Terdengar tangisan melengking bayi dari suatu ruangan. Tak terlalu keras. Namun, tetap dapat memecah kesunyian malam saat itu. Suasana tegang menjadi lebur dalam kehangatan haru. Bayi itu lahir. Dia ucapkan salam kedatangannya kepada semesta.


22 Oktober 1992, saat itu pukul 10.00 siang. Keluarga kecil sedang dirundung kebahagian. Satu anggota keluarga baru bergabung dengan mereka.

“Bayi ini yang akan mewarnai hari-hari kita esok”, pikir sang Bapak.

Sinar senyum lega seluruh manusia yang ada ditempat itu berbinar kesegala sudut ruangan. Yang mereka nanti telah hadir. Harapan baru muncul. Tak henti-hentinya tahmid terucap. Sang Bapak yang sedari tadi menampakan wajah ketegangan, berubah memancarkan sinar kebahagian. Ia yang paling girang saat itu.

Sang Ibu tergolek lemah. Meskipun begitu, dengan segala tenaga tersisa Ia lemparkan senyuman yang paling lembut dan teduh. Suami dan mertuanya yang memang sedari tadi menunggui membalas dengan usapan lembut kedahinya.

Seorang suster mendekat ke sosok laki-laki seperempat abad tersebut. “Laki-laki pak”, kata suster.

“Sehat kan sus?”

Lalu suster itu dengan nada lirih, “agak bermasalah dikulitnya pak.”

Bayi itu berbeda dengan bayi layaknya seorang bayi sehat. Kulitnya kering dan mengelupas kecil-kecil, disekujur tubuhnya. Kering mendekati bersisik, mungkin yang dapat disimpulkan dari keadaan bayi tersebut

Sesak, sulit untuk bernapas. Sang Bapak masih tak percaya pada apa yang dialaminya dan keluarga kecilnya. Juga si Bayi.

Kondisinya terlihat lemah. Sesekali menangis kecil-kecil. Jarang sekali menggerakan anggota badannya. Siapapun yang melihat niscaya akan tersentuh hatinya. Mendoakan bayi itu segera sehat dan kelak tumbuh menjadi anak yang lazim seperti pada umumnya. Ceria.

Kebahagian kecil dari keluarga kecil tersebut tidak bertahan lama. Pedih, senyum lebar yang seharusnya mereka dapat tertahan.  Kondisi si kecil mengoyak dada mereka. Tak pernah sekalipun mereka mengharapkan, membayangkan pun tidak. Mungkin seluruh keluarga didunia tak pernah mengharapkan hal ini terjadi.

Setiap orang terlihat sibuk disitu. Dokter dan suster sibuk dengan menangani bayi. Bapak sibuk dengan pikirannya yang tercerai berai kemana-mana. Mertua sibuk dengan menenangkan si Ibu. Si ibu, sibuk mengguyur hati kecilnya yang tersusuk duri-duri tajam dengan tahmid, tahlil, takbir dan segala macam ucapan yang dapat meredam sakit lahir dan batinnya.

Si Bayi masih tergolek di ruang perawatan. Selang oksigen terpasang dihidungnya. Alat-alat medis tertata di sekitar ranjangnya. Bunyi suara perekam detak jantung menambah ketegangan ruangan tersebut.

Diruangan lain:  “Tenang buk, semua akan baik-baik saja”, bisik ayah kepada istrinya. Lelaki itu berusaha menguatkan jiwa istrinya yang terobrak-abrik oleh kenyataan. Meskipun entah seberapa kacau pikiran laki-laki itu, ia tetap terlihat tegar dan tabah didepan istrinya.

Ibu mertua yang sembari membelai rambut si Ibu mencoba menenangkan batinnya.
“Dokter dan perawat sudah mengurusi anakmu, sekarang tenangkan perasaanmu. Berdoalah kepada Yang Maha Pengasih dan Penolong”, tutur Ibu mertua dengan halus.

--

Satu minggu setelah hari itu, keadaan bayi tersebut membaik. Penyakit kulitnya mulai menghilang. Nampaknya ikhtiar dokter dan perawatnya menunjukan hasil. Yang terpenting, doa mereka didengar oleh-Nya.

Sehari setelahnya, bayi itu diperbolehkan dibawa pulang. Sang Bapak dapat mulai mengumpulkan kembali pikirannya yang buyar. Ia mulai merangkai harapan-harapan. Sang Ibu, yang terlihat lebih segar memperlihatkan keinginannya untuk segera membawa anaknya tersebut pulang kerumah. Hari-hari esok yang penuh dengan keceriaan karena kehadiran si kecil mulai memenuhi benak sang Ibu.

Si Kecil yang lucu hadir di tengah-tengah keseharian mereka. Setiap tawa dan tangisnya adalah berkah bagi mereka. Keluarga ini tidak lagi sepi. Kehidupan dan kesibukan baru mulai mereka hadapi.

“Alisnya mirip bapaknya”, si Ibu dengan bangganya berkata kepada tetangga.

