yang kita lihat, dengar dan rasa. Dari kegiatan inderawi kita itu, kita secara alamiah lalu memproses informasi kiriman dari simpul-simpul syaraf indera itu ke otak. Otak mengolah. Apa yang harus dilakukan, apa yang harus dikerjakan serta bagaimana melaksanakan putusan tersebut.

Sangkaan tetaplah sangkaan. Ia masih sebatas informasi awal atas apa yang seharusnya dilakukan nanti. Tak perlu kita terburu-buru menyimpulkan. Sebab, alat penangkap informasi yang kita miliki tak sebanding dengan luas lautan informasi yang ada. Perlu cek dan ricek lalu nantinya kita ambil putusan terakhir, final.

Kegiatan sangka-menyangka, duga-menduga akan selalu ada. Selama otak kita masih normal bekerja. Akan tetapi kita lah yang menggunakannya. Kitalah yang menentukan apakah penggunaanya akan bijak atau tidak, benar atau tidak. Apakah kita ini termasuk smart user atau tidak. Apakah kita ini orang yang bertanggungjawab atau ledha-ledhe, atau bukan kedua-duanya.


Teruntuk adikku yang manis.

Duduklah. Sementara ini tinggalkan mainanmu. Untuk kali sekarang baiknya kau dengarkan sedikit dari yang kakakmu ingin bicarakan. Ini perlu. Seperlu kau memperlakukan mainan tersayangmu agar tetap menjadi barang terbaik. Selalu bersih. Tak boleh ada lecet sedikitpun di permukaannya. Supaya kau dapati mainanmu selalu enak di pandang. Supaya selalu kau banggakan.

Sudah kau duduk? Ayolah, sebentar saja. Kali ini tidak akan banyak menyita kemesraanmu dengan mainan kesayangan milikmu. Kemarin aku sudah berjanji padanya, tidak akan bicara lama-lama padamu. Tidak akan mengganggu waktumu dengannya. Ia menggangguk. Pertanda persetujuan darinya. Bagaimana denganmu? Tentu kau sependapat dengannya bukan?

Aku akan langsung memulainya saja. Awalnya aku akan bercerita. Kau suka cerita bukan? Tidak? Iya? Oh, baiklah kalau begitu. Aku tak jadi bercerita. Melainkan dongeng. Pasti kau senang mendengarkan dongeng.

Syahdan,di suatu negri pada suatu ketika hiduplah seekor anak kuda. Ia hidup bersama ayah dan bundanya. Ia adalah anak satu-satunya dari kedua orang tuanya. Ya, betul sekali adikku termanis. Ia belum mempunyai adik.

Ia tinggal di sebuah rumah sederhana bagi sebuah keluarga kuda.
Ia bersama keluarga hewan lainnya hidup dalam sebuah negeri hewan yang amat luas. Wilayahnya berpulau-pulau. Terdiri dari beribu selat, semenanjung dan teluk. Gunung-gunung pun berderet akur sepanjang wilayah. Mata air dapat dijumpai, semudah perjumpaanmu dengan mainan barumu. Air sungai nan bening bak permenpun senantiasa terus menerus mengaliri alirannya. Kerajaan ini memang teramat istimewa. Tiada yang kurang dalam hal keindahan dan kekayaan alamnya. Sempurna. Hampir sebanding dengan surga. Hingga pembijak negeri ini pernah berkata, “mungkin Tuhan sedang bahagia ketika mencipta tempat ini”.

Bisa kau bayangkan tempat itu, dik? Apabila sulit, coba bayangkan ketika kau sedang berada di taman mainan yang luas dan segala bentuk mainan kesukaanmu tersedia disana. Kau boleh ambil apa saja disana. Kau boleh memainkannya sekehendak hatimu. Sesukamu. Apapun itu. Bukankah menyenangkan hidup di taman semenyenangkan itu?

Nah, Ia juga senang bermain. Seperti kau, dik. Ia juga memiliki mainan yang paling disukainya. Hanya mungkin berbeda bentuk mainannya denganmu. Kalau mainan kesayanganmu berbentuk mobil, robot dan barang-barang canggih lainnya. Ia, si anak kuda, senang dengan tempat-tempat yang luas untuk menjadi tempat berlarinya. Ia gemar bermain kejar-kejaran bersama kawan-kawannya. Si anak kuda memang senang berlari sebagaimana nenek moyangnya dulu yang gagah menjelajahi benua.

Hari berjalan dengan perlahan, namun pasti di negeri itu. Semua hal yang menyenangkan seperti tak enggan-enggannya berhenti berkembang. Tunas melati telah tumbuh menjadi seperdu melati dewasa nan anggun. Membuat seluruh seisi negeri senantiasa bersyukur akan keagungan-Nya. Burung-burung parkit semakin hari semakin lincah kicaunya. Pula dengan katak-katak yang tinggal di balik pegunungan selatan negeri itu, saut menyaut bernyanyi, selalu mengirim kabar gembira seolah-olah harapan akan segala makhluk negeri ini akan senantiasa tersambut oleh mentari esok.

