Orang bilang, kehilangan adalah sumber dari ketakutan. 
Sayangnya kita tidak bisa menolak kehilangan itu. Ia akan selalu ada. Sebagaimana pertanyaan mengapa ada keberadaan. Ia hanya akan menambah setumpuk persoalan. Dari persoalan-persoalan itu timbulah turunan. Begitu seterusnya. Sampai pertanyaan ini muncul kembali dan persoalan-persoalan itu menurun kembali.

Sayangnya lagi, kita ada tidak untuk menjawab persoalan. Tidak untuk menghapus tanda tanya yang entah mengapa bentuknya serupa arit. Yang entah mengapa aku berkeyakinan dengan arit sebagai jawaban atas pertanyaan itu sebagaimana aku yakin ketidak pastian jawaban itu sendiri. Lalu membayangkan ujung runcingnya, tajamnya igirnya menebas rumput-rumput yang bahkan tak sempat menyadari keberadaanya.

Seringkali ketakutan terlalu cepat menyergap pagiku. Bahkan sebelum aku menyadari ruanganku sangat panas. Sebelum aku menyesali hari-hariku belakangan. Ia mendahului sesal itu! Sehingga ketakutan-ketakutan setelahnya yang kucurigai bukan datang sendiri melainkan ia diundang. Oleh apapun yang kukira sangat pantas untuk dicurigai sebagai sesuatu yang malas, malang, dan sedikit terkutuk. Sebab ia pasti tertawa didepan orang yang tak punya mulut.

Kadang ia juga tak terduga. Seperti disaat kopiku belum mengendap. Ia masuk bersamaan dengan adukan terakhirku. Sambil mengangkang, ia menelusuri dinding-dinding gelas yang kesat. Lalu melayang berbaur dengan tumbukan biji kopi dan beberapa partikel kimia. Kemudian berdesakan mencari tempat seperti permainan tetris. Ia menyesuaikan dengan celah-celah yang ada. Atau jika tidak ia segera mendapati penolakan besar-besaran terhadap dirinya. Diikuti protes membakar ban dan tentu membuat macet kerumunan yang kemudian tak lama setelah itu memaki tanpa gairah. Meludah dengan sekuatnya. Berteriak sekenanya. Padahal api berkobar itu tau bahwa mereka hanya meludahi mereka sendiri. Mereka hanya memaki dirinya sendiri. Bahwa mereka terlena, tak sadar, ada yang cengengesan menyaksikan kenaifan akal mereka sembari terus menerus mencumbui pundi-pundi emas dari makian itu.

Tanpa sadar ia masuk ke tubuhku. Lewat kerongkongan, lewat mata, hidung, telinga bahkan terkadang pori-pori! Tak sampai sekedipan, ia mendarat di lambung.

Dalam kondisi seperti ini aku akan melihat jam. Berharap ia akan segera keluar. Berharap detak detik jam segera mengusirnya dari lambungku. Berharap pedih ini segera berlalu. Sehingga hariku akan datang seperti biasa. Namun diluar dugaan, bukan kepalang, kenyataan mengentakku. Ia kini berdiri dikoalisi ketakutan!

Semenjak aku tahu angka-angka itu ikut berjajar di barisannya, aku menyesal. Penyesalanku memakan waktu cukup lama. Bahkan sampai aku tak mau diam. Sampai aku terus menerus tersenyum menyapa kerumunan orang-orang yang tiap kali jumpa denganku. Hingga mulutku berbusa-busa menyerocos. Apa saja kepada siapa saja.

Dan semuanya berhenti ketika aku memahfumi pengkhianatan sebagai hal yang manusiawi.
Awal kenal dengannya, aku begitu mempercayainya. Aku begitu yakin. Sebab kakekku lah yang mengenalkanku dengannya. Disebuah pesta bulan purnama, ia datang dengan percaya diri. Rapi, wangi, dan luwes. Siapapun yang berjumpa dengannya, selalu memberikan salam. Sebagian sembari menepukan pundak. Khusus untuk pejabat-pejabat desa, perbincangan akan selalu mengarah ke perjodohan anak mereka atau mungkin sanak mereka.

