kata-kata tanpa nada, kering

nada-nada tanpa kata, hambar


betapapun nanti, mereka takkan ku biarkan menyatu

biarlah selalu berdua, biar teduh dipandang

mesra, dalam menyisir rel tak berunjung

diatas kutubnya

berdua-duaan


13 Agustus 2012




di jalan-jalan kecil itu, dulu terdapat beberapa gundu

bersama bocah-bocah yang mengadu

bukan, bukan mendadu layaknya para elit itu

meyakini, pada hal yang mereka pertahankan


tanah lapang adalah ladang kebahagian

tempat kaki-kaki kecil berlari kegirangan

pun juga menyeringai kesakitan

untuk bekal saat-saat kritis nanti


ini hari sudah kelewat pagi, setengah siang

buru-buru aku berjalan ke pematang,

menuju oase padi-padi yang menghijau kekuningan

yang menghadirkan narasi sesat, kedamaian


hidup ini keras, kalau kata orang dulu

pilihan membentang didepan:

bertahan berarti menerima serangan

atau berjuang berarti menggempur pertahanan



Senin pagi, 

13 Agutus 2012

Akhirnya saya berkesempatan juga untuk menggoreskan tinta elektrik di halaman ini setelah sekian lama berdiam di bingkai ruangan 4 x 4 meter ini (kamar). Sebelumnya akhir-akhir ini saya lebih senang mengurung diri dan tertutup.  Malas sekali untuk berinteraksi dengan sesama. Teman saya ya cuma kasur, laptop dan inti-inti di mimpi. Tidak ada fisik nyata, tidak ada kerjasama. Ya, saya  benar-benar terpagari oleh pagar buatan sendiri dan itu menyenangkan.

Saya sangat bersuka ria apabila menjelang malam, tentunya karena ini bulan Ramadhan dan itu berarti bahwa momentum itu adalah menjelang buka. Tetapi diluar itu ada alasan lain yang membuat saya begitu senang. Merdeka. Saya bisa berpikir bebas kemana-mana, tidak ada ujung  batasan ketika malam. Sedikit polusi suara, sedikit cahaya dan paduan suara jangkrik-jangkrik di luar rumah yang  mungkin menambah bentuk suasana ini. Keeksotisan bunyi-bunyian tembakau rokok yang terbakar, mengagungkan ke-syahdu-an suasana malam, suasana dimana diri ini kembali menjadi gumpalan daging yang tidak berguna dan tidak bernilai. Acuh terhadap sekitar atau apatis.

Adalah gambaran keseharian saya akhir-akhir ini, statis dan mati namun menyenangkan. Tidak ada yang direpotkan. Semua begitu liar dan bebas, bisa berlari kemana saja, atau hanya berputar-putar. Kesinisan hilang, yang muncul beragam bunga-bunga kedamaian. Semuanya ketika petang berjalan.

Mungkin untuk kali ini, sedikit saya akan ceritakan tentang satu dari beberapa hal, terkait “kekosongan” hari kemarin. Sebelumnya, saya tidak pernah menyebutnya “waktu luang” untuk mendeskripsikan saat dimana partikel kebendaan di ruang waktu tidak dinamis. Kata kekosongan lebih tepat bidik untuk menggambarkan situasi itu, setidaknya daripada kata “waktu luang”.

Untuk apa? Waktu luang artinya tidak kosong, waktu itu ada, namun tidak digunakan. Kita dalam keadaan sadar dan tahu apa yang harus dilakukan, namun belum terlaksana. Berbeda ketika sudah ada aksi dan reaksi dari kekosongan itu, menurutku (sangat wajib digaris bawahi untuk kata “menurutku”). Ini dia yang sering disebut-sebut oleh lingkungan saya dengan kata “selo”.  

Untuk perihal kata kekosongan, lebih kepada aktivitas astral dari sebuah ruang waktu. Bermacam-macam kegiatan yang tidak bisa dijamah oleh fisik manusia, atau dalam bahasa lainnya “kegiatan spiritual”. Yang bekerja hanyalah pikiran dan perasaan. Mereka tidak berjalan sendiri-sendiri seperti layaknya,mereka berdampingan dalam berolah kerja. Dan yang lebih asyik lagi, mereka tidak pernah punya batasan. Mereka bisa menjadi apa yang mereka inginkan. Disatu waktu mereka dapat berpikir dengan perasaan, atau diwaktu lain dapat merasakan dengan menggunakan pikiran.

Misalpun saya bercerita tentang apa yang saya lakukan, mungkin tidak akan tersampaikan persis seperti apa yang terjadi karena ini aktivitas spiritual kita, hanya ada bahasa saya dan Aku.  Interaksi kita tidak secara lazimnya, bahkan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tidak pragmatis namun tetap sederhana, mode interaksi kita.   

Tegasnya, saya tidak benar-benar tidak berbuat apa-apa dalam kekosongan itu.

Saya bebas menggarisbawahi tanda-tanda, memiringkan kata-kata, atau menebalkan angka-angka. Saya dapat berkelana hingga keujung timur dan dipangkal timur atau ujung barat.  Saya bisa menjadi hakim yang menyeringai sekaligus jaksa yang menjilat dalam gumulan perkara-perkara saya disitu.

Diruangan itu. Dimalam hari. Di sela-sela gemuruh bakaran tembakau-tembakau kretek kudus. Diantara senandung nyanyian jangkrik. Deru jeritan katak-katak sawah besar. Dan daun-daun bambu yang bergesekan dengan semilir angin malam.

Tentang pencarian dan yang tak terjamah
Minggu Pagi, 12 Agustus 2012