Terlambat

, , No Comments
*Doc. Google
Semuanya seperti badai desember. Datang beruntun tak henti-hentinya. Tanpa member jeda untuk menyadari keberadaanku. Tanpa sempat aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang datang setelahnya. Mengenai kerepotan dan protes dari apa yang mengikatku saat ini.

Mereka begitu saja datang. Menghujam, memberondong tanpa ampun. Aku sedang tidak siap. Aku yang sedang tak membawa sandal. Atau bahkan mantel yang biasa ku simpan dibawah jok motor tak sempat ku bawa. Atau payung yang biasa menyempil di sisi tasku. Tak ada pertanda, tak ada mendung. Apalagi sambaran petir.

Aku kepalang basah. Sekonyong-konyong baru menyadari bahwa baju yang aku kenakan basah. Celana kesukaanku yang baru ku cuci kemarin, harus masuk mesin cuci lagi nanti sore. Sepatuku satu-satunya, yang adalah pemberian adiku, tak bisa kukenakan lagi besok. Semua terlanjur. Selalu saja seperti ini. Sesal seperti dendam, ia selalu datang terlambat.

Tapi keterlambatan itu tak melulu buruk. Pikirku saat ini. Merengek tiga hari tiga malam ku kira tak ada guna. Sekalipun aku bisa. Mengumpat pada foto presiden baru juga hanya menegaskan kebodohanku. Ia tak mengubah apa-apa selain menambah sesak gudang penyesalan.

Keterlambatan itu, memaksaku mencari alasan. Seperti manusia pada umumnya, ketika terdesak mereka akan berkompromi. Dimulai dari dirinya sendiri. Mereka berkompromi dengan batasan-batasan yang ditetapkan sebelumnya. Bahkan oleh dirinya sendiri. Lalu keluar dunianya. Masuk ke lingkaran sekitarnya. Teman-teman, orang-orang yang ditemuinya, bahkan keluarganya. Sampai gugatan pembuat batasan paling dasar, Tuhannya.

Aku seperti itu. Aku seperti manusia-manusia biasanya. Ketika jalan keluar sudah tak dapat lagi kutemukan, aku menyerah. Aku biasanya akan bilang, “persetan harga diri, persetan martabat. Toh aku ini juga bukan milikku sendiri.” Sambil tersenyum sedih.

Lalu dengan mudah setelah masa itu kulalui. Segalanya jadi mudah. Aku melakukan sesukaku. Tak lagi terbatas batasan yang tadinya kuikat sekencang mungkin. Dengan simpul paling rumit. Yang hanya aku saja mengetahui bagaimana melepas simpul itu.

Pada akhirnya aku merasa seperti raja yang penuh kuasa. Seorang despotic. Atau seorang otoritarian. Aku membuat aturan aku melanggarnya. Lalu semua terlalu tak terkendali. Lalu aku merasa perlu membuat aturan lagi. Lalu aku melanggarnya lagi. Lalu tak terkendali lagi.

Bukankah hidup memang seperti ini? Kita seringkali menetapkan batasan-batasan yang kita sendiri melanggarnya? Maksudku, tak mungkin batasan itu berlaku selamanya. Sebab batasan itu berangkat dari kebutuhan dibatasi. Berangkat dari ketidakteraturan. Berangkat dari ketidakkuasaan kita untuk mengatur diri kita. Yang nantinya juga akan tidak teratur lagi. Sebab pada hakikatnya kita, manusia, memang tak bisa diatur bukan?

Apa ukuran batasan itu berhasil? Kepatuhan? Sapi-sapi yang tak keluar dari pagar? Atau elang-elang yang bercongkol bertahun-tahun dikandangnya? 

0 komentar:

Posting Komentar