Sudah sekitar satu bulan ini, kehidupanku terbolak-balik.
Aku lupa pastinya kapan hal itu dimulai dan bagaimana hal ini terjadi. Layaknya
siang menjadi malam, dan malam menjadi siang. Disaat semua orang terlelap,
duniaku malah sedang memulai aktivitasnya. Ya, aku sedang bermasalah dengan
waktu.
Tidur pukul 5 pagi, bangun 12 siang, lalu keluar rumah,
sekedar berkeliling kota sendirian, singgah kemanapun tempat yang aku sukai,
menghampiri kawan sana kawan sini, tertawa sendiri, merenung, duduk, berdiri,
tidur lagi, bangun lagi, makan dan seterusnya hingga aku bosan dan kembali
bergurau dengan bantal-guling sampai udara kamar menjadi panas karena terik
matahari menganggu, dan terbangun.
Aku sadar rutinitas ini tidak wajar, kalau kata bapak “menyalahi
sunatulloh”. Siang untuk bekerja, malam untuk beristirahat. Aku pahami ini
sebagai sebuah aturan. Aturan siapa? Ya aturan si pembuat aturan yaitu pembuat
alam. Berarti, aku menyalahi aturan alam? Mungkin iya.
Sebenarnya, aku ingin mengambalikannya seperti semula.
Malam untuk istirahat, bangun pagi, lalu memulai aktivitas dengan normal.
Menemukan rejeki-rejeki yang tersirat di pagi hari, lalu leyeh-leyeh, berteduh di tengah sawah pada pertengah siang
yang terik. Mungin boleh ditambahkan dengan kelapa muda dingin, kicauan burung,
nyanyian padi-padi sawah, ditambahkan seruling bambu agar lebih damai layaknya
si krisna dari bukit govardan itu.
Normalisasi, usaha untuk mengkondisikan semuanya menjadi
normal kembali, begitu definisi sempitnya. Sebuah usaha tentu memerlukan
pengorbanan. Dan pengorbanan harus benar-benar diperjuangkan. Namun perjuangan
memerlukan jurus-jurus jitu agar pada akhirnya nanti kitalah yang merasakan
kemenangan. Apalah ini.
Normalisasi tidaklah sejati kebenarannya, namun hal yang
demikian adalah baik dan indah secara universal. Untuk ketentuan ini, kita
wajib patuh terhadap waktu yang ditentukan oleh kalangan kita sendiri. Pada
tataran spiritual, sebenarnya boleh saja kita mengatur waktu dari waktu itu
sendiri. Sepanjang kita bijak dalam manajerisasi waktu tersebut.
Namun yang demikian juga tidak dapat terelakan, alam
memiliki hukumnya sendiri. Sesuai dengan teori sebab-akibat, suatu perbuatan
pasti menimbulkan respon dari perbuatan tersebut yang kita namakan akibat.
Suatu reaksi akan terus melakukan aktivitas ke reaktifannya hingga “tekanan”
aksi seimbang dengan reaksinya, atau kata lainnya aksi=reaksi=0.
Biar semakin tidak
jelas, nanti akan ada beberapa gejala reaksi atas perilaku yang “menyalahi”
dari diriku selama ini dan mungkin akan selesai hingga seluruh kegoncangan yang
disebabkan akan kembali seimbang. Perlu beberapa ruang dan waktu untuk
mengembalikannya. Apalagi jika dilihat dampak yang sudah ditimbulkan dan bila dihitung-hitung
pula, secara horizontal, sudah banyak yang menjadi kerugian tatkala aturan main
itu ku langgar.
Bagi malaikat penjaga matahari terbit yang sangat mendukung
dengan normalisasi ini, mohon maaf dan terimakasih. Pasti sampeyan sudah bosan
dengan tampangku yang seperti ini, sehingga aku yakin, tidak akan melakukan
pembiaran secara terus-terusan atas berkurangnya estetika dari tugas yang
dilakukan matahari terbit. Dia tidak ingin tugasnya kehilangan secuil keindahan
dari kehadiranku di setiap pagi. Tenang, aku tau standar kerja sampeyan yang
amat sangat tinggi itu atau dalam kata lain sempurna.
Selamat pagi dan salam
sejahtera bagimu malaikat penjaga matahari terbit.