Lalu kami bertegur sapa. Memperkenalkan diri satu sama lain diselipkan diantaranya puji-memuji. Kami bertukar pengalaman. Hingga akhirnya kami tahu memiliki hobi yang sama, Naik gunung. Dan dari situlah muncul petualangan-petualangan kami. Jalur silih berganti, namun kami tetap menginjakan kaki beriringan.

Bagaimana aku tidak mempercayainya?

Moment-moment indah yang dulu selalu kurawat kini jadi hantu. Meneror tiap lubang ingatan. Meninggalkan sebentuk luka dan terus menerus memperbaharui kengiluan seperti pertama kali. Semacam kisah-kisah hukuman epidemi. Kengerian yang hanya bisa dibiarkan. Bentuk ketakutan paling ekstrim pada sejarah peradaban manusia. Ia datang tanpa mempersilahkan manusia berkuda-kuda terlebih dahulu.

Wabah hitam di eropa zaman pertengahan? Ia satu dari sekian banyak penggambaran ketakutan komunal. Ia tak lagi menjadi ketakutan perindividu yang barangkali ia mampu sembunyi dalam wajah sosialita. Namun ia telah diamini. Sebagai fenomena yang setiap orang akan mendapatkan gilirannya. Yang sudah tak mampu lagi bersembunyi darinya. Yang tak bisa apa lagi, berharap sekalipun. Yang barangkali tinggal menunggu kematian menjemput.

Epidemi dapat menjadi guru yang baik. Guru yang baik tak harus bersikap baik terhadap muridnya, kadang ia mesti berlaku tak pandang bulu untuk menghukum kesalahan. Sedikit kejam, memang. Tapi itulah yang terjadi. Barang tentu para Machievelis menganggap apa yang diucapkan gurunya memang kejam. Tapi bahwa wabah, epidemic itu adalah mekanisme alam untuk menyembuhkan sakitnya sendiri itu bisa jadi hal yang benar. Sebab alam, sebagai entitas jamak, memiliki hokum-hukum yang tak mampu ditentang, hal-hal yang kodrati.

Bahwa ada beberapa hal dari wabah dan ketakutan yang kuanggap sama. Yakni, ketakutan itu sendiri dan persebarannya. Ketakutan yang mendapat tempat akan memberhangus akal sehat. Kealpaan akan hadirnya akal sehat, rasionalitas itulah yang kemudian berbahaya. Terlebih dipadukan dengan kecenderungan ketakutan itu sendiri, bahwa ia senantiasa menggaet pasukan. Kealpaan akan akal sehat dan kekuatan, senyawa yang kemudian disebut keberingasan.

Pelaku-pelaku keberingasan itulah yang kemudian secara praksis menyebarkan ketakutan. Dan ketakutan itu hanya akan menyuburkan pola regenerasi penyebaran ketakutan. Bahkan ketakutan itu kini menjadi hal yang mahfum dan dianggap sebagai kebalikannya, yakni keberanian.

Pandangan umum bahwa banyak orang yang takut kemudian menyuburkan pemahaman bahwa ketakutan adalah suatu hal yang diikuti dan diakui kelazimannya. Bahkan pada suatu titik, ia akan menjadi kebenaran. Pada saat ini lah, kemudian akan muncul akibatnya yakni anggapan bahwa apabila seseorang tak mengikuti tren ketakutan ia akan dianggap penakut. Dengan anggapan ini, ketakutan dan keberanian mulai saat itu bertukar tempat.


Lalu kita tak akan berguna lagi menjadi penakut atau pemberani. Sebab kewarasan sudah musnah.


Rejowinangun, 5 Oktober 2014