Senja selalu
memiliki arti. Pada jiwa yang sepi sekalipun. Ia begitu megah. Tanpa kesan
pongah. Sebab apa yang terlukis ialah cerminan tangan ulet dibelakang canvas
itu.
Bagi penyingkap
kesan, merangkai titik-titik menjadi suatu pola adalah kerja luhur. Ia harus
senantiasa dilalui. Hingga lukisan tersebut dapat dipahami, tidak saja dari apa
yang terlukis namun juga bagaimana ia terlukis. Bagaimana gemulainya kuas-kuas
itu menari. Beserta warna-warna yang bercumbu mesra.
Aku tanyakan
padamu, apa warna senja? Aku akan menebakmu.
Aku tanyakan
padamu, apa warna senja? Aku masih mencoba menebakmu.
Aku tanyakan
padamu, apa warna senja? Aku tetap akan mencoba menebakmu.
Aku tanyakan
padamu, apa warna senja? Menebakmu, menebakmu, menebakmu. Selama aku masih sanggup
menebak. Selama anak panah belum bertemu bidik. Sebab senja, sekali lagi,
memiliki arti pada huma tiap-tiap nurani.
Aku berkata
senja itu sebuah warna. Kau bilang senja itu jamak. Aku berkata senja itu
tentang warna. Kau bilang senja itu soal rasa. Aku berkata senja itu bahagia.
Kau bilang senja itu rapalan cinta. Aku berkata senja itu namamu. Dan kau bilang,
“aku harus pulang”.
Rejowinangun,
7 Maret 2014
0 komentar:
Posting Komentar