Termasuk si anak kuda. Ia mulai menginjak masa peralihan. Suatu masa yang mengharuskan si anak kuda tersebut harus memilih. Ingin menjadi apakah ia? Apakah ingin menjadi kuda pelari –yang karenanya kecepatan si kuda itu tersohor seantero negeri- nan selalu berlari menghindari terik surya, Lantas ia mendapati tempat berteduh yang sejuk namun sementara, Ataukah ia memilih menjadi seorang kuda yang manusia sebut itu: kuda liar. Yang berlari memang karena ia harus berlari. Yang bertarung memang karena sesuatu hal memang layak dan harus diperjuangkan. Menjadi kuda yang sebagaimana mestinya. Menjadi kuda yang tidak saja benar tapi juga baik.

Hei.. kenapa kau gerak-gerakan kakimu kesana kemari dik? Kau nampak gelisah, kau ingin bertanyakah? Oh.. Tunggu Sebentar.. akan aku jelaskan soal itu. Benar dan juga baik? Apa arti keduanya? Mengapa harus meliputi keduanya? Bukan begitu pertanyaanmu sekaligus kegelisahanmu, dik?

Ini agak rumit namun aku yakin hal ini masih bisa kamu tangkap. Kau adikku yang pandai. Untuk itu bersabarlah dan dengarkan penjelasan tentang hal ini.

Aku hendak mulai dengan mengambil contoh. Dik, adikku yang manis, ketika kau meminjam mainan salah satu kawanmu dan belum puas kau bermain dengan mainan itu ia minta kembali dan langsung merebutnya apa yang kau rasakan? Tentu kau akan kecewa, jengkel, sedih, tidak senang. Tapi apakah yang kemudian kamu lakukan?

Siapapun ketika barang yang ia sukai diambil pasti ia akan kecewa. Termasuk aku. Ketika seseorang mengambil suatu hal yang menjadi kesukaanku aku akan merasakan apa yang kau rasakan, dik. Apabila hal tersebut adalah milikku tentu aku boleh memintanya kembali. Dengan cara yang baik dan terhormat. Namun, tatkala seluruh jalan tersebut sudah ditempuh namun tetap tidak dapat membuatnya mengembalikan suatu hal itu, aku akan mengalah, biarkan ia mengambil barang itu. Karena kata Kyai, sesungguhnya segala hal didunia ini adalah titipan-Nya.

Amat berbeda tentu, apabila hal tersebut adalah bukan milikku. Aku tidak pantas memintanya kembali. Karena hal tersebut bukan milikku. Bukan kepunyaanku. Sampai dititik ini, kata benar tadi sudah jelas. Yaitu tentang boleh atau tidaknya kita mengambil suatu hal yang milik atau bukan milik kita.
Lagipula mengalah juga bukan berarti kalah, dik. Mengkalahkan diri sendiri demi kebaikan bersama lebih mulia daripada menang akan tetapi nilai yang lebih tinggi dari itu: kebersamaan, pertemanan, persaudaran kemudian hilang. Maka dari itu, mulia itu salah satu keindahan. Dan sesuatu yang indah selalu akan kita nilai baik.

Saat kawanmu meminta mainan kesukaanmu itu kembali, ia melakukan hal yang benar. Barang itu adalah miliknya. Ia boleh saja memintanya kembali. Ia benar melakukan itu. 
Akan tetapi, cara yang ia lakukan yaitu dengan merebut itulah yang tidak tepat. Ketidak tepatan disini karena ia tidak memintanya dengan baik-baik, mengetahui apa pendapatmu, dan bagaimana pendapatmu. Sehingga yang ia lakukan membuatmu kecewa. Dan kekecewaanmu dapat membuat persahabatn kalian menjadi tidak erat lagi. Ia tanpa sadar tidak menjaga keindahan persahabatan kalian. Ia tidak mengambil mainannya dengan baik walaupun apa yang dilakukannya benar. Mudah bukan memahaminya?

Namun, kau sudah tentu akan mengembalikan mainannya walau sebesar apapun kekecewaanmu. Juga, setelah penjelasan tadi, aku juga amat yakin, bahwa kelak kau tidak akan memutus persahabatan lagi dengan kawanmu apabila ia melakukan hal yang sama kita bayangkan tadi. Karena itu dik, kaulah adikku yang manis.

***

Rumput-rumput mengering. Kicauan parkit tak riang lagi. Perdu-perdu tertunduk lesu. Seakan serangkaian kejadian pertumbuhan negeri  ini – dan termasuk si anak kuda itu, tidak mendapat restu sang surya. Perubahan terjadi  secepat kuda-kuda pelari yang dikejar terik surya. Bahkan semakin hari semakin mendekati lesatan terik surya yang mengejar si kuda-kuda pelari –selalu terkejar.

Katak tak berkabar gembira lagi. Pertanda tidak wajar bagi seluruh negeri. Lekas seluruh penduduk bertanya-tanya apakah gerangan yang menyebabkan. Sas-sus  menyebar luas. Seluruh yang resah menerka bebas. Dari kemungkinan terkecil hingga kemungkinan terburuk bermunculan. Berduyun-duyun pemuka negeri mencoba membuka kitab ramalan nenek moyang. Apakah ada suatu hal yang membuat Semesta murka?

*Si adik tertidur pulas*


-Bersambung