Dua hari yang lalu Nisa resmi mundur dari tim kami. Tim Pengkaderan. Salah satu bidang di Lembaga Pers Mahasiswa. Ibarat kawah candradimuka, bidang kami diharapkan mampu melahirkan gatotkaca-gatotkaca baru. Gatotkaca yang mentas dari candradimuka. Gatot kaca yang saktimandraguna. Gatot kaca seperti pendahulunya.

Rasa-rasanya baru kemarin saya berkenalan dengan anggota baru tim kami. Mereka adalah Irkham, Gandar, Meila, dan Nisa. Masih jelas dalam ingatan saya, raut antusias mereka tatkala rapat pertama. Saya ingat bagaimana kekakuan mereka pada rapat pertama kali. Saya ingat satu persatu menyebutkan alasan masing-masing mengapa mereka memilih bidang ini. Dan saya masih ingat alasan Nisa masuk bidang ini.

Saya juga masih merasakan euphoria rapat pengkaderan di Warung Senja lalu. Agendanya pembahasan evaluasi kader jilid 1. Juga mengenai evaluasi system kaderisasi yang kita jalankan. Yang terakhir pembahasan konsep kaderisasi kader jilid 2. Untuk diketahui pengkaderan saat ini memiliki dua kader. Kader 1 adalah sebutan kami untuk kader yang masuk tahun 2013. Sedangkan kader jilid 2 adalah sebutan kami untuk kader paling segar kami, tahun oprek 2014.

Saya rasanya masih bisa mengingat kata-kata nisa ketika rapat itu. Pendapatnya mengenai persoalan yang kami bahas. Dialek bataknya yang khas ketika disela-sela rapat menerima telpon keluarganya. Dan juga tipikal tertawanya yang lucu. Yang seringkali memancing saya ikut tertawa juga, meski kadang tak tahu betul sebab kelucuannya. Pokoknya saya tiba-tiba terpingkal-pingkal saja melihat dia tertawa.

Saya dan Nisa juga satu bidang di Acara In House Training. Kami di bidang Konsumsi. Nisa sebagai koor saya. Yang saya amati, selama berjalannya IHT nisa termasuk perempuan tahan banting. Dia mau menahan tidurnya ketika dini hari. Sekalipun kantong tebal menggelayuti matanya. Ia setidaknya masih berusaha bertanggungjawab akan tugasnya.

Dan masih banyak lagi kenangan kami. Saya benar-benar tidak menyangka keadaan akan menjadi seperti ini. Seolah saya harus dipaksa menerima semua itu sebagai kenangan saja. Tak ada nisa yang lucu. Tak ada nisa yang sering marah-marah dengan dialek Sipirog. Tak ada lagi yang menanyakan, “mas aku masih keliatan gendut nggak?”. Tak ada lagi muka cemberut setelah kami jawab “masih buanget..”

Tim pengkaderan sampai pada titik ini, sudah saya anggap keluarga saya. Bagaimana tidak, bahkan dalam waktu seminggu, rata-rata separuh waktunya kami gunakan bersama. Djakir, Ranu, Gandar, Irkham, Meila, Nisa dan saya hampir setiap hari bertemu. Entah itu menjalankan agenda, makan bersama, rapat, dan kegiatan lainnya. Sebagian besar agenda kami ada kaitanya dengan tugas kami sebagai pengkaderan.

Inilah yang saya sayangkan. Kami hampir tak pernah bermain bersama. Kalaupun bermain ke tempat tertentu itupun pasti karena agenda. Entah itu agenda pengkaderan maupun agenda organisasi. Tak pernah sekalipun kami melepas atribut kami sebagai anggota organisasi dan bermain bersama satu tim ini. Setidaknya ini yang saya rasakan.

