Jarum pendek di jam dinding ruang tamu menunjuk hampir pada angka 12. Merasa tercubit setelah selesei membaca sebuah tulisan reportase opini dari seorang jurnalis kawakan Kafil Yamin.
Sudah saya niatkan untuk membaca lanjut tulisan yang sedari tadi membuat penasaran. Mencari tempat yang cocok untuk membaca, kuputuskan untuk mampir ke keadilan - semacam gudang ilmu bagi saya – karena wifi di ruang keadilan memang lancar sehingga memudahkan niat awal. Keadilan terletak di dalam kampus FH UII, sebelah selatan hall FH, tepatnya nomer dua dari kiri jika anda memasuki kampus. Keadilan sendiri adalah nama akrab yang saya gunakan untuk organisasi yang saya ikuti saat ini, LPM Keadilan. Adalah elemen perjuangan kampus yang bergerak dibidang Pers.
Sampai di ruang keadilan, tidak seperti biasanya yang ramai penuh suara, kali ini sepi. Saklar lampu saya tekan, dan byar, tidak mengejutkan namun sempat membuat dahi saya mengerenyit sedikit. Terlihat sepeda hitam-putih bersandar dibalik badan almari tengah dan tas-tas jinjing ukuran sedang tergeletak samping tembok timur. Pikir saya kemudian, orang-orang rantau baru pada pulang. Abaikan barang-barang itu, kemudian saya masuk ke ruang redaksi - disinilah tempat yang menurut saya paling cozy – dan langsung membuka laptop.
Hal pertama yang saya lakukan adalah, log in twitter.
***
Bukan untuk sekedar iseng atau ngeksis tapi bentuk interpretasi kebodohan saya, memantau dia. Siapa dia? Bukan lain dia yang hingga kini enggan keluar dari pagar kebun perasaan saya. Bagaimana mungkin dia masih disitu sedangkan saya telah bukakan lebar-lebar gerbang kebun itu? Sayakah yang dulu terlalu rajin merawatnya? Diakah yang terlalu nyaman di kebun saya? atau memang tipikal dia yang senang bermalas-malasan untuk menempatkan dia ditempat yang seharusnya? Apapun jawabanya, ini benar-benar tidak membuat nyaman. Tidak ada logika yang bisa dipakai disini. Saya yang ingin selesei tetapi saya yang menyesal. Saya hanya ingin ini lepas tapi saya yang tidak bisa mengurai talinya. Ini begitu complicated dan semakin bertambah runyam semakin hari.
Pertanyaan yang sebenarnya saya tidak perkenankan hadir di pikiran ini, terus membayangi seisi otakku. Yang saya sadari, beberapa minggu terakhir isi pikiran saya terbuang sia-sia tentang kehadirannya. Saya tau yang telah terjadi ini adalah hal yang salah, tetapi mengapa seakan saya acuh saja membiarkan kebodohan ini berulang?
Tak ada guna mendebat di alam ide untuk hal semacam ini. Jawaban dua alinea diatas akan tegas, tatkala sirine kehidupan telah berteriak.
***
Kemudian, setelah memuaskan nafsu otak – twitter – link pemberian teman saya buka. Saat itu waktu sudah sekitar pukul 10, dan artinya saya harus bergegas pulang atau pagi nanti baru bisa sampai rumah. Saya copy tulisan di link – sebenarnya bentuk link itu adalah blog – kemudian segera memberesi perkakas dan pulang . Mematikan lampu dan tidak lupa menyapa bapak satpam yang setia menjaga pintu masuk kampus.
Sepanjang perjalanan pulang monoton, hanya warna-warna lampu kota di kanan-kiri lebih ceria dimalam itu.
Sekitar pukul setengah 11, saya sudah menginjakkan kaki dirumah. Seperti biasa, memasukkan motor kegudang dan mengucap salam kepada simbah, tetapi seperti biasanya juga untuk jam itu simbah sudah tidur. Masuk ke kamar, cuci kaki dan tangan, dan ambil laptop seraya di atas kasur.
