 |
Kawan saya in action (Baju biru) |
Sekitar tiga tahun lalu, pada suatu makan siang, seorang
kawan tiba-tiba berseloroh, “Lagi kekancan wae wes pedot”.
Kalimat itu meluncur begitu saja ketika kami tengah melahap
soto. Bingung. Tanpa mendung, tanpa geledek tiba-tiba ia kalimat aneh tersebut
terlontar. Kalimat macam apa itu. Susah dicerna. Tidak logis. Tidak EYD pula.
Serempak kami menoleh kearahnya. Lalu gelagatnya wagu. Sorot
matanya berpaling ke jalan raya. Raut mukanya menjadi seperti anak kos di
tanggal tua. Terlempit-lempit.
“He maksudmu opo?”,
salah satu dari kami mencoba membuat terang keadaan.
“Ha koe-koe kui. Senengane macok-macokne.”
Kami masih kebingungan.
“Opo to?”, desak kawan saya lainnya.
Dia menyebut nama seorang perempuan. Kami mulai menangkap
maksudnya. Perempuan itu sekelas dengan kami. Si perempuan itu belakangan dekat
dengannya. Kami ketahui, mereka sudah saling berbalas sms, balas chating bbman,
bahkan sudah sampai pada kirim-kiriman emoticon. Di teori bribik termutakhir, proses
bribik yang sudah sampai tahap berbalas emoticon itu sejatinya tinggal menunggu
setapak lagi menuju puncak status; daden atau
jadian.
Nah, dari situ kami berniat membantunya untuk sampai pada
puncak status. Seringkali kalau mereka kepergok sedang ngobrol, kami ciye-ciye
kan. Tiap mereka saling saling menyapa, kami ehem-ehemkan. Ketika mereka sedang
berpapasan, kami uhuk-uhukkan. Ini semua hanya untuk membantu kawan kami
mendapatkan perempuan pujaannya. Semata-mata karena kami ingin menjadi kawan
sejati. Kawan yang selalu mendukung kawan lainnya dalam berbagai hal. Ya,
walaupun sesekali ada niat nggarapi. Tapi ya hanya sesekali saja, kami rasa
tidak apa-apa.
“Lah nek awakdewe pacok-pacokkan, lhak yo dirimu sakjane
semakin seneng to”, saya menanggapi.
“Matama…”, tampak nadanya mengelak.
Tetapi, “Jane yo pancen sih nek nggo aku. *pitikih* Tapi masalah e
dee malah semakin adoh bar kui!”
Sontak kami kaget. Kami seperti tak percaya atas pernyataan
baru saja. Kemarin saja waktu di kelas, kami masih lihat mereka masih seperti
biasa je. Masih biasa duduk
mendengarkan kuliah sambil sesekali saling curi-curi pandang. Masih saling
mencoba memperhatikan. Masih..
Secara teori bribik kontemporer, ini tidak mungkin terjadi.
Salah seorang kawan saya menjelaskan, secara teori itu hampir mustahil. Kecuali
hal ini terjadi pada saat jaman roro jonggrang dan bandung bondowoso. Jelasnya, semisal Bandung Bondowoso bribik
Roro Jonggrang lalu kawan-kawannya mencie-ciekannya, roro jonggrang tentu akan
menjauh. Kenapa? Karena ia pasti mengira teman-temannya gila. Lagipula mana
tahu roro jonggrang sama cie-ciean?
Salah satu kawan saya tadi mulai memasang tampang nyebahi
akademiknya. Artinya kuliah cinta sebentar lagi terselenggara di tengah warung
soto ini. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia mulai menjelaskan dengan detil
mengenai ontologi bribik. Tak lupa juga ia mengutip beberapa pendapat ahli.
Kemudian pelan-pelan ia menjelaskan fase-fase bribik sekaligus disertai indikator-indikatornya.
Pada penjelasan fase bribik tahap kirim-kiriman emotikon, kawan saya yang
murung itu memotong.
“Halah, nyata-nyata dia menjauhiku sekarang. Smsku ra
dibales. BBMku mung di read tok.
“Ah daek kui teori!”, sambil memanyunkan mulutnya. Untuk
diketahui, Daek, adalah sejenis pisuhan yang diciptakan kawan saya itu. Selain
dia gemar membuat kalimat-kalimat asing, ia juga rajin membuat pisuhan-pisuhan
baru.
