Tak bisa dipungkiri, lebaran dan segala kemeriahannya adalah seperti yang dikatakan profesor Nursamad Kamba, “Festival Tahunan bagi kita”. Luapan emosi berbaur hingar-bingar penyambutannya sudah mendarah-daging di masyarakat Indonesia. Seakan lebaran adalah perhelatan terbesar yang dimiliki setiap keluarga, bahkan dalam wilayah lebih luas lagi, Nusantara.

Silaturahmi juga salah satu unsur penting dalam ritus lebaran ini. Berbondong-bondong satu keluarga mengunjungi keluarga lain. Atau biasa juga dengan saling mengunjungi tetangga. Yang penting, lebaran harus muter, untuk sekedar menyampaikan ucapan “selamat hari raya. Mohon maaf lahir dan batin”. Begitu umumnya. Bagi anak-anak kadang lebaran menjadi berkah tersendiri dengan penantiannya akan kedatangan THR. Harapannya selalu semoga THR tahun ini lebih banyak ketimbang tahun lalu, atau minimal tidak lebih sedikit.

Dari sederet cerita ini lahirlah sebutan, mudik.

Mudik menurut akun @zenrs adalah kembali ke udik. Kembali ke hulu. Yang artinya kembali ke asal. Bisa disimpulkan bahwa pengertian mudik ini ialah pulang ke daerah asal dengan segala romantikanya. Termasuk macet, thr, ujung, reuni dan lain-lain.

Kata pulang memang sudah amat akrab dengan kota Yogyakarta. Kota yang menawarkan seribu satu kecanduan sekaligus kerinduan kepada para pengunjungnya. Tempat segala jenis manusia berasal. Seniman, budayawan, birokrat, pebisnis bahkan orang yang tak jelas apa pekerjaannya/freelancer pun banyak dihasilkan kota ini. Yang jelas keseluruhan dari mereka selalu mempunyai makna tentang Yogyakarta di hati mereka masing-masing.

Sampai-sampai suasana jalanan metropolis ala jakarta dipinjamkan ke ruas-ruas jalan di wilayah ini. Macet. Asal kita melewati jalanan yogyakarta dan sekitarnya sekitar 2-3 hari setelah lebaran kita bakal menemui fenomena beraroma ibukota ini dengan gampang. Di titik-titik wisata, biasanya amat mudah kita menjumpainya. Ambilah contoh di jalan malioboro, jalan parangtritis, jalan wonosari dan lain-lain.

Kemacetan inipun sudah dimaklumi, dipenuhi oleh plat-plat luar kota. Sangat jarang ditemui plat AB yang tersempil diantara kendaraan yang berderet tersebut. Pernah suatu kali saya mengamati di antara jalan piyungan-prambanan, dari satu kilo deret kemacetan, hanya ada sekitar 5 mobil berplat AB. Hal ini menandakan fakta betapa merindukannya kota ini terbukti. Di sisi lain, hal ini juga menimbulkan masalah kenyamanan.

Kenyamanan adalah bagian penting yang membuat suatu keadaan tentram. Orang akan merasakan nyaman dahulu, baru kemudian ia akan merasakan relaks. Dan pada akhirnya ia akan merasakan ketenangan secara mendalam yang disebut tentram.

Mungkin bagi orang ibukota yang sudah terbiasa dengan kemacetan, akan menganggap fenomena macet ini adalah hal yang biasa. Namun, pertanyaannya apakah yang ia rindukan dari yogyakarta? Apa yang membuatnya ingin kembali ke yogyakarta? Setiap orang pasti memiliki pendapat berbeda-beda. Namun apabila ditarik garis besar pasti muaranya, ketentraman dari kota Yogyakarta-lah yang menjadi jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Terbukti dari tingginya kenaikan harga tanah di yogyakarta. Yang berarti menghuni yogyakarta adalah suatu prestis tersendiri. Juga data dari salah satu sumber yang menyebutkan bahwa yogyakarta adalah daerah paling nyaman ke 2 di Indonesia.

Terlepas dari validitas dari data itu, paling tidak jika kita mengamati bondong-bondongnya kedatangan para pelajar yang ingin menimba ilmu di kota ini setiap tahunnya selalu banyak dan cenderung meningkat. Setiap tahun, universitas-universitas menambah jumlah kuota kursinya. Setiap tahun beberapa universitas juga membuka prodi barunya. Dan itu selalu diminati dan ditempati oleh para pendatang tersebut.

Kembali ke konteks kenyaman itu, persoalannya adalah, ketika kemacetan terjadi di daerah ini, akankah kenyamanan untuk ketentraman tadi dapat dirasakan para pendatang tersebut? Lalu ketika kemacetan tersebut tetap dirasakan para pendatang, lalu apa bedanya kota ini dengan kota tempat perantauannya yang saban hari menampilkan kemacetan-kemacetan panjang?

Kita tentu tidak boleh menyalahkan para “plat luar” yang mayoritas menjadi penghuni kemacetan-kemacetan itu. Tentunya sebagai masyarakat Yogya, termasuk yang berhati Yogyakarta, juga yang sama-sama merasakan memiliki kota ini, harus saling menyadari, bahwa kita semua tidak menghendaki ketentraman kota tercinta ini menguap ke langit begitu saja. Seluruh komponen harus berupaya menjaga nilai tersebut. Jangan sampai, anak cucu kita merasakan kemacetan-kemacetan ini di kemudian hari.

Solusi tentu menjadi tanggung jawab pihak berwenang. Dengan catatan, kita bersedia dan mau menjadi part of solution dari kebijakan-kebijakan yang akan mereka buat. Mungkin dengan perbaikan infrastruktur, atau strategi kebijakan perbaikan transportasi yang tentunya harus bersama kita kontrol dan patuhi. Dan dengan bersama-sama pula mengedepankan semangat mencintai kota Yogyakarta ini.

Lebaran memang seharusnya tidak menjadi agenda perayaan/festival tahunan masyarakat saja, akan tetapi juga harus diresapi nilai-nilai spiritualnya. Namun, bila belum mampu mengkhidmati festival itu, paling tidak jangan membuat kegaduhan dalam festival tersebut. Apalagi sampai merusaknya. Selamat berfestival, Kawan! Mada/Keadilan



Tiap orang memiliki kawan. Tiap orang memiliki masalah. Pernahkah suatu kali kau berucap nasehat pada seorang kawanmu?? Dan secara terlambat sadar kau menasehati dirimu sendiri juga?

Tak hanya pernah, betapa sering untukku. Dari beberapa tempat saat aku dan kawanku bertukar ucap. Saat kami memuntahkan persoalan-persoalan yang mengendap di pikiran. Dan waktu giliranku untuk berpendapat walau lebih tampak seperti nasehat. Kemudian muncul kata-kata bijak, yang semestinya bukan hanya teruntuk kawanku juga untuk diriku sendiri, mulutku sendiri.

Apa yang membuat seorang kawan harus didengarkan nasehatnya? Tidak ada yang mengharuskan kukira. Namun ada baiknya untuk dijadikan bahan timbangan. Atas nama penghargaan akan ketulusannya. Ketika nantinya akan berbuah sebuah keputusan untuk menentukan pilihan. Mana yang lebih berbobot, bibit dan bebet. Tentunya kita sendiri yang menimbang. Dengan akal dan nurani kita masing-masing.

Masalah lumrah dimiliki manusia. Ia bagai garam dalam sebuah masakan. Kita dapat merasakan keberadaannya saat ia terlalu banyak juga terlalu sedikit. Saat komposisinya pas dengan masakan, maka ia tak terasa.