Cekatan membuka copy-an tadi. Kesan pertama membaca judul artikel itu, tidak biasa. Menarik dan perlu dibaca adalah pesan implisit yang disampaikan dari substansi lead artikel. Profil singkat Kafil Yamin adalah seorang wartawan kawakan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET (United Nations Missions in East Timor), 30 Agustus 1999. Dan seorang blogger men-share salah satu artikel wartawan itu di blognya, tentunya artikel yang ini.
Malam itu dingin jogja lumrah dan wajar, sekitaran 15 o celcius. Tapi suasana romantis di kamar saya saat itu terasa berbeda dari hari sebelumnya. Mungkin karena seting black-out ruangan saat membaca.
Tidak kecewa saya membaca tulisan itu. Dia – kafil yamin – bercerita tentang hasil-hasil reportase berbentuk observasi maupun wawancara saat berada di Timor Timur saat perang politik berlangsung di situ.
Diceritakannya mulai dari peran apik – licik UNAMET yang tidak lain hanyalah sandiwara belaka, IMF dan PBB yang berhasil menjalankan skenario busuk mereka, Kaum-kaum pro-integral dan anti-integral, kesehariannya reportase yang mendalam, bumi Timor yang luar biasa indahnya, hingga tabiat mengopi dan merokoknya yang membuat dirinya bertemu seorang aktivis pro-integral, Laffae. Sangat menarik mengikuti rentetan alur ceritanya. Dari gaya penulisannya pun tidak membosankan, gemar menghadirkan kutipan tetapi tidak overquoting. Deskribsi yang apik dan berbagai anekdot turut mengkilaukan tulisannya.
Kemudian yang saya dapatkan dari sosok Kafil Yamin ditulisannya dan tulisannya sendiri adalah soal independensi dan profesionalisme seorang pewarta. Sudah jarang dan mungkin hanya ada beberapa pewarta yang saya ketahui dan masih memegang teguh prinsip kejurnalistikan diatas, termasuk Kafil Yamin.
Kegigihan, idealisme dan nasionalisme tanpa meninggalkan asas-asas jurnalistik dasar adalah nilai-nilai yang wajib-patut dimiliki bagi seorang wartawan, yang kemudian tampil sembunyi-sembunyi dalam sela-sela alineanya. Seperti saat dia dihubungi oleh rekan wartawannya, Prabandari, Tempo yang menelponnya untuk memberitahukan bahwa dia adalah wartawan satu-satunya dan terakhir yang ditunggu rekan-rekannya dibandara untuk dievakuasi ke Indonesia menggunakan Hercules. Sesaat setelah kemenangan jajak pendapat didapat oleh kaum pro-kemerdekaan. Kafil kekeuh untuk bertahan, melanjutkan reportasenya. Juga saat Kafil Yamin berdebat dengan editor kantor beritanya yang ada dibangkok, lantaran editor enggan – atau mungkin tidak berani – menuliskan bahwa UNAMET telah berlaku curang dan ingin menggantinya. Namun Kafil tetap dijalannya, tegak berdiri diatas prinsipnya.
Lanjutnya, untuk (si)apa dia melakukan reportase kalau saja editornya ogah menerima tulisannya? Hingga dia mau-maunya tidur berlatar berondongan peluru? Mungkin dengan kutipan dari Pramoedya A.T. bisa melukiskan jawaban ini, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Reportase Investigasinya juga disajikan sangat menarik dalam frasa-frasanya.
Tulisan bergaya features diary ini menyesak dada. Demo besar-besaran terjadi di dalam diri ini. Betapa butanya pikiranku terhadap hal-hal semacam ini!
“Apa yang sudah saya lakukan hingga umur 20 tahun ini? Paling tidak sudahkah saya berguna bagi orang lain? Apakah saya sudah pantas berumur 20 tahun?........” menyoal terhadap diri sendiri.