Kamu tahu bagaimana cara merasakan waktu?

Aku beritahu: Menunggulah. Semakin tak sabar kamu menunggu, maka semakin terasa waktu berjalan melambat. Semakin kamu tak sabar, semakin berarti pula hal yang kamu tunggu itu. Semakin berarti hal yang kamu tunggu, semakin kamu tidak begitu penting.

Aku menunggu seseorang.

Maka menunggu bukan lagi hubungan timbal balik. Kamu tak akan peduli apakah hal yang kamu tunggu, menunggumu balik. Kamu tak akan peduli apakah yang kamu inginkan segera datang, menginginkan pertemuanmu. Kamu tak acuh sikapnya padamu. Kamu tak akan takut tatkala dia tak menunggumu balik. Dan kamu tak akan peduli, meskipun dia sedang menunggu orang lain disana.


Maka aku sedang merasai waktu.  
Kalau ketemu kijang lincah, perempuan,

kalau kijang itu bicaranya cerdas

kalau kijang itu berani

kalau kijang itu cinta Tuhannya

bilang pada dia,

aku menyesal jadi manusia

aku ingin jadi kijang jantan

biar bisa pacaran sama dia

Mada, 2014
Kawan saya in action (Baju biru)
Sekitar tiga tahun lalu, pada suatu makan siang, seorang kawan tiba-tiba berseloroh, “Lagi kekancan wae wes pedot”.

Kalimat itu meluncur begitu saja ketika kami tengah melahap soto. Bingung. Tanpa mendung, tanpa geledek tiba-tiba ia kalimat aneh tersebut terlontar. Kalimat macam apa itu. Susah dicerna. Tidak logis. Tidak EYD pula.

Serempak kami menoleh kearahnya. Lalu gelagatnya wagu. Sorot matanya berpaling ke jalan raya. Raut mukanya menjadi seperti anak kos di tanggal tua. Terlempit-lempit.

 “He maksudmu opo?”, salah satu dari kami mencoba membuat terang keadaan.

“Ha koe-koe kui. Senengane macok-macokne.”

Kami masih kebingungan.

“Opo to?”, desak kawan saya lainnya.

Dia menyebut nama seorang perempuan. Kami mulai menangkap maksudnya. Perempuan itu sekelas dengan kami. Si perempuan itu belakangan dekat dengannya. Kami ketahui, mereka sudah saling berbalas sms, balas chating bbman, bahkan sudah sampai pada kirim-kiriman emoticon. Di teori bribik termutakhir, proses bribik yang sudah sampai tahap berbalas emoticon itu sejatinya tinggal menunggu setapak lagi menuju puncak status; daden atau jadian.

Nah, dari situ kami berniat membantunya untuk sampai pada puncak status. Seringkali kalau mereka kepergok sedang ngobrol, kami ciye-ciye kan. Tiap mereka saling saling menyapa, kami ehem-ehemkan. Ketika mereka sedang berpapasan, kami uhuk-uhukkan. Ini semua hanya untuk membantu kawan kami mendapatkan perempuan pujaannya. Semata-mata karena kami ingin menjadi kawan sejati. Kawan yang selalu mendukung kawan lainnya dalam berbagai hal. Ya, walaupun sesekali ada niat nggarapi. Tapi ya hanya sesekali saja, kami rasa tidak apa-apa.

“Lah nek awakdewe pacok-pacokkan, lhak yo dirimu sakjane semakin seneng to”, saya menanggapi.

“Matama…”, tampak nadanya mengelak.

Tetapi, “Jane yo pancen sih nek nggo aku. *pitikih* Tapi masalah e dee malah semakin adoh bar kui!”

Sontak kami kaget. Kami seperti tak percaya atas pernyataan baru saja. Kemarin saja waktu di kelas, kami masih lihat mereka masih seperti biasa je. Masih biasa duduk mendengarkan kuliah sambil sesekali saling curi-curi pandang. Masih saling mencoba memperhatikan. Masih..
Secara teori bribik kontemporer, ini tidak mungkin terjadi. Salah seorang kawan saya menjelaskan, secara teori itu hampir mustahil. Kecuali hal ini terjadi pada saat jaman roro jonggrang dan bandung bondowoso.  Jelasnya, semisal Bandung Bondowoso bribik Roro Jonggrang lalu kawan-kawannya mencie-ciekannya, roro jonggrang tentu akan menjauh. Kenapa? Karena ia pasti mengira teman-temannya gila. Lagipula mana tahu roro jonggrang sama cie-ciean?

Salah satu kawan saya tadi mulai memasang tampang nyebahi akademiknya. Artinya kuliah cinta sebentar lagi terselenggara di tengah warung soto ini. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia mulai menjelaskan dengan detil mengenai ontologi bribik. Tak lupa juga ia mengutip beberapa pendapat ahli. Kemudian pelan-pelan ia menjelaskan fase-fase bribik sekaligus disertai indikator-indikatornya. Pada penjelasan fase bribik tahap kirim-kiriman emotikon, kawan saya yang murung itu memotong.