Bidang kami memprasayaraktkan kedekatan emosional untuk tiap kerjanya . Kerja kami dituntut untuk saling bahu membahu antar anggota. Itu karena kami tim. Itu karena bidang pengkaderan bukan bidang individu. Di bidang ini ada beberapa kepala yang nantinya harus bekerja bersama. Maka syarat mutlaknya adalah kedekatan masing-masing individu kepada individu lain. Pengurus terdahulu berkata demikian pada saya ketika masih baru di pengakderan.

Saya bertanya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Seperti petir menyambar di siang bolong. Salah satu anggota keluarga kami melepaskan hubungannya dengan kami. Saya coba menilik sebab.
Dari proses pengunduran dirinya, terpapar beberapa alasan dia keluar. Pertama, Nisa sudah tidak nyaman lagi di bidang ini. Ia merasa keberatan dengan ritme kerja kami yang memang luar biasa ekstra. Keluarbiasaan yang saya maksud sudah saya jelaskan diatas tadi. Ia merasa tidak lagi cocok menjadikan keadilan sebagai tempat belajar.

Dari alasan pertama, saya menyimpulkan bahwa dasar organisasi Nisa dalam berorganisasi belum kuat. Ia masih terombang-ambing di tengah lautan sebab jangkarnya belum ia jatuh ke dasar laut. Seharusnya, seorang anggota organisasi paham secara radikal akan esensi dia berorganisasi. Itu dapat diketahui ketika ia paham esensi dari kenapa organisasi itu masih eksis dan tetap harus eksis. Maka ketika saya pertama kali mendengar isu ini, saya berpikiran: Nisa melakukan pengabaian organisasi!
Akan tetapi setelah ditinjau lebih dalam ternyata pikiran saya tak tepat. Sebab dengan pertimbangan berikut.

Menurut saya, alasan pertama terjadi karena posisi nisa yang masih sebagai pengurus tahun pertama. Untuk pemahaman terkait keorganisasian belum sepenuhnya ia dapat. Nisa belum mengikuti Musyawarah Anggota organisasi kami. Musyawarah anggota ini merupakan forum tertinggi di organisasi yang tujuannya menentukan arah organisasi kedepan sekaligus pemahaman mengenai dasar-dasar organisasi kepada seluruh pengurus. Disini pengurus biasanya akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang umumnya muncul di kepala anggota baru: Mengapa saya harus disini? Mengapa saya harus bekerja seperti ini? Apakah tujuan organisasi ini? Dan pertanyaan sejenisnya.

Maka saya berpendapat bahwa alasan pertama masih pada taraf kewajaran. Lalu untuk mengantisipasi kemungkinan buruk seperti apa? Ini yang saya sebutkan tadi saya sayangkan. Seharusnya, dalam masa pembelajaran pengurus tahun pertama seperti ini untuk sektor informal lebih digenjot. Pendekatan emosinal lebih ditekankan. Pendekatan emosional harus bisa tercapai dalam waktu satu periode terhitung sejak diangkat. Khusus nisa sebenarnya sudah mulai dicicil sejak kader.

Pendekatan emosional, selama pengamatan saya, tidak bisa semua anggota baru disamakan. Metode ini harus memperhatikan media perekat masing-masing individu. Media perekat yang saya maksud adalah kesenangan atau hobi. Hobi tiap orang berbeda-beda. Kita dapat merangkul individu melalui hobi mereka.

Sebagaimana mahasiswi kekinian, nisa memiliki hobi jalan-jalan dan jajan-jajan. Terus terang saya pun suka. Dan mungkin hampir keseluruhan dari kami juga suka. Namun seperti mencari jarum di tumpukan jerami, kami sangat kesulitan menemukan waktu untuk bermain. Jam terbang pengkaderan yang padat membuat kami hampir tak mungkin memiliki waktu untuk libur. Memang harus diakui, kami ini manusia kurang piknik.

