![]() |
*Doc. Google |
Mereka
begitu saja datang. Menghujam, memberondong tanpa ampun. Aku sedang tidak siap.
Aku yang sedang tak membawa sandal. Atau bahkan mantel yang biasa ku simpan
dibawah jok motor tak sempat ku bawa. Atau payung yang biasa menyempil di sisi
tasku. Tak ada pertanda, tak ada mendung. Apalagi sambaran petir.
Aku
kepalang basah. Sekonyong-konyong baru menyadari bahwa baju yang aku kenakan
basah. Celana kesukaanku yang baru ku cuci kemarin, harus masuk mesin cuci lagi
nanti sore. Sepatuku satu-satunya, yang adalah pemberian adiku, tak bisa
kukenakan lagi besok. Semua terlanjur. Selalu saja seperti ini. Sesal seperti
dendam, ia selalu datang terlambat.
Tapi keterlambatan itu tak melulu buruk.
Pikirku saat ini. Merengek tiga hari tiga malam ku kira tak ada guna. Sekalipun
aku bisa. Mengumpat pada foto presiden baru juga hanya menegaskan kebodohanku. Ia
tak mengubah apa-apa selain menambah sesak gudang penyesalan.
Keterlambatan
itu, memaksaku mencari alasan. Seperti manusia pada umumnya, ketika terdesak
mereka akan berkompromi. Dimulai dari dirinya sendiri. Mereka berkompromi
dengan batasan-batasan yang ditetapkan sebelumnya. Bahkan oleh dirinya sendiri.
Lalu keluar dunianya. Masuk ke lingkaran sekitarnya. Teman-teman, orang-orang
yang ditemuinya, bahkan keluarganya. Sampai gugatan pembuat batasan paling
dasar, Tuhannya.
Aku
seperti itu. Aku seperti manusia-manusia biasanya. Ketika jalan keluar sudah
tak dapat lagi kutemukan, aku menyerah. Aku biasanya akan bilang, “persetan
harga diri, persetan martabat. Toh aku ini juga bukan milikku sendiri.” Sambil
tersenyum sedih.
Lalu
dengan mudah setelah masa itu kulalui. Segalanya jadi mudah. Aku melakukan
sesukaku. Tak lagi terbatas batasan yang tadinya kuikat sekencang mungkin. Dengan
simpul paling rumit. Yang hanya aku saja mengetahui bagaimana melepas simpul
itu.
Pada
akhirnya aku merasa seperti raja yang penuh kuasa. Seorang despotic. Atau
seorang otoritarian. Aku membuat aturan aku melanggarnya. Lalu semua terlalu
tak terkendali. Lalu aku merasa perlu membuat aturan lagi. Lalu aku
melanggarnya lagi. Lalu tak terkendali lagi.
Bukankah hidup memang seperti ini? Kita
seringkali menetapkan batasan-batasan yang kita sendiri melanggarnya? Maksudku,
tak mungkin batasan itu berlaku selamanya. Sebab batasan itu berangkat dari
kebutuhan dibatasi. Berangkat dari ketidakteraturan. Berangkat dari
ketidakkuasaan kita untuk mengatur diri kita. Yang nantinya juga akan tidak
teratur lagi. Sebab pada hakikatnya kita, manusia, memang tak bisa diatur bukan?
Apa ukuran batasan itu berhasil? Kepatuhan? Sapi-sapi yang tak keluar dari pagar? Atau
elang-elang yang bercongkol bertahun-tahun dikandangnya?
0 komentar:
Posting Komentar