“Halah, nyata-nyata dia menjauhiku sekarang. Smsku ra dibales. BBMku mung di read tok.

“Ah daek kui teori!”, sambil memanyunkan mulutnya. Untuk diketahui, Daek, adalah sejenis pisuhan yang diciptakan kawan saya itu. Selain dia gemar membuat kalimat-kalimat asing, ia juga rajin membuat pisuhan-pisuhan baru.

Kawan kami lain mencoba menengkan pikiran kalutnya. “Mungkin dee lagi sibuk, bro”
Ia kemudian tampak berpikir. Lalu pandangannya kembali ia lemparkan jauh ke jalan raya. Ia semakin tenggelam dalam pikirannya. Kami semua menunggu kata yang selanjutnya ia keluarkan. Akhirnya, ia berbicara.

“Ngene lho, Tho. Aku ki lagi nyeraki dee. Aku berusaha membuat dee nyaman karo aku. Nah, lha kok kowe-kowe malah do macok-macokke. Pie to. Dee njuk dadi ra nyaman to. Dee mungkin njuk gilo ro aku, trus males karo aku. Njuk dadi sms karo bbmku ra diwoco. Terus aku rasido nyeraki. Terus cintaku gagal. Iki goro-goro kowe kabeh, cah bajingan..”

Saya merenungi barang sebentar apa yang dikatakannya. Setelah dipikir-pikir masuk juga yang apa dikatakkannya. Teori Bribik itu sudah usang. Nyatanya dalam kasus salah satu kawanku ini tidak terbukti. Begitu pikirku saat itu.

Saya jadi merasa bersalah. Saya malah menjadi perusak fase bribik kawan saya. Baiklah niat kami baik, tapi tetap saja, kawan kami yang murung ini akhirnya dirundung kesedihan. Sebagai kawan sejati kami tak boleh membiarkan salah satu dari kami sedih.

Akhirnya kami meminta maaf kepadanya dan berjanji hendak tidak mengulangi lagi perbuatan kami. Jika perbuatan kami diulangi kami bersedia untuk tidak dianggap kawan. Kami bersedia dipecat sebagai kawan.

Sedotan es jeruk terakhir, menjadi penanda kami selesai dengan topik bribik nan serius siang ini. Kami mesti masuk kelas lagi. Pak Dosen sudah menunggu. Tiba-tiba hape kawan saya berbunyi. Saat itu ia sedang membayar, hapenya ia tinggal di meja warung. Ada sms masuk. Harapan kami sms itu dari perempuan yang kami pacok-pacokkan kepadanya tadi. Isinya semoga terkait permohonan maaf padanya karena tak membalas pesan-pesannya lantaran bla..bla..bla.

Salah satu kawan saya penasaran. Ia membacanya.

Tapi disana bukan nama perempuan itu yang tertulis. Melainkan nama seseorang dengan huruf jawa. Pelan-pelan kami mengeja, akhirnya kami mendapatkan namanya. Roro Djonggrang. Isi pesannya, masih dengan aksara jawa, “Nyuwun ngapunten Kang mas. Ciecie meniko sinten? Mantan panjenengan? Kulo tersinggung menawi dipun anggep mantan kangmas. Kulo nggih Roro Djonggrang. Ampun dianggep mantan kang mas. Lan, inggih sakmeniko walesan kulo mboten males menopo ingkang kang mas bbm lan sms”.

Kami bengong. Lho, Roro jonggrang sms? Roro jonggrang bbm? Saya pun tetap ndak paham sampai saat ini kenapa Roro jonggrang bisa smsan dan bbman. Saya juga bingung merk hape yang digunakan Roro Jonggrang. Dimana letak pabrik pembuatannya? Sudah ada listrik? Saya bertambah bingung meyadari ada hape yang menggunakan aksara jawa. Saya sebenarnya punya kecurigaan, tapi terlalu takut untuk dikatakan eh naïf pada teman-teman. Tapi tak apalah dikatakan, untuk anda pembaca: Jangan-jangan atlantis itu benar di Indonesia.

Tapi selebihnya, yang pasti, sejak saat itu kami mengetahui siapa kawan kami sebenarnya. Ia tak lain adalah Bandung Bondowoso. Ternyata setelah kegagalannya membangun prambanan itu, ia dikutuk oleh para jin pembantu proyeknya. Mereka merasa dipermainkan olehnya, si Jin tidak mau tau alasan-alasan bandung. Jin tidak kenal cinta. Jin-jin itu ndak kenal keindahan hidup. Maka kemudian ia dikutuk oleh majelis Jin Prambanan dan sekitarnya untuk hidup abadi dan menggrantes selamanya. 

Sampai hari ini.


Tapi, sebentar. Apa perempuan itu juga Roro Djonggrang yang turut dikutuk oleh para jin yang merasa dikhianati? Entahlah.. saya ngantuk.