Belum lagi ketika berbenturan dengan sikap organisasi. Saya pernah suatu kali mengusulkan jalan-jalan bersama anak pengkaderan. Kami, pengkaderan, saat itu dalam kondisi jenuh. Saya merasakan sendiri. Agenda kami seperti gerbong kereta semen di teteg sepur, tak habis-habisnya. Akhirnya saya usulkan saja jalan-jalan ke nglanggeran. Tujuannya untuk meredam kepenatan kami agar tak meledak nantinya.

Kami mencari waktu yang paling aman. Maksudnya tidak mengganggu agenda kami, kaderisasi. Rencana naik kamis dini hari. Kami hendak menikmati sunrise bersama di puncak nglanggeran. Sekali lagi dengan harapan, meredam kepenatan yang ada di kepala masing-masing.

Namun ketika hal tersebut kami komunikasikan dengan organisasi, terpaksa kami harus mengurungkan niat kami. Pertimbangan yang sudah kami sampaikan mentah begitu saja dengan satu alasan: etika organisasi. Kami lalu mengalah. Kami tak mau menambah beban kepenatan kami saat itu.

Dan kini hal yang kami khawatirkan sejak saat itu mencuat kepermukaan. Nisa keluar. Nisa merasa tidak nyaman dengan keadilan. Nisa merasa tidak nyaman dengan pengkaderan.
Alasan pertama mestinya masih bisa disikapi dengan pendekatan seperti yang saya paparkan diatas. Dengan catatan, untuk tahun pertama di keadilan. Baru ketika sudah menginjak tahun kedua, alasan seperti itu sudah tidak bisa lagi ditolerir. Jika hal demikian terjadi, berarti seseorang itu melakukan pengabaian organisasi. Bahasa yang biasa digunakan, menyepelekan organisasi.

Alasan kedua Nisa mundur dari keadilan adalah alasan klise. Keluarganya tidak senang nisa ikut beroganisasi. Menurut saya alasan kedua ini ada kaitannya dengan alasan pertama. Ada hubungan kausalitas antara kedua alasan ini.

Keluarga siapapun pasti menghendaki yang terbaik bagi putra-putrinya. Pasti menghendaki anaknya sehat walafiat. Berharapa anaknya maju dan berkembang. Dengan kenyataan seperti ini, melihat keadilan sebagai tempat menjadi anggota (anak) itu maju dan berkembang, orang tua pastinya akan mendukung. Kecuali orang tua yang otoriter. Yang memaksakan kehendak anaknya sesuka dia. Yang tak jauh bedanya dengan para despot bengis nan kejam.

Begitu juga dengan nisa, apabila nisa memahami dan meyakini keadilan ini menjadi tempat paling yang nyaman untuk dia maju, berkembang serta bermanfaat untuk sekitar, saya yakin orang tuanya juga pasti setuju. Ini masalah meyakinkan dan menjaga amanah. Akan tetapi, sebab nisa tidak merasa nyaman, tidak merasa tempat ini tepat untuk dia berkembang dan bermanfaat maka bisa dipastikan orang tua nisa tidak yakin akan segala yang anaknya lakukan di organisasi ini.

Saya kira ini menjadi catatan bagi kami. Sebagai keluarga maupun sebagai organisasi. Sebagai keluarga hubungan emosional kepada sesame anggota terutama pengurus baru, untuk lebih ditingkatkan intensitasnya. Yang kedua sebagai organisasi, ada penyakit yang menggeregoti organisasi bahkan dari rahimnya sendiri. Harapannya hal demikian menjadi perhatian untuk segera dibenahi.

Akhirnya saya hanya bisa menyesal. Sebab saya tidak sempat bermain dengan Nisa. Saya kecewa. Sebab  kami tidak sempat mencoba merangkul dia lebih dalam. Saya marah terhadap diri saya sendiri karena kegagalan saya atas ketidakmampuan saya mengetuk hatinya. Kami menyesal tak sempat naik gunung bersama nisa dan anak-anak yang kebetulan mendapat tugas di pengakderan. Kami menyesal tak sempat mengenal nisa di luar kami sebagai pengkaderan. 