---

Anak itu tumbuh menjadi bocah yang enerjik dan ceria. Ia gemar tertawa. Terlihat riang kesana-kemari. Ia tak pernah menyadari nestapa keadaanya waktu kecil dulu. Jangan.

Pada suatu sore, duduklah mereka di pelataran rumah. Sambil menikmati kesyahduan sore hari, terjadi percakapan diantara mereka:

“Pak, artinya namaku apa?”, tanya bocah itu kepada bapaknya.

“Mada Pudyatama. Nama tersebut adalah harapan bapak kepadamu, Nak”
Anak itu terlihat memperhatikan setiap perkataan yang keluar dari mulut bapaknya. Dengan seksama.

“Mada, itu artinya agar kelak ketika kamu dewasa, kamu menjadi seperti Patih Gadjah Mada. Kamu tau Gadjah Mada Nak?”

“Iya pak, dari pelajaran IPS di sekolah kemarin, Gadjah Mada adalah seorang yang sangat kuat. Hayam Wuruk menunjuk dirinya menjadi Patih Majapahit ketika itu”, menerocos layaknya seorang guru yang sedang menerangkan pelajaran Sejarah kepada muridnya.

“ Ia pernah mengucapkan janji kepada dirinya sendiri. Ia tidak akan memakan buah palapa kalau seluruh nusantara belum bersatu”, dengan yakinnya ia bercerita. Ia memang selalu meyakinkan.

“Sekarang kamu tau siapa Hayam Wuruk?”, tanya Bapaknya.

“Dia raja majapahit, rajanya Gadjah Mada!”, saut anaknya bersemangat.

“Trus?”

Diam sejenak, kemudian dia menggelengkan kepala. Isyarat dia tak tau lebih soal Hayam Wuruk. Matanya berkaca-kaca menanti kata selanjutnya dari sosok laki-laki idolanya tersebut.

“Nah demikian. Posisi Hayam Wuruk adalah raja. Sedangkan Gadjah Mada hanyalah patihnya. Namun apa yang kamu tahu tentang gajah mada, melebihi yang kamu tau tentang raja nya”, tutur sang ayah.
Bocah itu terbengong. Ia belum menangkap  apa yang dimaksud ayahnya.

“Jadi nak, Gajah Mada hanyalah rewang Hayam Wuruk. Tetapi apa yang kamu kenal dan ketahui tentang rewangnya lebih banyak ketimbang tuannya. Si Hayam Wuruk kan Tuannya si Gajah Mada, harusnya kan kamu lebih tau dan kenal tentang dia. Wong dia yang menjadi bos.Kok malah kamu lebih tau soal Gadjah Mada?”

“Di pelajaran sekolah tidak diajarkan banyak soal Hayam Wuruk, pak”
Tak banyak pengetahuan atau cerita yang ia dapatkan soal Hayam Wuruk dikelasnya. Buku pelajaran dan gurunya lebih banyak bercerita soal Gajah Mada. Patih yang mengabdikan dirinya terhadap kecintaannya, negeri Majapahit.

Bocah ini memang pemerhati yang baik saat dikelas. Pelajaran per pelajaran ia perhatikan dengan benar-benar. Dia tak mau ketinggalan sedikitpun dari yang disampaikan gurunya. Yang paling Ia sukai adalah pelajaran IPS, terutama sejarah.

Tak heran, prestasi dia di kelas dapat dikatakan lumayan. Juara satu ia sabet sejak kelas satu SD, hingga kelas enam SD.  Walaupun di semester akhir – kelas enam semester 2 – ia gagal mempertahankannya. Ia tetap tersohor sebagai anak yang rajin dan pandai di lingkungan masyarakat dan sekolahnya.

Ia dikenal sebagai anak yang pandai dan suka senyum. Dibalik itu terdapat kesombongan kecil dari tubuh kecil bocah itu. Ia tidak ingin dianggap remeh oleh lingkungannya. Ia sangat suka dipuji. Terkadang ia menikmatinya.

Ayahnya membenahi posisi duduk. Ia mencari posisi yang pas untuk bercerita kembali. Tuk memuaskan pertanyaan dari anaknya.

Bocah itu bertanya kembali: “Kemudian, apa arti Pudyatama?”

Bapak itu malah kembali bercerita. Rupanya, ia tak mau buru-buru menjawab pertanyaan anaknya tersebut.

“Kita lebih mengenal Gajah Mada karena perjuangannya dan kegagahannya mempertahankan prinsip. Mungkin buku pelajaran IPS lebih banyak berisi pengetahuan tentang Gajah Mada ketimbang Hayam wuruk karena sifat-sifatnya yang berbeda dari tokoh-tokoh sebelumnya dan Hayam Wuruk. 

Kegigihannya dalam berjuang mencerminkan sifat asli orang Indonesia. Ia berani berjanji dan mungkin bersumpah, tidak kepada siapa-siapa melainkan diri sendiri.”

