Pernahkah
saudara bermain prasangka? Penulis yakin pernah. Bahkan sering bukan? Bermain
prasangka memang mengasyikkan sekaligus berbahaya. Ia tidak saja membuat kita
serasa menjadi hakim yang berwenang memutus perkara. Memutuskan tiap peristiwa
yang terekam indera. Akan tetapi juga membuat diri kita sebagai seorang tak
terpelajar. Sesuka hati bersikap tanpa kira. Tak jauh beda dengan bramocorah.
Prasangka. Pra
dan sangka. Pra ialah sebelum. Sangka ialah duga. Bahasa hukum mengenal
sangkaan sebagai suatu proses wajib dalam acara persidangan. Sangkaan, dalam
arti sempit, mengarah pada pengertian suatu kondisi dimana seseorang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku pidana. Sehingga sampai pada
penyebutan subjek dari sangkaan adalah tersangka. Barang tentu kata ini sudah
lazim didengar saudara.
Sangkaan
merupakan tindakan wajar manusia sebagai respon atas apa yang inderanya rekam.
Ia membentuk asumsi dasar, bagi manusia, bagaimana seharusnya bereaksi atas
suatu kondisi. Sususunan asumsi itu di dunia ide, akan membentuk hipotesa.
Hipotesa itu ditindak lanjuti oleh syaraf-syaraf motorik kita yang nantinya
berbentuk gerak.
Sophie, gadis
17 tahun, suatu hari mendapati buku tergeletak di kamarnya. Ia begitu gembira
setelah mengetahui buku tersebut merupakan kiriman dari ayahnya. Sebagai kado
atas ulang tahunnya yang ke-17 tentu itu merupakan suatu hal yang spesial.
Bagaimana tidak? Ayahnya seorang militer yang dikirim ke lebanon dengan maksud
menjalankan misi PBB. Situasi lebanon saat itu menghendaki PBB harus mengambil
sikap untuk menjaga perdamaian di wilayah tersebut.
Sophie mulai
asik membaca. Sementara dia belum mengetahui siapa penulis buku tersebut. Isi
dari buku tersebut seperti dongeng namun begitu nyata. Sampai sophie harus
hanyut ditelan cerita. Dongeng semi filsafat ia selami dalam-dalam. Seringkali
ia tak sadar tertidur larut dalam palung cerita buku.
Sampai pada suatu hari ia
merasa “dipermainkan” isi buku tersebut, dan akhirnya mengetahui siapa gerangan
pengarang buku. Bukan lain ialah ayahnya sendiri.
Hadiah ulang tahun dari ayahnyalah yang
membuat Sophie begitu bertekad memahami betul isi buku itu. Dari ayahnya.
Begitu kuat pengaruh “dari ayahnya” kepada sophie 17 tahun, sehingga ia seperti
membaca buku favorit kesukaannya. Siang-malam.
Kiranya secuplik
kisah dari buku Jostein Gardner “Dunia Sophie” tadi menjadi contoh bagaimana
pengaruh sangkaan terhadap perilaku suatu manusia. Lalu bagaimana dengan kita?
Untuk penulis, harus terus terang, seringkali menggunakan kaidah “siapa berkata
apa”. Buku, film, tempat makan, relasi atau hal lainya penulis pilih atas
pengaruh besar dari “siapa”: tokoh masyarakat, tokoh idola, penulis terkemuka
dan jenis-jenis manusia dengan sandangan nama besar. Ibarat lihat siapa yang
bicara baru cari tahu apa yang dikatakan.
Lalu saudara? Hal-hal
kecil nan sama bentuk cukup banyak untuk kita ambil contoh. Salah satunya, dalam
persahabatan sering kali kita berbagi tentang tetek-bengek. Mulai dari pacaran
hingga polemik finansial. Tak jarang kemudian kita bertanya bagaiamana pendapatnya
tentang suatu hal. Jawaban dari sahabat kita akan lebih kita dengar daripada
jawaban kawan baru yang baru kita kenal tadi pagi.
Banyak keadaan
di sekitar yang membuat kita harus berlaku serupa. Sulit untuk mengelak dari
perilaku demikian. Namun, kita disini belum bicara perihal apakah dugaan itu
boleh atau tidak. Kita masih berbicara soal apa saja bentuk dugaan-sangkaan
seperti yang kita gelontorkan diatas. Setelah kita identifikasi bentuknya,
secara nalar seharusnya dapat kita pindai bentuk-bentuk modifikasi dari hal-hal
itu.
Kita sepakati
dahulu. Soal bentuk-bentuk dugaan-sangkaan terpapar diatas apakah dapat kita
setujui atau tidak. Baru setelah persetujuan didapat kita menuju pertanyaan
berikut: Apakah duga-sangka itu hal yang salah?
Hal yang tak
mungkin dihindari manusia adalah bernafas. Ia sudah kodrati sebagai konsekuensi
manusia membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidup organ-organ vitalnya.
Begitu juga dengan berpikir. Chip dalam otak adalah pinjaman paling patut kita
syukuri dari ke Agungan-Nya. Secara normal ia akan bekerja sebagaimana
mestinya. Memilah, memilih, mengidentifikasi, menyimpulkan, termasuk juga
menyangka dan menduga.
Sangkaan dan
dugaan sudah sepaket dengan chip otak tersebut. Kita tak bisa berlaku apa
selain menggunakannya dengan bijak. Sehingga daya gunanya nanti jadi lebih
tinggi. Tak sia-sia benda itu dititipkan di dalam lingkar kepala masing-masing
manusia.
Berpikir sudah
menjadi kodrat manusia. Dugaan dan sangkaan pun begitu. Untuk menggunakan
software itu juga harus dengan benar dan tepat. Agar virus-virus liar tak
merasuki sistem kerja software tersebut.
Dugaan dan
sangkaan seperti penjelasan diatas tadi ialah respon atas apa yang kita lihat,
dengar dan rasa. Dari kegiatan inderawi kita itu, kita secara alamiah lalu
memproses informasi kiriman dari simpul-simpul syaraf indera itu ke otak. Otak
mengolah. Apa yang harus dilakukan, apa yang harus dikerjakan serta bagaimana
melaksanakan putusan tersebut.
Sangkaan
tetaplah sangkaan. Ia masih sebatas informasi awal atas apa yang seharusnya
dilakukan nanti. Tak perlu kita terburu-buru menyimpulkan. Sebab, alat
penangkap informasi yang kita miliki tak sebanding dengan luas lautan informasi
yang ada. Perlu cek dan ricek lalu nantinya kita ambil putusan terakhir, final.
Kegiatan sangka-menyangka,
duga-menduga akan selalu ada. Selama otak kita masih normal bekerja. Akan
tetapi kita lah yang menggunakannya. Kitalah yang menentukan apakah
penggunaanya akan bijak atau tidak, benar atau tidak. Apakah kita ini termasuk smart user atau tidak. Apakah kita ini
orang yang bertanggungjawab atau ledha-ledhe,
atau bukan kedua-duanya.
0 komentar:
Posting Komentar