Semoga tak ada Nisa-nisa lain.


Rejowinangun, 13 November 2014

*Tulisan ini untuk Nisa yang sempat menjadi bagian dari keluarga kami.

*Doc. Google
Semuanya seperti badai desember. Datang beruntun tak henti-hentinya. Tanpa member jeda untuk menyadari keberadaanku. Tanpa sempat aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang datang setelahnya. Mengenai kerepotan dan protes dari apa yang mengikatku saat ini.

Mereka begitu saja datang. Menghujam, memberondong tanpa ampun. Aku sedang tidak siap. Aku yang sedang tak membawa sandal. Atau bahkan mantel yang biasa ku simpan dibawah jok motor tak sempat ku bawa. Atau payung yang biasa menyempil di sisi tasku. Tak ada pertanda, tak ada mendung. Apalagi sambaran petir.

Aku kepalang basah. Sekonyong-konyong baru menyadari bahwa baju yang aku kenakan basah. Celana kesukaanku yang baru ku cuci kemarin, harus masuk mesin cuci lagi nanti sore. Sepatuku satu-satunya, yang adalah pemberian adiku, tak bisa kukenakan lagi besok. Semua terlanjur. Selalu saja seperti ini. Sesal seperti dendam, ia selalu datang terlambat.

Tapi keterlambatan itu tak melulu buruk. Pikirku saat ini. Merengek tiga hari tiga malam ku kira tak ada guna. Sekalipun aku bisa. Mengumpat pada foto presiden baru juga hanya menegaskan kebodohanku. Ia tak mengubah apa-apa selain menambah sesak gudang penyesalan.

Keterlambatan itu, memaksaku mencari alasan. Seperti manusia pada umumnya, ketika terdesak mereka akan berkompromi. Dimulai dari dirinya sendiri. Mereka berkompromi dengan batasan-batasan yang ditetapkan sebelumnya. Bahkan oleh dirinya sendiri. Lalu keluar dunianya. Masuk ke lingkaran sekitarnya. Teman-teman, orang-orang yang ditemuinya, bahkan keluarganya. Sampai gugatan pembuat batasan paling dasar, Tuhannya.

Aku seperti itu. Aku seperti manusia-manusia biasanya. Ketika jalan keluar sudah tak dapat lagi kutemukan, aku menyerah. Aku biasanya akan bilang, “persetan harga diri, persetan martabat. Toh aku ini juga bukan milikku sendiri.” Sambil tersenyum sedih.

Lalu dengan mudah setelah masa itu kulalui. Segalanya jadi mudah. Aku melakukan sesukaku. Tak lagi terbatas batasan yang tadinya kuikat sekencang mungkin. Dengan simpul paling rumit. Yang hanya aku saja mengetahui bagaimana melepas simpul itu.

Pada akhirnya aku merasa seperti raja yang penuh kuasa. Seorang despotic. Atau seorang otoritarian. Aku membuat aturan aku melanggarnya. Lalu semua terlalu tak terkendali. Lalu aku merasa perlu membuat aturan lagi. Lalu aku melanggarnya lagi. Lalu tak terkendali lagi.

Bukankah hidup memang seperti ini? Kita seringkali menetapkan batasan-batasan yang kita sendiri melanggarnya? Maksudku, tak mungkin batasan itu berlaku selamanya. Sebab batasan itu berangkat dari kebutuhan dibatasi. Berangkat dari ketidakteraturan. Berangkat dari ketidakkuasaan kita untuk mengatur diri kita. Yang nantinya juga akan tidak teratur lagi. Sebab pada hakikatnya kita, manusia, memang tak bisa diatur bukan?

Apa ukuran batasan itu berhasil? Kepatuhan? Sapi-sapi yang tak keluar dari pagar? Atau elang-elang yang bercongkol bertahun-tahun dikandangnya?