“Sosok teladan yang ada pada sosok Gajah Mada sangat pas sekali dengan ciri manusia Indonesia. Terkait namanya yang lebih banyak tercetak dibuku pelajaran, itu karena sikap atau mungkin pujian yang lebih dari masyarakat nusantara kepada diri dan sikapnya”.

“Semakin banyak namanya tercetak di buku pelajaran, semakin banyak pula penghormatan yang diberikan manusia sesudahnya kepada sosok itu (gajah mada). Tapi ingat, sekalipun Ia tak pernah mengharapkan penghormatan atau pujian itu datang kepadanya di kemudian hari”, ujar bapaknya.

Bocah itu terus-menerus mencoba mengaitkan apa yang dikatakan bapaknya dengan namanya: Pudyatama. Tetap saja, ia tak mampu menjangkaunya. Tak ada satu kata pun yang berkaitan dengan kata Pudyatama. Diingat-ingatnya kembali setiap perkataan, tetap tidak ditemukannya.

“Pudyatama. Pudya artinya pujaan, pujian. Tama artinya utama, pertama. Jika disatukan berarti pujaan yang utama dan pertama”

“Gajah Mada secara posisi dikerajaan memang tidak lebih tinggi daripada Hayam Wuruk. Namun dapat kamu lihat dibuku sejarah, bahwa nama Gajah Mada-lah yang lebih banyak disebut. Itu berarti penghormatan atau pujian yang diberikan kepadanya lebih besar dari pada Hayam Wuruk.”

“Mungkin juga, para pendahulu kita berkeinginan untuk lebih menunjukan sifat-sifat gajah mada ketimbang Hayam Wuruk. Sikap dan sifat ksatria gajah mada-lah yang ingin dijadikan panutan dan harapannya setiap masyarakat nusantara menjiwai sikap sifatnya.

Tapi yang ini tak usah kau pikirkan, belum saatnya”

Bapaknya menekankan bahwa yang perlu anaknya ketahui adalah, dilihat dari sejarah yang tercatat penghargaan terhadap Gajah Mada serasa melebihi Rajanya sendiri. Ia (Gajah Mada) tak memperdulikan jabatan, posisi, atau kedudukan yang Ia miliki saat itu. Mungkin Ia tak sempat memikirkan hal itu lantaran rasa pengabdiannya yang tulus dan sepenuhnya.

Bapaknya mengangkat tubuh kecil bocah itu. Ia pindahkan kepangkuannya. Sambil menebar pandang ke arah barat, arah matahari tenggelam.

“Tak perlu kau menjadi seorang yang tinggi kedudukannya dan berkuasa bila hanya untuk mengejar pujian dan pujaan. Kamu adalah anak bangsa yang sama derajatnya dengan seluruh anak bangsa di nusantara ini.”

“Seorang yang besar sejatinya tidak bisa dilihat dari setinggi apa Ia mendudukan dirinya, tapi sebesar apa kemampuannya  berbuat sesuatu untuk sesuatu yang dicintainya. Sesuatu yang diperjuangkannya. Tulus dan tanpa pamrih. Jangan malu untuk merendah hati. Karena dari situlah kamu mengerti kekuranganmu”,  bapaknya berbicara sambil mengusap rambutnya dengan tangan kanannya.

“Menjadi Gajah Mada bukan berarti harus dipuji dan dipuja setiap saat. Hal ini malah semakin melemahkanmu. Pujian akan datang sendirinya seiring pengorbanan yang kamu tunjukan untuk sesuatu.”

“Dan juga, Da, Nak, janganlah kamu jadikan pujian yang datang itu sebagai hiasan pernak-pernik pakaian yang akan semakin mengkilaukan dirimu. Hingga kamu sendiri disilaukan oleh gemerlapnya. Jadikan pujian itu sebagai cambuk, yang setiap kali ia datang ke tubuhmu membuatmu semakin mengingat siapa dirimu dan seberapa lemah dirimu atas pujian itu.”, ayahnya bertutur.

Matari hampir tenggelam separuh. Cahaya keemasan dari arah barat menusuk celah-celah pohon akasia yang ada di barat kompleks perumahan Bale Asri, Gamping, Sleman. Perpaduan antara umbra dan penumbra bayang matari jatuh di pelataran rumah. Dihadapan dua manusia itu duduk. Seolah semesta mendoakan segala harapan Sang Bapak kepada anaknya.

Bersamaan dengan itu, nama harapan dari Sang Bapak tadi telah sampai di masa depan. Tetapi tidak dengan bocah itu. Ia ditinggal oleh jasadnya yang telah sampai masa depan. Jiwa bocahnya sebagian sudah tertinggal dimasa itu, sebagian lagi masih terbawa.

Untuk kata-kata Bapaknya tadi, ia benar-benar tak pernah membiarkannya tercecer sepenggal hurufpun. Akan selalu terbawa di setiap laku hidup yang akan ditempuh dikemudian hari. Janjinya kepada Tuhannya.