Kawan kami lain mencoba menengkan pikiran kalutnya. “Mungkin
dee lagi sibuk, bro”
Ia kemudian tampak berpikir. Lalu pandangannya kembali ia
lemparkan jauh ke jalan raya. Ia semakin tenggelam dalam pikirannya. Kami semua
menunggu kata yang selanjutnya ia keluarkan. Akhirnya, ia berbicara.
“Ngene lho, Tho. Aku ki lagi nyeraki dee. Aku berusaha
membuat dee nyaman karo aku. Nah, lha kok kowe-kowe malah do macok-macokke. Pie
to. Dee njuk dadi ra nyaman to. Dee mungkin njuk gilo ro aku, trus males karo
aku. Njuk dadi sms karo bbmku ra diwoco. Terus aku rasido nyeraki. Terus
cintaku gagal. Iki goro-goro kowe kabeh, cah bajingan..”
Saya merenungi barang sebentar apa yang dikatakannya. Setelah
dipikir-pikir masuk juga yang apa dikatakkannya. Teori Bribik itu sudah usang.
Nyatanya dalam kasus salah satu kawanku ini tidak terbukti. Begitu pikirku saat
itu.
Saya jadi merasa bersalah. Saya malah menjadi perusak fase
bribik kawan saya. Baiklah niat kami baik, tapi tetap saja, kawan kami yang
murung ini akhirnya dirundung kesedihan. Sebagai kawan sejati kami tak boleh
membiarkan salah satu dari kami sedih.
Akhirnya kami meminta maaf kepadanya dan berjanji hendak
tidak mengulangi lagi perbuatan kami. Jika perbuatan kami diulangi kami
bersedia untuk tidak dianggap kawan. Kami bersedia dipecat sebagai kawan.
Sedotan es jeruk terakhir, menjadi penanda kami selesai
dengan topik bribik nan serius siang ini. Kami mesti masuk kelas lagi. Pak Dosen
sudah menunggu. Tiba-tiba hape kawan saya berbunyi. Saat itu ia sedang
membayar, hapenya ia tinggal di meja warung. Ada sms masuk. Harapan kami sms
itu dari perempuan yang kami pacok-pacokkan kepadanya tadi. Isinya semoga
terkait permohonan maaf padanya karena tak membalas pesan-pesannya lantaran
bla..bla..bla.
Salah satu kawan saya penasaran. Ia membacanya.
Tapi disana bukan nama perempuan itu yang tertulis.
Melainkan nama seseorang dengan huruf jawa. Pelan-pelan kami mengeja, akhirnya
kami mendapatkan namanya. Roro Djonggrang. Isi pesannya, masih dengan aksara
jawa, “Nyuwun ngapunten Kang mas. Ciecie meniko sinten? Mantan panjenengan?
Kulo tersinggung menawi dipun anggep mantan kangmas. Kulo nggih Roro
Djonggrang. Ampun dianggep mantan kang mas. Lan, inggih sakmeniko walesan kulo
mboten males menopo ingkang kang mas bbm lan sms”.
Kami bengong. Lho, Roro jonggrang sms? Roro jonggrang bbm?
Saya pun tetap ndak paham sampai saat ini kenapa Roro jonggrang bisa smsan dan
bbman. Saya juga bingung merk hape yang digunakan Roro Jonggrang. Dimana letak
pabrik pembuatannya? Sudah ada listrik? Saya bertambah bingung meyadari ada
hape yang menggunakan aksara jawa. Saya sebenarnya punya kecurigaan, tapi
terlalu takut untuk dikatakan eh naïf pada teman-teman. Tapi tak apalah
dikatakan, untuk anda pembaca: Jangan-jangan atlantis itu benar di Indonesia.
Tapi selebihnya, yang pasti, sejak saat itu kami mengetahui
siapa kawan kami sebenarnya. Ia tak lain adalah Bandung Bondowoso. Ternyata
setelah kegagalannya membangun prambanan itu, ia dikutuk oleh para jin pembantu
proyeknya. Mereka merasa dipermainkan olehnya, si Jin tidak mau tau
alasan-alasan bandung. Jin tidak kenal cinta. Jin-jin itu ndak kenal keindahan
hidup. Maka kemudian ia dikutuk oleh majelis Jin Prambanan dan sekitarnya untuk
hidup abadi dan menggrantes selamanya.
Sampai hari ini.
Tapi, sebentar. Apa perempuan itu juga Roro Djonggrang yang
turut dikutuk oleh para jin yang merasa dikhianati? Entahlah.. saya ngantuk.